1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekCina

Cina Sukses Transplantasi Paru-paru Babi ke Manusia

26 Agustus 2025

Paru-paru babi hasil rekayasa genetik berfungsi sembilan hari dalam tubuh pasien mati otak. Ilmuwan harap xenotransplantasi bisa bantu atasi krisis kekurangan organ donor.

Tim yang dipimpin oleh Qin Weijun melakukan operasi transplantasi ginjal babi yang dimodifikasi secara genetik ke pasien yang mengalami kematian otak di rumah sakit pada 25 Maret 2024
Setelah xenotransplantasi ginjal babi pada tahun 2024, para peneliti di Cina telah mengulangi prosedur tersebut dengan paru-paru babiFoto: picture alliance / Xinhua News Agency

Tim dokter di Cina berhasil melakukan transplantasi paru-paru dari babi ke manusia, menunjukkan bahwa prosedur ini memungkinkan dilakukan meskipun masih diperlukan banyak uji lanjutan.

Menurut ilmuwan dari National Clinical Research Center for Respiratory Disease di Guangzhou, paru-paru babi yang dimodifikasi secara genetik dan ditanamkan ke tubuh pasien manusia yang telah dinyatakan mati otak, tetap hidup dan berfungsi selama 216 jam (sembilan hari) tanpa mengalami infeksi atau penolakan dari tubuh penerima.

Apa itu xenotransplantasi?

Xenotransplantasi adalah praktik transplantasi organ antarspesies. Cara ini dianggap sebagai solusi potensial atas krisis kekurangan organ dunia.

Studi dari Guangzhou menyebutkan bahwa kemajuan telah dicapai dalam transplantasi jantung dan ginjal babi ke manusia. Namun, transplantasi paru-paru menghadapi tantangan khusus karena kompleksitas anatomi dan fungsinya. Salah satu tantangan utama adalah paru-paru langsung bersentuhan dengan udara luar sehingga risiko infeksi lebih tinggi.

Dalam studi ini, paru-paru dari babi jantan jenis Bama Xiang berusia 22 bulan dengan berat 70 kilogram berhasil ditransplantasikan ke pria berusia 39 tahun dan tetap berfungsi selama lebih dari seminggu dalam pemantauan.

"Penelitian ini membuktikan bahwa paru-paru babi hasil rekayasa genetik bisa tetap hidup dan berfungsi di penerima mati otak selama 216 jam, tanpa tanda penolakan hiperakut ataupun infeksi tak terkendali,” tulis tim peneliti.

Mereka menambahkan bahwa keberhasilan ini menunjukkan kemajuan besar dalam teknik modifikasi genetik dan strategi imunosupresif, sekaligus mengingatkan adanya tantangan besar yang masih harus diatasi sebelum bisa diterapkan secara klinis.

Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara

Editor: Hani Anggraini

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Matt Ford Reporter dan editor DW Sports, spesial meliput sepak bola Eropa, budaya fans, dan politik olahraga.@matt_4d
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait