Putusan pengadilan arbitrase membuka peluang negara lain buat menggugat Cina atas klaim di Laut Cina Selatan. Tapi Amerika Serikat mewanti-wanti agar tidak gegabah dan memprovokasi Beijing
Iklan
Cina terancam menghadapi gugatan susulan dari negara lain setelah Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) memenangkan Filipina atas konflik Laut Cina Selatan. Pengadilan di Den Haag itu sebelumnya memutuskan Beijing tidak memiliki klaim historis atas kawasan kaya sumber daya tersebut.
Pakar hukum dan keamanan menilai negara-negara lain yang berkonflik dengan Cina kini punya sejumlah jalur litigasi buat menohok Beijing, ketimbang mengambil risiko konflik bersenjata. Selain Filipina, klaim Cina juga tumpang tindih dengan klaim teritorial Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Kelima hakim PCA memutuskan klaim Cina yang mencakup 85% wilayah Laut Cina Selatan melanggar Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Putusan tersebut menanggalkan argumen utama Cina yang mengklaim LCS atas dasar kepemilikan historis.
"Putusan itu akan berdampak besar pada proses hukum di masa depan dan legitimasi atas klaim di Laut Cina Selatan atau di wilayah lain di dunia," kata Gregory Poling, Direktur Asia Maritime Transparency Initiative.
Kendati Cina berulangkali menegaskan tidak mengakui keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, mayoritas putusan arbitrase internasional selama seabad terakhir selalu ditaati. "Kerusakan pada reputasi dianggap penting oleh negara modern," pungkas Poling,
Namun begitu pemerintah Amerika Serikat mewanti-wanti negara lain agar tidak bereaksi terlalu agresif terhadap putusan tersebut. Washington khawatir gelombang gugatan akan mendorong Cina mengambil langkah dramatis.
"Ini adaah peringatan untuk menahan diri, bukan upaya untuk berlomba-lomba menggugat Cina," tutur seorang pejabat AS yang enggan disebut namanya.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.