Hubungan perdagangan antara Cina dan Uni Eropa dianggap tidak adil oleh kedua belah pihak. Apa saja yang dituntut oleh Cina kepada Uni Eropa? Wawancara dengan DW, Pakar Cina Cui Hongjian.
Iklan
DW: Uni Eropa menuntut agar perdagangan dan investasi bilateral dilakukan lebih adil. Apakah tuntutan ini mempunyai alasan?
Cui Hongjian: Perdana Menteri Li keqiang harus bisa meyakinkan Brussels. Ia harus menyampaikan, bahwa Cina sudah melakukan banyak hal. Pada Kongres Rakyat bulan Maret lalu, disahkan undang-undang tentang investasi asing di Cina, yang merupakan jawaban jelas atas kekhawatiran Uni Eropa. Perusahaan-perusahaan asing akan diperlakukan seperti perusahaan lokal dalam banyak sektor.
Pada saat bersamaan, Cina masih merupakan negara berkembang. Pasarnya pasti masih harus terus dibuka. Tetapi Cina tidak bisa diharapkan sudah seperti negara-negara industri. Tetapi sudah jelas perjalanannya menuju ke mana.
Uni Eropa menuntut timbal balik. Agar ini bisa dicapai, dibutuhkan pembicaraan yang intensif dengan mempertimbangkan hal-hal spesifik di Cina. Banyak perubahan sedang berlangsung. Dampaknya tidak akan terlihat secara langsung. Ini harus dijalankan sampai ke setiap wilayah dan dibutuhkan banyak waktu untuk itu di sebuah negara besar seperti Cina. Cina tentu akan menjalankan diskusi nyata dalam tingkat kerja tentang bagaimana dapat memenuhi harapan Komisi Uni Eropa.
Akhir Maret lalu Uni Eropa mendefinisikan Cina sebagai "saingan" dan "rival sistematis". Apakah Cina punya jawaban atas hal itu?
Definisi ini tidak mengejutkan saya. Dalam beberapa tahun terakhir ini memang ada persaingan antara Cina dan Eropa, terutama di bidang-bidang, dimana Cina benar-benar kuat.
Persaingan antara perekonomian adalah hal yang wajar dalam pasar bebas. Cina adalah negara yang tumbuh dengan cepat, sementara Eropa dihadapkan dengan berbagai tantangan di dalam dan di luar Uni Eropa sendiri. Juga sebab itu persaingannya menjadi lebih intensif. Ini sebenarnya tidak buruk. Kedua mitra bisa menggunakan dampak sinerginya, seperti contohnya dalam membangun pasar-pasar lain.
Tujuh Fakta Tentang Jack Ma, Pendiri Alibaba
Jack Ma merayakan ulang tahun ke-55 dengan mengumumkan lengser dari Alibaba. Perjalanannya merintis situs yang kelak akan menyaingi Amazon itu bukan tidak mudah. Inilah tujuh hal yang perlu Anda ketahui tentang Jack Ma.
Foto: Getty Images/AFP/J. Samad
Guru Bahasa Inggris
Lahir di keluarga miskin di Hangzhou, Jack Ma sering kesulitan belajar di sekolah. Kelak setelah lulus ia mencari nafkah dengan mengajar bahasa Inggris setelah 30 lamarannya ditolak, termasuk oleh Kentucky Fried Chicken. Ia membeli komputer pertama di usia 33 tahun dan terkejut ketika tidak bisa menemukan bir Cina yang dijual di internet. Dari situlah ia merangkai ide membuat Alibaba.
Foto: picture-alliance/dpa
Pemandu Wisata
Di Universitas tempat dia mengajar bahasa Inggris, Jack mendapat upah antara 100 hingga 120 renminbi atau sekitar 15$ per bulan. Dia mengajar di sana selama lima tahun. Pengetahuan bahasa didapatnya ketika bekerja sebagai pemandu wisata saat masih berusia 12 tahun. Secara keseluruhan Jack bekerja sampingan sebagai pemandu selama 8 tahun.
Foto: Getty Images/AFP/J. Samad
10 Kali Ditolak Harvard
Pada Forum Ekonomi Dunia 2015 lalu Jack Ma menceritakan pengalamannya ditolak oleh Universitas Harvard. "Saya melamar ke Harvard sepuluh kali dan ditolak sepuluh kali. Saya lalu berjanji pada diri sendiri akan mengajar di sana suatu saat nanti," katanya. Pada 2002 dia diundang memberikan ceramah di Harvard .
Foto: Getty Images
Dua Jam Mengubah Nasib
Pada 1999 Jack Ma mengundang 18 teman dan relasi di apartemennya untuk membahas konsep Alibaba. Dalam dua jam ia berhasil mengumpulkan dana investasi senilai $ 60.000. Kelak semua investor awal diundang untuk menyaksikan peluncuran situs Alibaba yang membutuhkan waktu hampir empat jam untuk ditampilkan secara utuh.
Foto: picture-alliance/Imaginechina/H. Lili
Mencintai Tai Chi
Selama 30 tahun Jack Ma mendalami olahraga Tai Chi. Menyusul kecintaannya pada dunia bela diri, Jack Ma tampil sebagai bintang tamu dalam sebuah film silat pendek, Gong Shou Dao, di mana ia bertanding melawan Jet Li. Menurut Alibaba, film yang dirilis pada 2017 silam itu ditonton oleh 170 juta orang hanya dalam beberapa bulan.
Foto: Reuters
Kekayaan Berlimpah
Ma adalah manusia terkaya ketiga di Cina dengan harta senilai 36,6 milyar Dolar AS, menurut laporan Forbes 2017 lalu. Ketika Alibaba masuk ke lantai bursa 2014 silam, perusahaan tersebut meraup dana segar senilai 25 miliar Dollar AS. Meski Ma hanya memiliki 9% saham Alibaba, nilainya saat ini mencapai 420 miliar Dolar AS.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Lennihan
Mimpi Filantropi
Jack Ma berniat pensiun sejak 10 tahun silam. Dia mengaku ingin mengabdikan diri membantu mengentaskan masalah sosial. Pada 2016 silam yayasan tersebut menyumbangkan 30 juta Dolar AS untuk membantu program pendidikan di daerah tertinggal di Cina. "Ada banyak hal yang ingin saya pelajari dari Bill Gates," ujarnya merujuk pada kedermawanan pendiri Microsoft. (rzn/yf - dari berbagai sumber)
Foto: Getty Images/AFP/P. Parks
7 foto1 | 7
Terkait persaingan sistematisnya, Cina secara internasional menjadi lebih percaya diri.Ini bukan berarti, bahwa Cina ingin mengekspor sistemnya sendiri ke wilayah-wilayah lain. Dalam hal ini, seharusnya Uni Eropa menjadi lebih percaya diri juga.
Uni Eropa menuntut peninjauan investasi-investasi dari negara-negara Non-Uni Eropa. Yang dimaksud disini terutama Cina.
Investasi-investasi Cina di Uni Eropa mengalami fluktuasi besar di beberapa tahun terakhir. Misalnya pada tahun 2016 investasi-investasi dari Cina menjadi fokus publik di Jerman. Ini menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan.
Dalam dua tahun terakhir, investasi langsung semakin menurun. Pada satu sisi, beberapa negara Uni Eropa, antara lain Jerman, menjalankan tindakan pembatasan. Di sisi lain, Cina memperketat aturan arus modal untuk investasi asing karena peraturan baru.
Inisiatif Jalur Sutra Cina dilihat dengan skpetis di Eropa. Terutama di wilayah timur Uni Eropa Cina berinvestasi sangat besar di infrastruktur yang di sana masih lemah. Banyak yang bilang, ini "obral ke Cina". Apakah kekhawatiran ini beralasan?
Kekhawatiran di Eropa sudah diketahui. Pihak-pihak yang khawatir di Jerman misalnya takut, bahwa Cina mengambil alih bidang teknologi di Eropa melalui investasi besarnya dan mengambil manfaat untuknya. Karena itu Eropa takut daya saingnya diperlemah.
Tetapi kenyataannya, Cina di banyak bidang secara teknis tidak bisa bersaing dengan Eropa. Cina lebih mencari kerjasama teknis dengan mitra-mitra Eropa.
Secara bersamaan, ini bukan berarti bahwa Cina "mencuri" teknologi dari orang lain dan melarang produk-produk dari perusahaan asing di Cina. Jika begitu, ini akan menentang globalisasi dan prinsip-prinsi perdagangan bebas.
Apa pendapat Anda tentang perlindungan atas "infrastruktur penting"?
Bagi Jerman, jaringan jalan, bandar udara dan pelabuhan termasuk infrastruktur penting. Dalam bidang-bidang ini sekarang ada kriteria yang lebih ketat bagi investor-investor asing daripada dulu.
Saya menduga, Eropa ingin menggunakan pembatasan seperti ini sebagai alat untuk menekan Cina agar lebih terbuka. Dan ini sisi ironisnya: Cina semakin membuka diri,sementara Eropa dan Jerman ingin melindungi pasarnya.Ini juga menyebabkan ketidakseimbangan.
Kedua belah pihak harus berdiskusi bagaimana timbal baliknya bisa dicapai dan bagaimana investasi dalam bidang infrastruktur penting dapat diatur. Dalam hal ini selalu diperlukan obyektifitas. Jika seorang investor Cina mengambil alih sebuah pelabuhan di Italia, ini masih sangat jauh dari "mengendalikan Eropa secara sistematis". Perdebatan publiknya harus tetap dilakukan dengan obyektif dan tidak dengan emosional.
*Cui Hongjian memimpin Institut Studi Eropa di Institut Studi Internasional Cina (CIIS) di Beijing.
Jurus Cina Bungkam Brunei dalam Konflik Laut Cina Selatan
Brunei yang sedang mengalami resesi membutuhkan aliran dana investasi dan mendapati Cina sebagai juru selamat. Namun pertautan kedua negara bukan tak beriak. Beijing mengharapkan balasan yang setimpal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Han Guan
Akhir Kejayaan Minyak
Selama berpuluh tahun warga Brunei menikmati kemakmuran tak berbatas berkat produksi minyak berlimpah. Namun kemakmuran tersebut tidak bertahan lama. Pasalnya cadangan minyak Brunei bakal pupus dalam dua dekade ke depan. Negeri kesultanan itu pun dilanda resesi sejak tiga tahun terakhir dan terpaksa memangkas berbagai subsidi.
Foto: picture-alliance/dpa
Resesi Tanpa Henti
Tidak heran jika laju pertumbuhan ekonomi Brunei merangkak di kisaran 0,6% pada 2016 silam dan bahkan anjlok menjadi minus 2,7% pada 2017. Pondasi ekonomi yang terlalu bergantung pada pemasukan dari sektor migas menjadi petaka ketika harga minyak dunia menukik tajam sejak beberapa tahun terakhir.
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Ekonomi Terpusat di Ujung Hayat
Menurut analis pasar tenaga kerja, warga Brunei cendrung menginginkan pekerjaan di pemerintahan, perusahaan pelat merah atau industri minyak. Tapi justru ketiganya sedang babak belur. Akibatnya angka pengangguran meroket tajam. Kondisi ini memaksa Sultan Hassanal Bolkiah mencari sumber duit baru.
Foto: picture alliance/landov/Z. Jie
Cina Menggeser Arab
Biasanya Brunei melirik negara-negara Arab untuk mencari investasi. Namun kali ini Sultan Hasanah Bolkiah melirik poros ekonomi baru dan mendapati Cina sebagai juru selamat. Sejak beberapa tahun terakhir Beijing aktif menyuntikkan dana untuk perekonomian Brunei yang tengah lesu.
Foto: Imago/Xinhua/J. Wong
Gerbang Investasi
Ketika Citibank hengkang setelah mengawal investasi asing untuk Brunei selama 41 tahun, Bank of China justru membuka cabang di Bandar Seri Begawan. Kehadiran bank pelat merah itu diharapkan menjadi pintu masuk aliran dana investasi langsung dari Tiongkok. Sejauh ini Cina telah menginevatasikan 4,1 miliar USD di Brunei.
Foto: Getty Images/AFP/M. Ralston
Berharap Pada Duit Tiongkok
Investasi Cina mencakup berbagai sektor, mulai dari industri pertanian dan makanan, energi dan perikanan. Menurut klaim pemerintah, aliran dana investasi dari Tiongkok akan menciptakan 1.600 lapangan kerja baru dan menopang sekitar 5.000 lapangan kerja di sektor pendukung seperti logistik dan perbankan.
Foto: Fotolia/philipus
Pertaruhan Bolkiah di Utara
Pertautan itu bukan tak beriak. Sultan Bolkiah banyak membisu ihwal konflik di Laut Cina Selatan. Sikap gamang Brunei dinilai merupakan hasil dari strategi Cina mendekati negara kecil di ASEAN terkait klaim teritorial Beijing. Padahal kawasan laut yang diperebutkan diyakini mengandung cadangan energi dalam jumlah besar, sesuatu yang dibutuhkan Brunei buat menjamin kemakmuran warganya di masa depan
Tajam Diplomasi Xi
Sejak Xi Jinping memegang jabatan Sekretaris Jendral PKC 2012 silam, Beijing aktif menggunakan 'diplomasi buku cek' terhadap negara-negara ASEAN untuk mengamankan klaimnya di Laut Cina Selatan. Selain Brunei, Cina juga aktif menanam investasi di Malaysia, Laos dan Kamboja. Harapannya dengan meningkatnya kebergantungan ekonomi, ASEAN akan sulit menyatukan suara dalam konflik Laut Cina Selatan.