Setelah rudal anti udara, Cina kini menempatkan jet tempurnya di kepulauan Paracel. Amerika Serikat menuding Beijing bertingkah seperti "preman" dan berambisi menguasai kawasan Asia Timur.
Iklan
Cina sedang melebarkan sayap buat menguasai kawasan Asia Timur dan setiap tindakan menghalangi upaya tersebut akan berujung pada ketegangan militer. Analisis itu diungkapkan Komandan Militer AS di Samudera Pasifik, Admiral Harry Harris Junior di hadapan kongres.
Menurutnya langkah Cina menggenjot pembangunan dan militerisasi di pulau-pulau yang didudukinya telah mengubah lanskap politik Laut Cina Selatan. "Anda harus percaya pada Bumi yang datar untuk tidak menerima fakta tersebut," pungkasnya. "Saya percaya Cina sedang membangun hegemoni di Asia Timur."
Komentar Harris Jr. muncul sesaat jelang kunjungan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi di Washington pekan ini. Bisa dipastikan Beijing bakal bereaksi keras terhadap ucapan sang admiral.
Sebelumnya Jurubicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, membandingkan pendudukan Beijing atas kepulauan Spratly dan Paracel serupa dengan kedaulatan AS atas pulau Hawaii.
"Amerika tidak punya urusan di Laut Cina Selatan dan ini tidak seharusnya menjadi masalah antara Cina dan Amerika Serikat," tuturnya. Ia mewanti-wanti AS agar tidak menjadikan langkah Cina menempatkan peluru kendali di kepulauan Paracel sebagai "alasan untuk membuat keributan."
"Cina menempatkan fasilitas pertahanan terbatas di wilayah sendiri. Secara substansial ini tidak berbeda dengan kepentingan Amerika Serikat melindungi Hawaii," imbuhnya.
Setelah menempatkan rudal anti udara HQ-9 di pulau Woody, Cina kini juga mengirimkan armada udaranya untuk berpatroli di sekitar Kepulauan Spratly dan Paracel. "Kami cuma menggunakan hak untuk melindungi diri sendiri, sesuai hukum internasional," tutur Hua.
Bekas calon presiden AS, Senator John McCain menilai Cina bertindak seperti "preman" di kawasan Asia Pasifik. Ia juga mengritik kebijakan pemerintahan Barack Obama yang dinilainya terlalu pasif dan gagal mempengaruhi perkembangan di Laut Cina Selatan.
McCain antara lain mendesak Washington menempatkan kapal induk kedua di Jepang. Tokyo sendiri mengatakan pihaknya mengikuti perkembangan di LCS "secara serius."
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.