Jelang keputusan pengadilan arbitrase internasional, Cina kembali menegaskan tidak akan menyerahkan kedaulatannya di Laut Cina Selatan. Presiden Xi Jinping mendesak Partai Komunis agar memperkuat militer
Iklan
Cina tidak akan bersedia menyerahkan kedaulatannya, tukas Presiden Xi Jinping dalam perayaan ulang tahun ke-95 Partai Komunis di Beijing, Jumat (01/7). Pidatonya itu merujuk pada keputusan pengadilan arbitrase internasional Den Haag yang bakal diumumkan 12 Juli mendatang.
"Tidak ada negara asing yang bisa memaksa kita menelan pil pahit untuk merusak kedaulatan nasional kita, keamanan dan kepentingan pembangunan kita," katanya. "Kita tidak takut terhadap masalah."
Xi juga menyindir Amerika Serikat. "Kami tidak akan muncul di depan pintu rumah orang untuk memamerkan otot. Hal semacam itu tidak menunjukkan kekuatan atau menakut-nakuti orang," tukasnya pedas.
Pemerintah di Beijing mulai mempertajam narasi menjelang keputusan pengadilan Arbitrase di Den Haag. Filipina 2013 silam mengajukan gugatan terhadap Cina ihwal kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Beijing bersikukuh pengadilan tersbeut tidak memiliki yurisdiksi atas Laut Cina Selatan.
Xi mengatakan pihaknya akan "membangun militer yang kuat dan mengkonsolidasikan pertahanan nasional, sesuai dengan peran global Cina dan kepentingan nasional." Ia juga ingin agar Cina mengambil peran aktif dalam apa yang disebutnya sebagai "pemerintahan global."
"Cina akan berpartisipasi sevara aktif membangun sistem pemerintahan global dan akan ikut menyumbangkan kebijakan Cina untuk menyempurnakan sistem semacam itu."
Pangkalan Militer Cina di Laut Cina Selatan
Kendati luput dari perhatian, konflik Laut Cina Selatan terus memanas dalam diam. Cina membangun pulau buatan untuk dijadikan pangkalan militer. Salah satu landasan pacu bahkan mampu didarati pesawat pembom jarak jauh
Foto: CSIS, IHS Jane's
Pesawat Pembom di Spratly?
Sejak pertengahan 2014 militer Cina sibuk memperluas "Fiery Cross Reef" di tepi barat kepulauan Spratly. Pakar di "Centre for International and Strategic Studies" di Washington dan Asia Maritime Transparency Initiative meyakini, negeri tirai bambu itu tengah membangun pangkalan udara sepanjang tiga kilometer. Landasan sepanjang itu mampu menampung pesawat pembom jarak jauh tipe H-6 milik Cina
Foto: CSIS, IHS Jane's
Wilayah Abu-abu
Gaven-Riff yang terletak di utara kepulauan Spratly diperluas sebanyak 115.000 meter persegi sejak Maret 2014. Pakar hukum internasional menilai, Cina sedang berupaya membetoni klaimnya atas kepulauan tersebut.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Cepat Bertindak
Citra satelit yang dibuat 2014 silam menampilkan betapa militer Cina menggenjot kegiatan konstruksi di Gaven-Riff. Antara bulan Maret (kiri) dan Agustus (kanan) terbentuk sebuah pulau baru.
Cina juga membangun landasan pacu militer di Johnson South Reef. Landasan ini sendiri diyakini terlampau pendek untuk tujuan strategis. Namun pulau ini menegaskan klaim Cina terhadap kepulauan Spratly.
Foto: CSIS
Sistematis
Kegiatan konstruksi yang digalang Cina di Hughes-Riff serupa dengan di Gaven-Riff. Negeri tirai bambu itu diyakini telah mengembangkan metode baku tentang cara pembuatan pulau.
Foto: AMTI
Protes Filipina
Februari 2015 silam pemerintah Filipina kembali melayangkan nota diplomatik yang memrotes Cina. Penyebabnya adalah langkah Beijing membangun pangkalan di Mischief-Riff yang cuma terpaut jarak 135 kilometer dari pulau Palawan milik Filipina. Foto terbaru dari 19 Januari membuktikan kegiatan konstruksi di pulau tersebut.
Foto: CSIS
Perlawanan Seadanya
Tahun 1999 militer Filipina menenggelamkan kapal "Sierra Mader" di Ayungin Atoll. Sejak saat itu serdadu Filipina berjaga-jaga di sekitar kapal. Langkah tersebut adalah upaya Filipina menjauhkan Cina dari pulau yang diklaim Manila.
Foto: Reuters
Konflik Teritorial
Aksi Cina membangun pulau baru di kepulauan Spratly menambah ketegangan di wilayah. Saat ini Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei ikut menancapkan klaimnya di kepulauan tersebut. Sementara Indonesia bertindak sebagai mediator.