1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialCina

Cina dalam Ancaman Protes “White Paper” Baru

26 November 2024

Protes diam para anak muda terhadap pembatasan COVID yang kejam di Cina berakhir saat pandemi. Namun, mantan demonstran memperingatkan, ketegangan yang mendalam dapat memicu kerusuhan lebih lanjut di masa depan.

Kerumunan para pengunjuk rasa gerakan White Paper. Terlihat seorang pria mengangkat kertas putih kosong sebagai bentuk perlawanan.
Kebakaran di kota Urumqi pada 2022, memicu protes White Paper di beberapa kota-kota besar di Cina, seperti BeijingFoto: Thomas Peter/REUTERS

Dua tahun lalu, para mahasiswa di kota-kota besar di Cina turun ke jalan sambil memegang kertas berukuran A4 kosong sebagai simbol perlawanan diam terhadap pembatasan pandemi yang keras dari pemerintahnya. 

Serangkaian protes ini dikenal sebagai Gerakan "White Paper” atau Revolusi A4, yakni tindakan protes pembangkangan nasional terhadap pemerintah Cina, yang terbesar sejak Tragedi Tiananmen pada 1989. 

"Pemerintah kini lebih takut pada Gerakan White Paper daripada insiden Tiananmen, karena gerakan ini langsung menargetkan rezim otoriter Xi Jinping," kata Yicheng Huang, seorang mantan demonstran aksi protes White Paper yang kini tinggal di Jerman. 

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Awalnya, para pengunjuk rasa menyerukan adanya pelonggaran "lockdown” atau karantina COVID-19, tetapi gerakan ini meningkat menjadi tuntutan, agar Pemimpin Cina Xi Jinping dan Partai Komunis segera mengundurkan diri. 

Meskipun gerakan ini kemudian ditekan oleh pemerintah dan gagal membawa perubahan sistematis di masyarakat Cina, Huang mengatakan kepada DW bahwa ketidakpuasan publik terus menumpuk dalam dua tahun terakhir.

Cina Hentikan Pengiriman Anak ke Luar Negeri untuk Diadopsi

01:20

This browser does not support the video element.

Para demonstran ‘trauma', tetapi juga ‘diberdayakan'

Selama pandemi, Presiden Cina Xi Jinping dengan tegas mendukung kebijakan nol toleransi terhadap pelanggaran karantina dalam upaya mengendalikan penyebaran COVID-19.

Cina tetap memberlakukan pembatasan, bahkan setelah sebagian besar populasinya menerima vaksin COVID-19. Sementara, banyak negara lain mulai melonggarkan aturan dan hidup berdampingan dengan risiko kesehatan akibat terpapar COVID-19 yang saat itu mulai menurun.

Karantina super ketat dan tes swab massal, terus diberlakukan hingga akhir tahun 2022, meskipun ketidakpuasan publik semakin meningkat.

Pada November 2022, insiden kebakaran mematikan terjadi di sebuah apartemen di Urumqi, ibu kota provinsi Xinjiang, yang merupakan tempat tinggal bagi kaum minoritas Muslim Uighur. Setidaknya 10 orang dilaporkan tewas.

Banyak yang percaya bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, dan banyak warga yang menyalahkan kebijakan karantina super ketat itu yang memperparah kebakaran. Acara peringatan menyalakan lilin untuk para korban akhirnya berkembang menjadi protes besar-besaran.

Trauma yang ‘bermakna' bersama masyarakat yang terisolasi

Setelah kerusuhan tersebut, otoritas Cina mencabut kebijakan nol-COVID, seraya mengeklaim "kemenangan besar yang sangat menentukan" dalam pencegahan dan pengendalian selama pandemi.

Pada saat yang sama, sekitar 100 pengunjuk rasa ditangkap dan didakwa atas tuduhan "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah." Beberapa di antaranya bahkan masih ditahan hingga kini, sementara yang lain telah dibebaskan dengan jaminan atau diasingkan ke luar negeri. 

"Bagi mereka yang berpartisipasi dalam Gerakan White Paper, traumanya sangat signifikan," kata Huang, seraya mencatat bahwa pembangkangan sipil di Cina "memiliki konsekuensi yang sangat berat."

Huang mengatakan dia dipukuli secara brutal oleh polisi, dibanting ke tanah, dan diseret ke dalam bus dengan wajah berlumuran darah. 

Kesaksian dari pengunjuk rasa lainnya juga menyoroti kondisi penahanan yang kejam, termasuk kurungan isolasi, sesi interogasi yang berkepanjangan, dan perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima.

Namun, "baik itu kesedihan dan trauma maupun rasa pemberdayaan dan solidaritas yang mereka rasakan, semuanya bermakna," kata Yaqiu Wang, direktur penelitian untuk Cina, Hong Kong, dan Taiwan di Freedom House. 

Wang menggambarkan Cina sebagai masyarakat yang teratomisasi di mana individu biasanya merasa terisolasi. Tingkat ketidakpuasan kolektif yang ditunjukkan selama Gerakan White Paper itu mengejutkan banyak orang, katanya kepada DW. 

"Momen itu telah berlalu, dan orang-orang tidak dapat berbuat banyak hal lagi. Namun, rasa kebersamaan itu akan tetap ada di dalam diri mereka," ujarnya. 

Beijing antisipasi anak muda yang berkumpul secara spontan

Sejak Gerakan Protes White Paper itu, Beijing telah memperketat kontrol dan sensor terhadap perkumpulan spontan para kaum mudanya.

Awal bulan ini, puluhan ribu mahasiswa di provinsi Henan mengikuti tren bersepeda pada malam hari hanya untuk makan sup pangsit sup, tetapi pemerintah meresponsnya dengan memperketat pembatasan kepada para anak muda ini. 

Dengan alasan adanya kekhawatiran terhadap keselamatan publik, pemerintah setempat menutup jalur sepeda dan memberlakukan jam malam; beberapa universitas juga menerapkan karantina, mencegah mahasiswa meninggalkan wilayah kampus.

"Hal itu benar-benar menunjukkan bahwa Partai Komunis Cina sangat takut pada rakyatnya sendiri. [Partai] secara intuitif memahami bahwa ketika orang-orang berkumpul, mereka bisa berbalik melawan Partai," kata Wang kepada DW.

Pemerintah juga memperketat pengawasan pada parade Halloween di Shanghai tahun ini. Orang-orang yang mengenakan kostum, terutama jika kostum tersebut dianggap bermuatan politik, mereka akan ditangkap oleh pihak polisi.

"[Beijing] terus berusaha memberantas perkumpulan spontan ini," kata Huang. Namun, dia menggambarkan masyarakat Cina sebagai "kayu kering yang menunggu untuk disulut," karena kontradiksi yang tidak terselesaikan terus berkembang.

"Bagi Xi Jinping, masyarakat ini sangat menakutkan, sangat menakutkan," ujarnya.

Fenomena Chindo: Tren Masa Kini atau Produk Trauma Generasi

01:59

This browser does not support the video element.

Serangan kekerasan memicu kemarahan publik

Cina telah mengalami serangkaian serangan mematikan dalam beberapa pekan terakhir, termasuk penusukan massal dan penabrakan mobil oleh individu yang melampiaskan frustrasi pribadi dengan menyerang orang asing secara acak.

Kekerasan ini mengejutkan banyak orang di Cina. Negara ini bangga dengan kebijakan super ketat terhadap pengendalian senjata api dan pisau, serta keselamatan publiknya secara keseluruhan.

Dilaporkan bahwa pihak berwenang berupaya keras membatasi informasi dari internet segera setelah serangan itu terjadi, di mana hal itu dapat dianggap sebagai tanda kekhawatiran Beijing terhadap potensi meletusnya kerusuhan kembali

Terlepas dari upaya mereka itu, ruang obrolan secara online di seluruh Cina segera dipenuhi para pengguna yang membahas fenomena "balas dendam terhadap masyarakat." 

ALSV: Virus Baru yang Bisa Ditularkan Serangga

03:58

This browser does not support the video element.

'Tekanan tinggi' di Cina  tidak akan bertahan

"Sejak pandemi, kami melihat bahwa sistem sensor pemerintah sebenarnya cukup rapuh, dengan banyak kejadian opini publik yang justru berbalik menyerang," kata Kele, anggota Citizens Daily, sebuah akun Instagram yang didedikasikan untuk mengumpulkan dan menjaga suara-suara perbedaan pendapat politik di Cina.

Kele, yang berbicara dengan nama samaran demi alasan keamanan, mengatakan bahwa protes White Paper ini telah membuat generasi muda Cina menyadari bahwa "meskipun saya tidak memiliki banyak sumber daya, saya dapat membuat cukup banyak kebisingan sehingga pemerintah memperhatikan saya."

Meskipun motif individu para demonstran ini dapat bervariasi, para aktivis percaya bahwa semuanya dapat ditelusuri kembali ke perasaan frustrasi publik di tengah meningkatnya pengendalian dan perlambatan ekonomi.

Dan bagi mantan demonstran seperti Huang ini, ia juga merasakan frustrasi yang sama terhadap pemerintah Cina yang semakin tidak stabil dan lebih represif, yang terlihat sebagai katalisator untuk pembunuhan massal baru-baru ini.

"Mustahil untuk mempertahankan negara dengan tekanan tinggi tanpa batas waktu. Serangan kekerasan gaya 'serigala tunggal' semakin sering terjadi di masyarakat, dan ini karena orang merasa tidak ada keadilan dan tidak ada harapan," kata Huang.

 

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris

Yu-chen Li Li adalah Jurnalis multimedia dan saat ini bekerja sebagai koresponden Taipei di DW.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait