Sebuah "langkah historis" dibuat oleh Amerika Serikat dan Cina. Kedua negara sepakat mengurangi emisi gas rumah kaca. AS berambisi memangkas seperempat emisi hingga 2025, adapun Cina menetapkan batas hingga 2030.
Iklan
Ketika mata dunia tertuju pada perseteruan antara Vladimir Putin dan Barack Obama, atau Shinjo Abe dan Xi Jinping yang dipaksa berjumpa di forum APEC di Beijing, sebuah kesepakatan historis dibuat. Amerika Serikat dan Cina mengumumkan komitmen bersama untuk mengurangi kadar CO2.
"Ini adalah lompatan jauh dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Cina," kata Presiden Barack Obama saat menggelar jumpa pers bersama di Beijing.
Beijing berkomitmen paling lambat 2030 membatasi emisi karbondioksida. Belum pernah sebelumnya negeri tirai bambu itu berniat membatasi pertumbuhan emisi CO2 miliknya.
Menambah Tekanan Politik buat Negara Lain
Betapapun juga, Cina akan tetap menggenjot produksi energi lewat penggunaan batu bara untuk memenuhi kebutuhan nasional yang melonjak. Tapi Beijing juga berkomitmen meningkatkan penggunaan energi terbarukan menjadi 20 persen. Saat ini energi ramah lingkungan mencakup sekitar 10 persen dari produksi energi nasional.
Dalam kesepakatan itu, Amerika Serikat berkomitmen hingga tahun 2025 mengurangi emisinya sebanyak 26 hingga 28 persen di bawah level emisi 2005. Menurut seorang pejabat di pemerintahan Obama, dengan kesepakatan ini kedua negara ingin mendorong negara lain menetapkan sasaran pengurangan emisi.
Pengamat meyakini, sikap AS dan Cina akan menciptakan dinamika baru pada Konfrensi Iklim di Paris tahun depan. "Sebagai kekuatan ekonomi dan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, kami memiliki tanggungjawab khusus dalam upaya global memerangi perubahan iklim, kata Obama.
Kabar Baik buat Konfrensi Iklim 2015
Presiden Cina XI Jinping mengklaim pihaknya bersedia menjalin kesepakatan dengan AS "untuk memastikan negosiasi Iklim di Paris 2015 membuahkan perjanjian dan kesepakatan untuk kerjasama praktis dalam energi terbarukan, perlindungan lingkungan dan bidang lainnya."
Ambisi Cina menggandakan produksi energi dari sumber terbarukan hingga 20% pada 2030 "menuntut pembangunan kapasitas sebanyak 800-1000 gigawatt dalam bentuk energi nuklir, angin, matahari dan sumber lainnya," tulis Gedung Putih dalam pernyataannya.
Jumlah tersebut, kata Gedung Putih, melebihi kapasitas semua pembangkit listrik bertenaga batu bara yang ada di Cina saat ini dan "hampir mencapai kapasitas produksi listrik di Amerika Serikat saat ini."
rzn/hp (dpa,ap,rtr)
Mengurangi Emisi Global
Kalangan pakar berkali-kali menekankan bahwa emisi gas rumah kaca global terus meningkat. Tanpa perubahan yang radikal, generasi penerus akan hidup di bumi yang jauh lebih hangat. Namun ini masih bisa dicegah.
Foto: dapd/O. Lang
Membantu Generasi Penerus
Tren kenaikan emisi gas rumah kaca masih bisa dibalikkan. Menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), energi terbarukan dapat memenuhi hampir 80 persen kebutuhan energi global pada tahun 2050.
Foto: Frederico di Campo - Fotolia.com
CO2: Keprihatinan Utama
Karbondioksida dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim. Kalau manusia terus menghasilkan CO2 seperti sekarang, rata-rata suhu bumi akan naik 6 derajat Celsius pada akhir abad ini, menurut temuan sebuah studi.
Foto: dapd/O. Lang
Harus Berpikir Ulang
Meski ingin keluar dari energi nuklir, Jerman masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Menurut IPCC, umat manusia hanya dapat menghentikan pemanasan global dengan meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Karena alasan ini, 80-90 persen cadangan batubara, minyak bumi dan gas yang masih ada tidak boleh disentuh.
Foto: Sean Gallup/Getty Images
Energi Bebas CO2
Tim riset dari Pusat Penerbangan dan Antariksa Jerman (DLR) memprediksi kombinasi sumber energi global pada tahun 2050. Dari total energi yang dibutuhkan, 28 persen bisa tertutupi oleh tenaga surya, 24 persen datang dari energi panas bumi, 15 persen dari biomassa, 10 persen terpenuhi dari tenaga angin dan 4 persen dari tenaga air.
Foto: picture-alliance/dpa
Membangun ke Atas
Teknologi yang diperlukan untuk transisi energi global sudah tersedia. Nantinya lebih banyak rumah akan terlihat seperti Solar Settlement ini di Freiburg, bagian barat daya Jerman. Dalam komunitas 59 rumah ini, setiap bangunan memproduksi lebih banyak energi ketimbang yang dikonsumsi.
Foto: Rolf Disch Solararchitektur
Harus Lebih Efisien
Kompleks menara dari tahun 1968 ini baru saja diinsulasi ulang dan setiap apartemen dilengkapi sistem ventilasi baru, mengurangi biaya energi hingga 80 persen. Bangunan ini juga terletak di Freiburg.
Foto: PresseCompany GmbH Stuttgart/DW Fotomontage
Aturan Penghematan Energi
Standar aturan dan standar energi juga dapat membantu menghemat penggunaan energi. Lampu LED modern hanya membutuhkan sepersepuluh energi yang diperlukan bohlam lampu tradisional. Pelarangan secara bertahap dalam menjual bohlam tradisional di Uni Eropa telah berhasil mempercepat peralihan.
Foto: Lightcycle.de
Efisiensi Skala Besar
Taman energi angin ini memenuhi kebutuhan energi sekitar 1.900 rumah di Jerman. Tenaga angin saat ini menyuplai 30 persen kebutuhan listrik di Denmark, 10 persen di Jerman dan 3 persen di Cina. Di tingkat global, energi angin merupakan sumber energi yang berpotensi besar untuk tumbuh.
Foto: Jan Oelker
Tumbuh Tanpa Pemanasan Global
Seperti di Ethiopia, pekerjaan baru dan energi murah tanpa emisi CO2 adalah sesuatu yang mungkin, menurut para ahli. Tidak hanya penting dalam menghentikan pemanasan global, namun mereka berargumen bahwa transisi ke ekonomi hijau juga dapat membantu pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.