Puluhan tokoh pro-demokrasi ditangkap kepolisian Hong Kong karena didakwa melanggar UU Keamanan Nasional. Penangkapan massal ini merupakan yang terbesar sejak Cina memberlakukan UU tersebut Juni silam.
Iklan
Sebanyak 50 aktivis dan bekas anggota legislatif pro-demokrasi Hong Kong ditahan aparat kepolisian pada Rabu (6/11). Mereka dituduh terlibat dalam kampanye pemilu ilegal tahun lalu. Dakwaan subversif itu dilayangkan oleh Kementerian Keamanan.
"Operasi hari ini menargetkan elemen-elemen aktif yang diduga terlibat dalam tindak kejahatan menumbangkan, mencampuri dan secara serius menghancurkan kemampuan pemerintah Hong Kong mengeksekusi tugas-tugasnya,” kata John Lee, Menteri Keamanan Hong Kong.
Dia menambahkan, para tersangka berusaha melumpuhkan pemerintahan, dengan merebut mayoritas kursi di parlemen dan memaksa kepala eksekutif Hong Kong mengundurkan diri.
Dalam sebuah video yang dirilis bekas anggota legislatif, Lam Cheuk-ting, polisi terlihat menyambangi kediamannya dan mengatakan dia "diduga melanggar UU Keamanan Nasional, serta melakukan tindak subversif melawan kekuatan negara,” sembari meminta pembuat video agar menghentikan rekaman jika tidak ingin ditangkap.
Pemilihan umum legislatif ditunda selama setahun oleh Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dengan argumen ancaman pandemi. Kelompok pro-demokrasi lalu membuat pemilu tidak resmi yang diikuti oleh sekitar 600.000 penduduk.
Menteri Keamanan John Lee mengatakan polisi tidak akan menangkapi warga yang ikut mencoblos. Sebaliknya semua kandidat pro-demokrasi yang tampil dalam pemilu sudah berada di dalam tahanan kepolisian.
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)
Penangkapan massal di Hong Kong mengundang kecaman dari Anthony Blinken, bakal menteri luar negeri AS yang dinominasikan Presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden. Lewat akun Twitternya, dia menulis penangkapan itu merupakan "serangan terhadap mereka yang secara berani mengadvokasi hak-hak universial.”
Iklan
"Pemerintahan Biden-Harris akan berdiri bersama warga Hong Kong dan melawan upaya Beijing melucuti demokrasi,” imbuhnya lagi.
Organisasi HAM, Human Rights Watch, menuduh pemerintah Beijing gagal memahami bahwa tindakan represif membuahkan perlawanan. Peneliti senior HRW untuk Cina, Maya Wang, mengatakan "jutaan warga Hong Kong akan bertahan dalam pergulatan melindungi hak memilih dan kebebasan mencalonkan diri di sebuah pemerintahan yang demokratis.”
Kepada Associated Press, dia mengatakan hingga kini pasal yang didakwakan kepada para tersangka belum jelas. Meski demikian, Wang mengakui bahwa prosedur hukum merupakan hal terakhir yang dipedulikan oleh otoritas Hong Kong.
"Karakter asli UU Keamanan Nasional adalah sebuah payung hukum yang memungkinkan pemerintah menangkap dan memenjarakan individu untuk waktu lama hanya karena menjalankan hak-haknya yang diindugi konstitusi,” kata Wang.
Hukum yang menurutnya "juga digunakan di Cina” itu membuat Hong Kong "semakin terlihat seperti Cina daratan, di mana awal dan akhirnya sangat sulit dibedakan.”
rzn/as (ap, afp)
Kasih Sayang Tuhan di Tengah Demonstrasi Hong Kong
Pendeta Alan Keung terjun langsung ke dalam protes di wilayah administratif khusus Cina ini. Ia tawarkan segala bantuan yang dibutuhkan termasuk doa, ceramah, dan pembasuh mata akibat gas air mata.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Dari mimbar turun ke jalan
Alan Keung adalah salah satu dari beberapa pendeta yang mencoba membantu para demonstran di Hong Kong. Sering kali ia melakukan ini di tengah suasana yang memanas. Dalam foto, terlihat ia menenangkan seorang pejalan kaki yang marah dan memaki pengunjuk rasa karena memblokade jalan. "Misi saya adalah membawa cinta kepada orang banyak," ujar Keung.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Kenakan helm, rompi keselamatan, dan kerah pendeta
Agar mudah dikenali dan untuk perlindungannya, Keung menggambar tanda salib di helmnya. Dia juga mengenakan rompi berwarna kuning neon. Laki-laki berusia 28 tahun itu telah bergabung dengan tim penolong yang bekerja sukarela. Mereka utamanya membantu orang untuk mencuci mata mereka dari gas air mata. Jika ada yang butuh dukungan spiritual, Keung juga menyediakan waktu untuk berdoa singkat.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Melawan rasa sakit
Bersama relawan lain, Keung membantu seorang pejalan kaki yang terkena gas air mata untuk mencuci matanya. Polisi Hong Kong menggunakan gas air mata, semprotan merica, dan meriam air untuk mengatasi kerusuhan. Sedangkan demonstran menyerang petugas keamanan dengan alat pembakar serta busur dan panah.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Pertolongan untuk semua
Ketika sedang bertugas, Keung tidak berada di pihak mana pun. "Kadang-kadang kami membantu polisi yang terluka dan membutuhkan pertolongan." Pada bulan Juli, setelah terjadinya serangan di stasiun kereta, kelompok relawannya membantu pasukan keamanan dan melindungi mereka dari penumpang yang marah.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Di antara dua kubu
Yang dikerjakan Keung bukannya tanpa bahaya. Dia sendiri sudah pernah merasakan pedihnya gas air mata. Baru-baru ini, kerusuhan pecah di Hong Kong, terutama di Universitas Politeknik. Polisi mengancam akan menggunakan peluru tajam. Sebelum pemilu, pemerintah mengawasi situasi dengan ketat untuk memastikan pemilihan lokal yang dijadwalkan pada akhir pekan (24/11) bisa berlangsung aman.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
"Bukan tipe orang yang tinggal diam di gereja"
Keung telah menjadi pendeta di sebuah komunitas yang terdiri dari sekitar 30 orang di wilayah timur laut Hong Kong selama tujuh tahun. "Saya bukan seseorang yang hanya diam di gereja dan berbicara tentang kemanusiaan, keadilan, dan moralitas tetapi mengabaikan apa yang terjadi di luar," katanya. "Saya ingin berada di tengah massa saat dibutuhkan."
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
"Kalian masing-masing terlibat"
Pengalaman dan pelajaran yang didapat dalam protes itu, kadang juga terbawa di dalam khutbahnya. Di sini, ia bersama para siswa seusai waktu berdoa di atap gedung sebuah gereja, mengatakan: "Jangan kalian merasa kalian bukan bagian dari (protes) itu," katanya."Masing-masing dari kalian adalah masa depan Hong Kong dan dunia, kalian masing-masing terlibat." (ae/rap)