1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Cina Lancarkan Tekanan Dengan Boikot Nanas Taiwan

24 Maret 2021

Larangan Cina atas impor nanas dari Taiwan telah memicu "ledakan" pembelian patriotik atas buah tersebut hingga memaksa restoran berinovasi membuat menu baru.

Perkebunan nanas
Meski sebagian besar nanas Taiwan dikonsumsi di dalam negeri, tetapi 90 persen ekspor nanas ke luar negeri dijual di CinaFoto: Sam Yeh/AFP

Pada awal Maret lalu, Cina secara mendadak memberlakukan larangan impor nanas dari Tawian, dengan alasan ditemukannya hama. Langkah Cina ini menimbulkan kepanikan di antara petani buah Taiwan yang takut kehilangan mata pencaharian.

"Ini adalah masalah politik yang tidak dapat kami selesaikan," keluh pemilik perkebunan Min Lee-ming, saat puluhan pekerja bergegas memetik, memangkas, dan mengemas buah-buahan di Taishan, sebuah desa di selatan Kabupaten Pingtung yang dikenal sebagai "Kota Nanas".

"Kami hanya ingin menjalani kehidupan yang stabil dan kami harus memenuhi kebutuhan," katanya kepada AFP.

Larangan itu membuat pemerintah di Taipei mengeluarkan seruan untuk aksi solidaritas. Ajakan untuk "memborong" nanas juga tersebar di seluruh jejaring media sosial. Bahkan keberhasilan kampanye tersebut membuat banyak restoran menambahkan menu baru yang menggunakan bahan dasar nanas.

Banyak petani dirugikan

Target pemerintah Taiwan untuk menjual 20 ribu ton ekstra buah nanas tercapai hanya dalam waktu empat hari.

Sunny Liao, seorang pengusaha wanita berusia 53 tahun, termasuk orang yang menjual sekitar 20 menu baru bertema nanas. Dia ingin melihat ketegangan mereda antara Taiwan dan Beijing, serta mendukung pembicaraan perdamaian kedua belah pihak, tetapi langkah terbaru yang diambil Cina telah membuatnya marah.

"Saya pikir semua orang Taiwan marah atas larangan itu dan saya merasa petani telah menjadi 'umpan meriam' yang harus dikorbankan," katanya kepada AFP.

Seorang karyawan restoran memegang sepiring nasi goreng nanas di hotel Courtyard by Marriott di TaipeiFoto: Sam Yeh/AFP

Wilayah Taishan mengirimkan sekitar 70 persen hasil panennya ke seluruh Taiwan dan para petani sekarang berebut mencari pasar baru.

"Kami terlalu bergantung pada Cina," cemas Chen Yu-nung, yang menjalankan pabrik pengemasan buah.

23 juta penduduk Taiwan hidup di bawah ancaman Cina. Hubungan semakin memburuk sejak Presiden Tsai Ing-wen terpilih tahun 2016, memandang Taiwan sebagai negara berdaulat de facto, bukan bagian dari Cina. Namun, terlepas dari meningkatnya ketegangan kedua negara, perdagangan bilateral naik 13,5 persen per tahun menjadi US $ 216 miliar (Rp 3.122 triliun) pada 2020.

Taipei telah menolak klaim Cina terkait hama buah nanas, dengan mengatakan 99,8 persen impor dalam beberapa tahun terakhir telah lolos inspeksi.

Pejabat pemerintahan Taiwan menyamakan boikot nanas dengan tarif tinggi yang diberlakukan Cina pada produk tertentu dari Australia. "Ingat Anggur Kebebasan Australia?" bunyi cuitan Menteri Luar Negeri Joseph Wu di Twitter. "Saya mendesak teman-teman yang berpikiran sama di seluruh dunia untuk mendukung Taiwan dan mendukung #FreedomPineapple."

Peti nanas disortir di sebuah gudang di Pingtung, TaiwanFoto: Sam Yeh/AFP

Ancaman Cina 'lebih dekat dari yang diperkirakan'

Ancaman Cina untuk menyerang Taiwan merupakan tindakan serius dan "lebih dekat" daripada yang dipahami banyak orang, kata Laksamana AS John Aquilino, calon Komandan di kawasan Indo-Pasifik.

"Pendapat saya adalah bahwa masalah ini lebih dekat daripada yang dipikirkan kebanyakan orang dan kami harus menangani ini," katanya.

Aquilino mengatakan ancaman mendorong Amerika Serikat meningkatkan pertahanan di kawasan itu dalam waktu dekat. "Kekhawatiran paling berbahaya adalah kekuatan militer melawan Taiwan."

Aksi balasan, Taiwan tidak beli vaksin Cina

Taiwan akan membantu segelintir sekutu diplomatiknya yang tersisa untuk mendapatkan vaksin COVID-19, tetapi dengan syarat tidak membeli vaksin buatan Cina, kata Menteri Luar Negeri Joseph Wu pada hari Rabu (24/03).

Taiwan hanya memiliki hubungan formal dengan 15 negara, kebanyakan negara miskin dan berkembang di Amerika Latin, Karibia, dan Pasifik.

Namun, Cina sudah mulai menawarkan vaksinnya ke sebagian besar negara berkembang.

Pada hari Senin (22/03), Kementerian Luar Negeri Paraguay mengatakan pihaknya telah didekati oleh orang-orang "yang legitimasi atau hubungannya dengan pemerintah Republik Rakyat Cina belum terbukti" tentang vaksin.

Dikatakan bahwa orang-orang yang tidak disebutkan namanya itu menyarankan prasyarat untuk mendapatkan vaksin adalah dengan meninggalkan Taiwan, dan mengecam "skenario kemanusiaan yang menyedihkan" bahwa siapa pun harus mencoba dan menggunakan pandemi untuk keuntungan politik atau ekonomi.

Wu mengatakan dia yakin dengan hubungan Taiwan dengan Paraguay tidak goyah. "Pemerintah Paraguay tahu bahwa ada bayangan Cina, dana Cina, dan saluran Cina di balik kekacauan di sana, dan mereka membenci Cina," katanya.

ha/as (AFP, Reuters)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait