Cina: Masih Jauh dari Kesetaraan Hak
8 Maret 2013 Awal Februari lalu, proses perceraian yang spektakuler berakhir di Cina. Warga AS Kim Lee menuduh suaminya Yi Lang, seorang pengusaha terkenal, melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Uniknya, Kim Lee membeberkan semua tuduhan tersebut secara terbuka.
Agustus lalu, ia memposting foto yang menunjukkan memar dan luka goresan pada tubuhnya di jejaring sosial Weibo. Pengadilan di Beijing lalu mendenda Yi Lang yang harus membayar ganti rugi senilai 16 miliar Rupiah. Selain itu, Kim Lee mendapat hak asuh tunggal bagi ketiga anak perempuan pasangan tersebut.
Kasus Kim Lee memicu perdebatan sengit mengenai kekerasan dalam rumah tangga di Cina. Ini menunjukkan betapa besarnya masalah ini di negeri tirai bambu. Data Perhimpunan Wanita Cina "All-China Women's Federation" menunjukkan, hampir 25 persen perempuan di Cina pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ini terjadi di semua lapisan masyarakat, tapi terutama perempuan di kawasan pedesaan yang kerap menjadi korban.
Korban menjadi pembunuh
Kadang, korban kekerasan begitu putus asa sehingga mereka berbalik dan menjadi pelaku kekerasan, seperti misalnya Li Yan dari Provinsi Sichuan, Cina Barat. Berbulan-bulan ia disiksa oleh suaminya. Karena sudah tidak tahan lagi, Li Yan membunuh suaminya. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati bagi perempuan itu. Vonis ini memicu gelombang protes besar-besaran di Cina.
Baik Kim Lee maupun Li Yan melaporkan kasusnya ke polisi. Tapi walaupun keduanya mengajukan sejumlah bukti, polisi tidak membantu mereka. Kekerasan dalam rumah tangga dinilai sebagai masalah pribadi. Para korban jarang sekali menerima bantuan. Sebagian besar berlindung di tempat orang tua, tetangga atau kerabat lainnya.
Di Cina diperkirakan ada sekitar 400 rumah penampungan bagi perempuan korban kekerasan. Tapi, korban kekerasan jarang pergi ke tempat ini, kata Li Sipan, aktivis perempuan dari Guangzhou, Cina Selatan. Masalahnya, hampir tidak ada kerja sama dan jaringan antar institusi dan lembaga di Cina.
Perempuan dan politik
Hukum yang berlaku di Cina tidak memberikan perlindungan menyeluruh bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Tahun lalu, topik ini memang diagendakan dakam Kongres Rakyat Nasional Cina, lembaga pembuat undang-undang tertinggi Cina. Tapi sejak itu, tidak ada kemajuan dalam perdebatan ini.
"Adanya perundang-undangan tentu baik", kata Astrid Lipinsky, pakar hak perempuan Cina di Universitas Wina kepada Deutsche Welle. Namun Lipinsky mengingatkan bahwa di Jermanpun pelaku kekerasan dalam rumah tangga cukup lama tidak diganjar hukuman. Sampai akhirnya anggota parlemen perempuan lintas partai dalam parlemen Jerman Bundestag menggolkan sejumlah undang-undang anti-kekerasan.
Di Cina, masih sedikit perempuan yang terjun ke dunia politik. Menurut kantor berita Cina Xinhua, hanya 23,4 persen anggota parlemen adalah perempuan. Dalam Komite Tetap Politbiro yang terdiri dari tujuh orang bahkan sama sekali tidak ada anggota perempuan.
Meski ada sejumlah perdebatan dan upaya reformasi di Cina, Lipinsky menilai: "Citra perempuan tidak berubah di bawah permukaannya". Gambaran tradisional dan nilai-nilai keluarga yang arkais masih tersebar luas di masyarakat Cina. "Karena itulah, kekerasan dalam rumah tangga di Cina masih dikesampingkan", ujar pakar hak perempan asal Wina Lipinsky.