President Xi Jinping kembali mendesak reunifikasi Cina-Taiwan melalui ''Satu Negara Dua Sistem'', namun Taiwan tegas menolak dengan alasan akan terjadi pembatasan demokrasi dan kemerdekaan.
Iklan
‘'Cina harus dan akan bersatu… ini adalah suatu persyaratan yang tak dapat dielak untuk membuat suatu pembaharuan hebat bagi penduduk Cina di masa yang akan datang,'' tegas presiden Xi dalam pidato perayaan 40 tahun Hubungan Lintas Selat Cina-Taiwan di Great Hall People of Beijing, Selasa 1 Januari 2019.
Dalam desakan unifikasi ini, President Xi kembali menggagas ‘'Satu Negara Dua Sistem'' tanpa menghilangkan opsi militer dalam proses penyatuan kembali Taiwan. ‘'Kami tidak bisa berjanji untuk mengakhiri kekuatan militer dan akan menggunakan pilihan ini jika diperlukan,'' tambahnya.
Gagasan President Xi pun ditolak oleh Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen yang menyatakan bahwa negaranya tidak akan menerima ‘'Satu Negara Dua Sistem'' dalam pengaturan politiknya. Tsai menegaskan bahwa penduduk Taiwan tidak akan menyerahkan kemerdekaannya kepada negara otoriter.
Pencekalan Demonstran Jelang Peringatan Penyerahan Hong Kong
Pemerintah Hong Kong sudah menangkap sejumlah aktivis pro demokrasi, menjelang kedatangan Presiden Cina Xi Jinping. Aktivis menyerukan reformasi demokrasi di tengah cengkeraman Beijing di kota itu.
Foto: Reuters/T. Siu
Tuntut Demokrasi
Polisi menangkap sedikitnya 26 aktivis yang dinilai "mengusik ketenangan" dalam sebuah aksi protes menjelang tibanya Presiden Cina Xi Jinping di Hong Kong. Permusuhan terhadap Beijing berkembang ke kalangan kaum muda Hong Kong beberapa tahun belakangan ini. Beberapa dari mereka menuntut pemisahan dari Cina. Aksi protes pada hari peringatan tanggal 1 Juli, bisa menarik hingga 100.000 orang.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Bayangan Gelap di atas Simbol Kota
Demonstran sebelumnya menutupi patung Forever Blooming Gold Bauhinia dengan kain hitam. Patung yang jadi lambang resmi Hong Kong dihadiahkan oleh Cina ketika mengambilalih kota itu dari Inggris tahun 1997. Patung itu berdiri di luar pusat konvensi, yang akan jadi lokasi perayaan ulang tahun, dan di dekat tempat menginap Xi Jinping.
Foto: Reuters/T. Siu
Kota Diselubungi Aksi Protes
Sekitar 30 demonstran berkumpul di dekat "Golden Bauhinia" Rabu (28/06). Mereka memanjat bagian atasnya, dan membentuk rantai di bagian bawah patung. Demonstran yang berhasil masuk ke bagian dalam patung (lihat foto) adalah yang terakhir dikeluarkan dengan bantuan pemadam kebakaran.
Foto: Getty Images/AFP/A. Wallace
Membuat Suara Mereka Didengar
Aktivis mengadakan "sit in" selama tiga jam di sekitar patung, sebelum digiring oleh polisi satu demi satu. Sebelum ditangkap, demonstran berteriak, "Ketidakpatuhan sipil, tidak takut!" dan "Xi Jinping, bisa kau dengar kami?"
Foto: Reuters/Tyrone Siu
Joshua Wong Ditahan
Pemimpin aksi protes mahasiswa Joshua Wong (tengah) termasuk di antara mereka yang ditangkap hari Rabu. Walaupun demonstran lain digiring pergi, Wong diangkut ke mobil polisi. Ia adalah salah satu pemimpin Gerakan Payung yang mencetuskan demonstrasi masal tahun 2014. Ketika itu reformasi demokrati yang diinginkan aktivis gagal.
Foto: Getty Images/AFP/A. Wallace
Anggota Parlemen Muda Nathan Law Ditangkap
Anggota parlemen termuda dan bekas pemimpin Gerakan Payung Nathan Law (tengah) juga diangkut polisi dan ditahan. Anggota parlemen yang baru berusia 23 tahun itu dipilih tahun lalu.
Foto: Getty Images/AFP/A. Wallace
Kota Terbelah
Presiden Xi Jinping mengunjungi Hong Kong untuk ikut perayaan yang menandai 20 tahun penyerahan Hong Kong kembali ke Cina, tanggal 1 Juli. Tapi ada kekhawatiran, bahwa Beijing melanggar azas yang disepakati, yaitu "satu negara, dua sistem" dengan ikut campur dalam masalah politik, pendidikan dan media. Penulis: Rebecca Staudenmaier (ml/as)
Foto: Reuters/T. Siu
7 foto1 | 7
‘‘Beijing harus menghormati desakan 23 juta orang untuk kemerdekaan dan demokrasi. Beijing harus menggunakan kedamaian dan persamaan untuk mengatasi perbedaan yang kita miliki,‘‘ kata Tsai Ing-Wen.
Usul ‘‘Satu Negara Dua Sistem‘‘ telah diimplementasikan di Hongkong dan Macau setelah Inggris memberikan kembali kedua kota ini kepada Cina pada tahun 1997. Namun usul ini ditolak oleh Claudia Mo, dewan legislatif pro demokrasi Hongkong, ‘‘Cina akan 'menelan‘ Taiwan tak hanya politik tapi juga ekonomi dan kultur.‘‘
Lebih lanjut Claudia menjelaskan bahwa pola yang diterapkan Cina untuk Hongkong dan Macau tidaklah tepat diterapkan di Taiwan, melihat kemerdekaan yang kian memudar setiap tahunnya di Hongkong.
Sumber Konflik yang Harus Diwaspadai Indonesia di 2018
Tahun 2018 masih akan diramaikan dengan sederet konflik global yang ikut menciptakan ancaman buat Indonesia. Terutama eskalasi konflik di Asia Timur berpotensi berimbas negatif pada stabilitas di kawasan.
Foto: picture-alliance/dpa
Korea Utara
Semenanjung Korea berpotensi menjadi ancaman terbesar terhadap keamanan regional tahun 2018. Terutama ketegangan yang dipicu oleh nada agresif pemerintahan baru AS dan sikap keras kepala Pyongyang semakin mendekatkan dunia pada perang nuklir. Peta di atas menunjukkan 11 pangkalan militer AS di Jepang dan Korea Selatan yang disiagakan menyusul konflik dengan Korea Utara.
Laut Cina Selatan
Selama 2017 Amerika Serikat acuh terhadap ekspansi militer Cina di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tahun ini Beijing diyakini bakal menggandakan upayanya menguasai jalur dagang yang ditenggarai kaya Sumber Daya Alam tersebut. Meski tidak terlibat secara langsung, Indonesia mengkhawatirkan stabilitas kawasan yang kian rentan digoyang konflik regional.
Laut Cina Timur
Asia Timur tidak hanya sumber kemakmuran, tetapi juga kental dengan aroma konflik antara Jepang dan Cina. Sejak lama kedua negara berseteru seputar Kepulauan Senkaku atau Daiyou di Laut Cina Timur. Meski Beijing dan Tokyo selama ini menahan diri terhadap konfrontasi bersenjata, perseteruan di Laut Cina Timur bisa berimbas secara politis terhadap Asia Tenggara.
Foto: DW
Filipina Selatan
Perang di Marawi membuka mata dunia tentang kemampuan Islamic State menebar teror di Asia Tenggara. Selama 2017 Indonesia sigap mengawasi perbatasan laut di Laut Sulawesi. Tahun ini TNI mengendus ancaman tambahan berupa afiliasi antara kelompok teror dengan perompak untuk menyelundupkan senjata dan membangun jalur logistik buat aksi terorisme.
Rohingya
Perang saudara di Myanmar yang memuncak tahun lalu belum akan mereda dalam waktu dekat. Minimnya komitmen damai pemerintah di Naypyidaw hanya akan semakin menyulut konflik berkepanjangan tersebut. Genosida terhadap minoritas Rohingya juga menjadi sumber perseteruan di ASEAN antara Myanmar dengan Indonesia dan Malaysia.
Suriah
Tahun 2017 Suriah memasuki era pasca ISIS yang ditandai dengan kemunculan Turki sebagai kekuatan pendudukan. Negeri dua benua itu menempatkan pasukan secara permanen di utara Suriah dan bahkan ikut membangun pemerintahan regional. Meski kehilangan wilayah, pengaruh ISIS menginspirasi aksi teror oleh simpatisannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tidak berkurang.
Iran vs Arab Saudi
Di penghujung 2017 perseteruan Iran dan Arab Saudi yang selama ini mengompori perang proxy di Timur Tengah mendekati konfrontasi langsung. Libanon dan Yaman menjadi panggung konflik teranyar kedua negara. Indonesia yang aktif sebagai mediator juga ikut kecipratan konflik, yakni menguatnya ketegangan antara mayoritas Sunni dan minoritas Syiah. (rzn/hp - thediplomat, foreignpolicy, nytimes)
7 foto1 | 7
Beberapa pihak di Taiwan setuju dengan Beijing, mereka mengatakan memburuknya hubungan dengan Beijing telah merusak bisnis, pemotongan anggaran pensiun, hingga pengurangan hari libur publik. Pendapatan pun dikatakan tidak sesuai dengan kenaikan biaya hidup di Taiwan.
Tahun lalu, partai yang berkuasa di Taiwan menderita kekalahan besar dalam jajak pendapat jangka menengah, Beijing menuding ini adalah akibat dari penolakan unifikasi. Ragam cara pun telah dilakukan Cina untuk memangkas keberadaan Taiwan di ranah Internasional seperti menghentikan Taiwan dari forum global, 'memburu' sekutu diplomatik Taiwan, hingga tekanan Cina kepada sektor bisnis asing untuk memasukkan Taiwan sebagai bagian dari Cina pada situs website mereka.
Sejak akhir perang sipil Tiongkok di tahun 1949 Taiwan menyatakan diri sebagai negara berdaulat secara de facto dengan mata uang, sistem politik, dan sistem peradilan mandiri. April 1979, President Chiang Ching Kuo tegas menolak tawaran unifikasi ini dengan kebijakan ''Tiga penolakan'' : tanpa kontak, tanpa kompromi, dan tanpa negosiasi dengan Cina. Ketegangan ini mulai mereda di 1987 ketika penduduk Taiwan dapat mengunjungi sanak saudaranya di Cina.