Cina Sasar Hegemoni di Pasifik
30 November 2013 Sekilas pernyataan pemerintah Cina terkait zona pertahanan udara di Laut Cina Timur terkesan birokratis dan ditujukan pada publik umum. Nyatanya Beijing tidak mencoba menutupi agenda yang diusungnya. Langkah tersebut terutama ditujukan kepada Jepang terkait klaim Cina soal kepulauan Diaoyu atau Senkaku.
Kritik pedas yang dilayangkan pemerintah Jepang dan Amerika Serikat ditanggapi dingin oleh Beijing, "Jepang memberlakukan zona pertahanan udara sejak 1969. Sebab itu mereka tidak berhak mengomentari zona yang dibentuk Cina," kata jurubicara Kementrian Pertahanan Yang Yujun.
Zona pertahanan udara milik Cina berbenturan dengan zona serupa yang diberlakukan Jepang pasca Perang Dunia ke-II. Menurut Beijing, pihaknya berhak mengawasi kawasan udara di sekitar kepulauan Senkaku. "Kalau kami diminta mencabut keputusan itu, Jepang harus terlebih dahulu membatalkan zona udaranya. Setelahnya kami akan menunggu 44 tahun sebelum membuat keputusan," kata Yujun.
Layaknya remaja yang diliputi hormon testosteron
Cina siap menjalani konfrontasi jangka panjang dengan Jepang, begitu terulis di sebuah komentar harian Cina Global Times yang berhaluan nasionalis. Sasaran Beijing adalah merongrong status quo di Laut Cina Timur dan secara perlahan membentuk ulang arsitektur keamanan di kawasan sesuai kepentingan sendiri.
Adalah sayap nasionalis yang mendorong barisan pimpinan di Beijing untuk mengambil langkah dramatis terhadap Jepang. Terlebih, Presiden Cina Xi Jinping jarang bersebrangan dengan suara-suara patriotis di kubunya sendiri. Kendati begitu banyak yang mengritik, Beijing telah salah langkah dalam menakar potensi konflik di kawasan perairannya.
"Cina berhak membentuk zona pertahanan udara, tapi momentum yang dipilih kurang tepat dan malah memberikan kesan agresif. Ini membuat negara-negara lain khawatir," kata David Zweig, pakar politik di Hongkong. Mingguan Internasional The Economist menyebut langkah Cina layaknya seorang remaja yang dipenuhi hormon testosteron.
Majalah yang bermarkas di London itu mengritik pemerintah di Beijing karena dinilai mencoba membatasi kebebasan transportasi di Laut Cina Timur yang dijamin oleh Amerika Serikat sejak Perang Dunia ke-II.
Cina mengancam kebebasan di Pasifik
Jepang bukan satu-satunya negara yang berkonflik dengan Beijing. Negeri tirai bambu itu juga berseteru dengan Filipina dan Vietnam di Laut China Selatan. Kedua negara khawatir Cina akan memberlakukan zona pertahanan udara baru di sekitar kepulauan Spratly dan Paracel.
Repotnya, Kementrian Luar Negeri Cina tidak bersedia menutup kemungkinan terjadinya benih konflik baru di selatan, "kami baru akan mengumumkan keputusan jika semua persiapan sudah dilakukan," kata Jubir Qin Gang datar.
Sebagai demonstrasi kekuatan, Cina pekan lalu mengirimkan kapal induk Liaoning ke Laut Cina Selatan dengan dalih latihan militer. Dalam perjalanannya kapal berbobot 61.000 ton itu melewati selat Taiwan yang ditanggapi sebagai unjuk otot oleh media-media setempat.
Manuver Beijing secara tidak langsung merongrong hegemoni Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan terbesar di Pasifik. Washington sendiri sejauh ini menolak berbagi pengaruh dan mengirimkan dua pesawat pembom B52 ke zona pertahanan bentukan Beijing. Aksi itu sendiri ditanggapi Cina dengan mengancam akan memperluas kontrolnya di kawasan.
Maka tak heran jika pengamat meyakini kunjungan Wakil Presiden AS, Joe Biden ke Beijing pekan depan membawa aroma pertikaian diplomatik. Biden sendiri mengklaim akan menyampaikan kritik terkait sikap keras Cina belakangan.