Cina merapal jurus baru dalam perseteruan seputar Laut Cina Selatan. Mereka melatih nelayannya menjadi milisi dan mata-mata. Para pelaut itu bertugas menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting
Iklan
Armada nelayan yang berbasis di sebuah kota pelabuhan di pulau Hainan, Cina, banyak berusuran dengan tentara. Mereka tidak cuma mendapat subsidi bahan bakar dan perlengkapan perikanan, tetapi juga menerima latihan militer.
Pemerintah Beijing nyatanya sedang merapal jurus baru buat memenangkan perseteruan seputar Laut Cina Selatan. Bukan lagi kapal perang, melainkan perahu nelayan yang kini berdiri di garda terdepan.
Tugas para nelayan tidak berbeda dengan mata-mata militer. Disamping menangkap ikan secara ilegal di wilayah sengketa, mereka ditugaskan mengumpulkan informasi mengenai pergerakan kapal asing, pejabat pemerintah di kota-kota pelabuhan dan perusahaan ikan milik negara yang berseteru.
"Berbakti pada negara"
Sebab itu militer Cina kini giat melatih nelayan menjadi milisi tanpa senjata. Selain latihan manuver laut, pemerintah Beijing juga menyediakan perlengkapan komunikasi dan GPS untuk 50.000 kapal nelayan agar dapat menghubungi Pasukan Penjaga Pantai dalam situasi darurat.
Selain itu pemerintah Cina juga mendorong nelayan untuk mengganti kapal tradisional berbahan kayu dengan material yang lebih kokoh, seperti besi.
"Jumlah milisi maritim kami bertambah karena kebutuhan negara dan keinginan nelayan untuk berbakti serta melindungi kepentingan kami," tutur seorang konsultan pemerintahan Hainan kepada kantor berita Reuters.
Bahwa nelayan militan Cina meningkatkan potensi konflik terlihat dari insiden di sekitar kepulauan Natuna belum lama ini. Saat itu armada nelayan Cina tertangkap basah beroperasi secara ilegal. Tapi upaya Indonesia menyeret kapal tersebut dihalangi Pasukan Penjaga Pantai Cina.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.