Protes diam para anak muda terhadap pembatasan COVID yang kejam di Cina berakhir saat pandemi. Namun, mantan demonstran memperingatkan, ketegangan yang mendalam dapat memicu kerusuhan lebih lanjut di masa depan.
Iklan
Dua tahun lalu, para mahasiswa di kota-kota besar di Cina turun ke jalan sambil memegang kertas berukuran A4 kosong sebagai simbol perlawanan diam terhadap pembatasan pandemi yang keras dari pemerintahnya.
Serangkaian protes ini dikenal sebagai Gerakan "White Paper” atau Revolusi A4, yakni tindakan protes pembangkangan nasional terhadap pemerintah Cina, yang terbesar sejak Tragedi Tiananmen pada 1989.
"Pemerintah kini lebih takut pada Gerakan White Paper daripada insiden Tiananmen, karena gerakan ini langsung menargetkan rezim otoriter Xi Jinping," kata Yicheng Huang, seorang mantan demonstran aksi protes White Paper yang kini tinggal di Jerman.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Awalnya, para pengunjuk rasa menyerukan adanya pelonggaran "lockdown” atau karantina COVID-19, tetapi gerakan ini meningkat menjadi tuntutan, agar Pemimpin Cina Xi Jinping dan Partai Komunis segera mengundurkan diri.
Meskipun gerakan ini kemudian ditekan oleh pemerintah dan gagal membawa perubahan sistematis di masyarakat Cina, Huang mengatakan kepada DW bahwa ketidakpuasan publik terus menumpuk dalam dua tahun terakhir.
Cina Hentikan Pengiriman Anak ke Luar Negeri untuk Diadopsi
01:20
Para demonstran ‘trauma', tetapi juga ‘diberdayakan'
Selama pandemi, Presiden Cina Xi Jinping dengan tegas mendukung kebijakan nol toleransi terhadap pelanggaran karantina dalam upaya mengendalikan penyebaran COVID-19.
Iklan
Cina tetap memberlakukan pembatasan, bahkan setelah sebagian besar populasinya menerima vaksin COVID-19. Sementara, banyak negara lain mulai melonggarkan aturan dan hidup berdampingan dengan risiko kesehatan akibat terpapar COVID-19 yang saat itu mulai menurun.
Karantina super ketat dan tes swab massal, terus diberlakukan hingga akhir tahun 2022, meskipun ketidakpuasan publik semakin meningkat.
Pada November 2022, insiden kebakaran mematikan terjadi di sebuah apartemen di Urumqi, ibu kota provinsi Xinjiang, yang merupakan tempat tinggal bagi kaum minoritas Muslim Uighur. Setidaknya 10 orang dilaporkan tewas.
Banyak yang percaya bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, dan banyak warga yang menyalahkan kebijakan karantina super ketat itu yang memperparah kebakaran. Acara peringatan menyalakan lilin untuk para korban akhirnya berkembang menjadi protes besar-besaran.
Potret Pandemi COVID-19 dalam Seni Jalanan Internasional
Pandemi virus corona telah berlangsung sejak tahun 2020. Dari Wuhan hingga Meksiko, DW merangkum potret pandemi yang ditampilkan dalam seni jalanan di berbagai negara.
Foto: Getty Images/AFP/P. Pardo
Wuhan, Cina
Pada awal tahun 2020, epidemi itu menyebar ke seluruh pelosok Wuhan di Cina. Kemudian pada 11 Maret, WHO secara resmi mengumumkan wabah COVID-19 sebagai pandemi. Seni jalanan di kota Wuhan ini menggambarkan dua perawat yang mengenakan alat pelindung diri lengkap saat melawan virus corona.
Foto: Getty Images
Italia
Wabah corona melanda Italia hingga menyebabkan seluruh ranjang perawatan di rumah sakit terisi penuh. Seluruh negeri terdampak, pariwisata juga ditutup. Lukisan mengenai pandemi tergambar dengan indah di Roma, menampilkan dua kekasih yang menaati protokol kesehatan.
Foto: Andreas Solaro/AFP/Getty Images
Jerman
Pada saat wabah corona merebak di Jerman, tisu toilet menjadi komoditas yang habis diborong warga hingga toko-toko harus membatasi pembelian. Karya seni di Berlin yang dibuat oleh Eme Freethinker ini menggambarkan sosok Gollum dari "Lord of the Rings" yang sedang melihat Tupai Scrat dari "Ice Age" mencuri gulungan tisu toilet.
Foto: Maja Hitij/Getty Images
Meksiko
Seniman grafiti di seluruh dunia mengidolakan para perawat yang telah berjuang melawan wabah COVID-19. Dalam lukisan karya seniman urban Applez di Meksiko, figurnya seorang petugas kesehatan memakai masker berlogo Superman.
Foto: Getty Images/AFP/P. Pardo
Australia
Gambar yang menghargai jasa petugas kesehatan terpampang di sebuah lokasi di Melbourne, Australia. Grafiti itu dilukis untuk memperingati Hari Perawat Internasional pada 12 Mei 2020, yang dirayakan untuk menghormati Florence Nightingale, pendiri keperawatan modern Inggris yang lahir pada tanggal yang sama, 200 tahun lalu.
Foto: AFP/W. West
Skotlandia
Seorang pejalan kaki melewati lukisan jalanan di Glasgow, Skotlandia. Inggris memberlakukan pembatasan alias lockdown ketat pada Desember 2020 setelah varian baru virus corona yang sekarang disebut sebagai "varian Inggris", mulai menyebar dengan cepat.
Foto: Andy Buchanan/AFP/Getty Images
Yunani
Karya seni ini berada di samping sebuah rumah sakit di Thessaloniki, Yunani, sebuah tempat untuk merawat bagi tenaga medis, ketika pertama kali 14 orang dinyatakan positif terinfeksi virus corona SARS-Cov-2 pada musim panas 2020.
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images
Senegal
Sejak tahun 2020, banyak dari kita yang mulai menerapkan tren pola hidup sehat. Anggota kelompok grafiti Senegal, RBS CREW melukisi dinding Universitas Cheikh Anta Diop di Dakar dengan grafiti yang menggambarkan seorang pria yang menekuk siku saat bersin, sebagai tindakan pencegahan terhadap penyebaran virus COVID-19.
Foto: Getty Images/AFP/Seyllou
India
Seorang warga India yang memakai masker berjalan melewati grafiti Buddha yang juga mengenakan masker bedah biru serupa. Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, yang tinggal di India utara, mendapat dosis pertama vaksin virus corona pada 6 Maret lalu dan mengimbau orang-orang untuk melakukan hal yang sama.
Foto: Getty Images/AFP/I. Mukherjee
Irlandia
Sebuah mural yang dibuat seniman Emma Blake, meniru lukisan terkenal "We Can Do It!". Dalam perang melawan virus corona, pertempuran terjadi di seluruh rumah sakit di dunia, sama seperti yang digambarkan dalam lukisan di Dublin, Irlandia.
Foto: Reuters/J. Cairnduff
New York, AS
Ketika mantan Presiden AS Donald Trump menjabat, dia sempat meremehkan bahaya virus corona. Sebuah mural yang mengejek mantan presiden tersebut dilukis oleh seniman jalanan Pure Genius di New York.
Foto: Timothy A. Clary/AFP/ Getty Images
Belanda
Seorang gadis memegang hati yang berwarna bendera Belanda, dilukis sebagai tanda harapan bagi mereka yang menderita akibat virus corona. Pada bulan Januari dan Februari lalu, bentrokan pecah antara polisi anti huru hara dan penduduk Belanda yang marah karena diberlakukannya lockdown.
Foto: picture-alliance/AP Photo/P. Dejong
Kenya
Warga Nairobi terlihat berjalan melewati lukisan virus corona yang tampak bertampang kejam. Saat ini Kenya mendistribusikan vaksin AstraZeneca, sehingga menjadikannya negara Afrika Timur pertama yang melaksanakan program vaksinasi massal. (ha/as)
Foto: Getty Images/AFP/S. Maina
13 foto1 | 13
Trauma yang ‘bermakna' bersama masyarakat yang terisolasi
Setelah kerusuhan tersebut, otoritas Cina mencabut kebijakan nol-COVID, seraya mengeklaim "kemenangan besar yang sangat menentukan" dalam pencegahan dan pengendalian selama pandemi.
Pada saat yang sama, sekitar 100 pengunjuk rasa ditangkap dan didakwa atas tuduhan "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah." Beberapa di antaranya bahkan masih ditahan hingga kini, sementara yang lain telah dibebaskan dengan jaminan atau diasingkan ke luar negeri.
"Bagi mereka yang berpartisipasi dalam Gerakan White Paper, traumanya sangat signifikan," kata Huang, seraya mencatat bahwa pembangkangan sipil di Cina "memiliki konsekuensi yang sangat berat."
Huang mengatakan dia dipukuli secara brutal oleh polisi, dibanting ke tanah, dan diseret ke dalam bus dengan wajah berlumuran darah.
Kesaksian dari pengunjuk rasa lainnya juga menyoroti kondisi penahanan yang kejam, termasuk kurungan isolasi, sesi interogasi yang berkepanjangan, dan perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima.
Namun, "baik itu kesedihan dan trauma maupun rasa pemberdayaan dan solidaritas yang mereka rasakan, semuanya bermakna," kata Yaqiu Wang, direktur penelitian untuk Cina, Hong Kong, dan Taiwan di Freedom House.
Wang menggambarkan Cina sebagai masyarakat yang teratomisasi di mana individu biasanya merasa terisolasi. Tingkat ketidakpuasan kolektif yang ditunjukkan selama Gerakan White Paper itu mengejutkan banyak orang, katanya kepada DW.
"Momen itu telah berlalu, dan orang-orang tidak dapat berbuat banyak hal lagi. Namun, rasa kebersamaan itu akan tetap ada di dalam diri mereka," ujarnya.
Pekerja Seni Hong Kong dan Cina yang Dipersekusi Beijing
Seniman Hong Kong yang mengekspresikan sikap pro-demokrasi, kreativitasnya dibungkam, sama seperti para musisi di Cina. Berikut daftar seniman yang jadi target persekusi Beijing.
Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/picture alliance
Menamakan diri ‘pemadam kebakaran budaya’
Kacey Wong baru saja hengkang dari Hong Kong ke Taiwan, dengan alasan kurangnya ruang untuk ekspresi artistik. Terkenal dengan seni pertunjukan satire politiknya, musisi lulusan Cornell ini memilih isu seperti Pembantaian Tiananmen atau sensor di Cina. Dalam konser “The Patriot” tahun 2018, ia menyanyikan lagu kebangsaan Cina di dalam jeruji besi berwarna merah.
Foto: ANTHONY WALLACE/AFP
Lagu tentang pilihan
Pendukung gerakan pro-demokrasi Hong Kong, Anthony Wong (kiri) menyanyikan lagu “A Forbidden fruit per day” pada saat pemilu 2018. “Lagu ini menceritakan pilihan, entah masyarakat punya pilihan atau tidak,” ucapnya. Ia ditangkap aparat belum lama ini dan pejabat Komisi independen anti Korupsi Hong Kong mendakwanya karena “perilaku korup.” Wong terancam hukuman penjara cukup lama.
Foto: Alvin Chan/SOPA/Zuma/picture alliance
Tirani tidak bisa mengalahkan kreativitas
Penyanyi Kanton Pop, aktris, dan aktivis pro-demokrasi Denise Ho masuk daftar hitam karena bergabung dengan Gerakan Payung Hong Kong 2014. Saat TEDTalk tahun 2019 dia mengatakan, tirani tidak akan bisa mengalahkan kreativitas. “Apakah itu protes turun ke jalan yang menciptakan gejolak baru atau saat warga menemukan kembali jati dirinya, sistem butuh waktu untuk melawannya dengan mencari solusi.”
Foto: Asanka Ratnayake/Getty Images
Dianugerahi Nobel Perdamaian saat di penjara
Mendiang Liu Xiaobo dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 2010 atas “perjuangan panjang dan tanpa kekerasan demi hak asasi manusia di Cina” saat ia menjalani masa tahanan keempatnya. Dia adalah penulis, kritikus sastra, aktivis hak asasi manusia, dan filsuf yang ditangkap berkali-kali, dicap sebagai pembangkang Cina, dan dikenal sebagai tahanan politik.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Xia
Seni sebagai alat bantu untuk kebebasan
Seniman kontemporer dan pembangkang politik Ai Weiwei dipenjara tahun 2011 karena dituduh mengemplang pajak. Dibebaskan setelah 81 hari, dan diorama ini menggambarkan kisah menyedihkan dari penahanannya. Ai menjelaskan makna karyanya: “Jika karya saya bermakna, itu adalah alat kebebasan. Jika saya melihat korban otoritarianisme, saya adalah tentara pembela kebebasan mereka.”
Foto: Federico Gambarini/dpa/picture alliance
Saat kebenaran jadi tabu
Pembuat film dan penulis Zhou Qing harus membayar mahal karena menulis hal tabu. Saat wawancara 2011 lalu, dia mengatakan “di Cina mengungkap kebenaran membuat orang menderita selamanya. Warga biasa yang tahu dan menyebarkannya akan kehilangan keluarga atau pekerjaan. Penulis yang mengungkap kebenaran diadili dengan ancaman penjara. Pejabat yang memilih kebenaran, kemungkinan kehilangan nyawanya.”
Foto: Ai Weiwei/Zhou Qing
Gunakan budaya pop lawan propaganda
Lahir dan besar di Shanghai, Badiucao beken sebagai kartunis politik, seniman, dan aktivis yang "pergi belajar" ke Australia tahun 2009 dan menetap di sana. Dia menggunakan nama penanya untuk melindungi identitasnya. Ia melontarkan pernyataan politiknya berupa penggabungan lelucon politik, satir, dan budaya pop dengan gambar khas propaganda partai komunis. Presiden Xi Jinping sering jadi objeknya.
Foto: Libor Sojka/Ctk/dpa/picture alliance
Dari pahlawan jadi musuh negara
Mulanya Chloe Zhao dielu-elukan media resmi Cina sebagai “kebanggan Cina” setelah menyabet predikat Sutradara Terbaik versi Golden Globe 2021. Namun, kemenangan Oscar ini tidak lagi dianggap, dan pujian di media sosial juga dihapus. Spekulasinya, saat wawancara dengan majalah Filmmaker tahun 2013, dia menghina Cina dengan mendeskrpsikan Cina sebagai “negara dengan kebohongan di mana-mana.” (mh/as)
Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/picture alliance
8 foto1 | 8
Beijing antisipasi anak muda yang berkumpul secara spontan
Sejak Gerakan Protes White Paper itu, Beijing telah memperketat kontrol dan sensor terhadap perkumpulan spontan para kaum mudanya.
Awal bulan ini, puluhan ribu mahasiswa di provinsi Henan mengikuti tren bersepeda pada malam hari hanya untuk makan sup pangsit sup, tetapi pemerintah meresponsnya dengan memperketat pembatasan kepada para anak muda ini.
Dengan alasan adanya kekhawatiran terhadap keselamatan publik, pemerintah setempat menutup jalur sepeda dan memberlakukan jam malam; beberapa universitas juga menerapkan karantina, mencegah mahasiswa meninggalkan wilayah kampus.
"Hal itu benar-benar menunjukkan bahwa Partai Komunis Cina sangat takut pada rakyatnya sendiri. [Partai] secara intuitif memahami bahwa ketika orang-orang berkumpul, mereka bisa berbalik melawan Partai," kata Wang kepada DW.
Pemerintah juga memperketat pengawasan pada parade Halloween di Shanghai tahun ini. Orang-orang yang mengenakan kostum, terutama jika kostum tersebut dianggap bermuatan politik, mereka akan ditangkap oleh pihak polisi.
"[Beijing] terus berusaha memberantas perkumpulan spontan ini," kata Huang. Namun, dia menggambarkan masyarakat Cina sebagai "kayu kering yang menunggu untuk disulut," karena kontradiksi yang tidak terselesaikan terus berkembang.
"Bagi Xi Jinping, masyarakat ini sangat menakutkan, sangat menakutkan," ujarnya.
Fenomena Chindo: Tren Masa Kini atau Produk Trauma Generasi
01:59
This browser does not support the video element.
Serangan kekerasan memicu kemarahan publik
Cina telah mengalami serangkaian serangan mematikan dalam beberapa pekan terakhir, termasuk penusukan massal dan penabrakan mobil oleh individu yang melampiaskan frustrasi pribadi dengan menyerang orang asing secara acak.
Kekerasan ini mengejutkan banyak orang di Cina. Negara ini bangga dengan kebijakan super ketat terhadap pengendalian senjata api dan pisau, serta keselamatan publiknya secara keseluruhan.
Dilaporkan bahwa pihak berwenang berupaya keras membatasi informasi dari internet segera setelah serangan itu terjadi, di mana hal itu dapat dianggap sebagai tanda kekhawatiran Beijing terhadap potensi meletusnya kerusuhan kembali
Terlepas dari upaya mereka itu, ruang obrolan secara online di seluruh Cina segera dipenuhi para pengguna yang membahas fenomena "balas dendam terhadap masyarakat."
ALSV: Virus Baru yang Bisa Ditularkan Serangga
03:58
'Tekanan tinggi' di Cina tidak akan bertahan
"Sejak pandemi, kami melihat bahwa sistem sensor pemerintah sebenarnya cukup rapuh, dengan banyak kejadian opini publik yang justru berbalik menyerang," kata Kele, anggota Citizens Daily, sebuah akun Instagram yang didedikasikan untuk mengumpulkan dan menjaga suara-suara perbedaan pendapat politik di Cina.
Kele, yang berbicara dengan nama samaran demi alasan keamanan, mengatakan bahwa protes White Paper ini telah membuat generasi muda Cina menyadari bahwa "meskipun saya tidak memiliki banyak sumber daya, saya dapat membuat cukup banyak kebisingan sehingga pemerintah memperhatikan saya."
Meskipun motif individu para demonstran ini dapat bervariasi, para aktivis percaya bahwa semuanya dapat ditelusuri kembali ke perasaan frustrasi publik di tengah meningkatnya pengendalian dan perlambatan ekonomi.
Dan bagi mantan demonstran seperti Huang ini, ia juga merasakan frustrasi yang sama terhadap pemerintah Cina yang semakin tidak stabil dan lebih represif, yang terlihat sebagai katalisator untuk pembunuhan massal baru-baru ini.
"Mustahil untuk mempertahankan negara dengan tekanan tinggi tanpa batas waktu. Serangan kekerasan gaya 'serigala tunggal' semakin sering terjadi di masyarakat, dan ini karena orang merasa tidak ada keadilan dan tidak ada harapan," kata Huang.