Hingga 40 tahun setelah kematiannya Cina masih belum menemukan tempat untuk Mao Zedong. Sikapnya yang anti kapitalisme tidak sejurus dengan wajah modern Cina, tapi banyak petinggi pemerintah yang berutang kuasa padanya
Iklan
Empat puluh tahun setelah kematiannya, bayang-bayang Mao Zedong belum pudar. Jenazahnya masih bersemayam di jantung kota Beijing. Wajahnya menghiasi hampir setiap dompet dalam bentuk mata uang.
Tapi ironisnya adalah sebuah hal yang tabu di Cina buat mendiskusikan peran sejarah sang pemimpin besar.
Mao Zedong mewakili dua wajah Partai Komunis Cina. Ia dianggap serupa Lenin yang membawa komunisme pada kekuasaan, tapi juga merupakan seorang Stalin yang membantai jutaan nyawa saat berkuasa.
Jelang peringatan 40 tahun kematiannya, 9 September, Partai Komunis memublikasikan resolusi sepanjang 23.000 kata yang mendeskripsikan Mao sebagai seorang "Marxis besar dan revolusioner proletariat, seorang strategis dan pecinta teori," yang "melakukan kesalahan besar."
"Anda tidak bisa menyentuh kredibilitas, reputasi dan citra Mao tanpa memperlemah pondasi Partai Komunis Cina," kata pakar politik Universitas Hong Kong, Frank Dikotter.
Di bawah Presiden Xi Jinping, pemerintah Cina memastikan semua orang menganut pedoman serupa soal Mao. Prinsip yang dianut mengikuti asas 70-30, bahwa 70% kiprah Mao adalah hal baik, sementara sisanya merupakan "kesalahan."
"Ada semacam amnesia yang diwajibkan negara perihal catatan sejarah asli Mao," kata Fei Ling Wang, pakar Cina di Georga Institute of Technology.
Revolusi Merah Mao Zedong
50 tahun silam Mao Zedong menggulirkan Revolusi Kebudayaan buat membersihkan Cina dari elemen "borjuis." Hasilnya puluhan juta manusia tewas dalam waktu 10 tahun. Kampanye itu menyeret Cina kembali ke masa revolusi
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Perang Mao Melawan Anasir Borjuis
Lima puluh tahun silam Ketua Umum Partai Komunis Cina, Mao Zedong, menggalang revolusi budaya buat menumpas elemen "borjuis" di dalam partai. Hasilnya 1,8 juta manusia tewas dalam waktu 10 tahun. Sementara 36 juta penduduk menjadi korban presekusi hingga kematian sang pemimpin besar tahun 1976.
Foto: picture-alliance/dpa/DB AFP
Perang Ideologi dua Pemimpin
Adalah Liu Shaoqi yang menjadi rival ideologi Mao saat itu. Liu yang merupakan orang kedua terkuat di PKC menilai perjuangan kelas telah berakhir. Ia mengimpikan Cina yang bersatu dan kuat secara ekonomi, serupa seperti wajah Cina saat ini. Mao sebaliknya menginginkan Cina yang selamanya revolusioner dan mendeklarasikan birokrat PKC sebagai musuh negara.
Foto: Imago/Xinhua
Mengungsi Lalu Menyerang
Ketika usulan Mao untuk kembali menghidupkan perjuangan kelas ditolak oleh elit PKC yang digalang Liu dan Deng Xiaoping, ia hijrah ke Shanghai buat melanjutkan perjuangannya. Dengan bantuan militer, Mao menguasai berbagai media massa buat melucuti musuh politiknya di Beijing. Pada April 1965, sebanyak 33.000 serdadu menggeruduk ibukota dan mengambil alih kekuasaan.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk/UPI
Maoisasi PKC
Setelah menyingkirkan musuh politiknya dari Politbiro, Mao menempatkan orang kepercayaannya di jabatan terpenting PKC dan menggeser Liu Shaoqi dengan Menteri Pertahanan Lin Bao (ki.). Sang pemimpin besar kerap menggunakan media untuk menyerang Liu dan Deng, serta elit PKC lain yang dia tuding "borjuis."
Foto: Getty Images/Hulton Archive/Keystone
Fase Pertama Revolusi
Bersamaan dengan dominasi Mao di PKC, maka dimulailah fase pertama revolusi kebudayaan. Sebanyak 55 universitas dan lembaga pendidikan didera kerusuhan. Ribuan mahasiswa pro Mao menyerang dosen yang dicap revisionis dan kontra revolusi. Sebagai akibatnya kegiatan belajar mengajar di hampir seluruh penjuru negeri dihentikan.
Foto: picture-alliance/CPA Media
Teror Merah
Kelompok radikal pelajar dan mahasiswa berkumpul dan membentuk pasukan "Garda Merah." Mereka bertugas menghancurkan peninggalan masa lalu, seperti patung, tugu atau naskah kuno serta menyebarkan "teror merah" ke seluruh negeri. Gerilyawan Garda Merah berpatroli di jalan-jalan kota dan mengganti nama jalan sesukanya. Mereka juga menjarah rumah orang kaya dan bahkan gudang senjata milik tentara
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Cerai Berai
Hingga 1967 garda merah berhasil menjatuhkan pemerintahan regional di berbagai daerah. Loyalis Mao bahkan mendesak agar Garda Merah menggantikan Tentara Pembebasan Rakyat. Namun lambat laun kelompok paramiliter itu semakin sering terlibat keributan diantara faksi yang saling curiga.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk/UPI
Pendidikan Paksa
Pada Oktober 1967 Mao akhirnya memerintahkan mahasiswa untuk meletakkan senjata dan kembali ke kampus. Militer bahkan harus melucuti paksa sebagian mahasiswa yang enggan menuruti himbauan Mao. Karena banyak mahasiswa yang menolak kembali belajar, Mao memindahkan paksa 16.5 juta pelajar ke desa-desa "untuk belajar dari para petani."
Foto: Getty Images/AFP/J. Vincent
10 Tahun Penuh Bencana
Pemerintah di Beijing hingga kini memberangus semua upaya untuk membahas bagian kelam sejarah Cina tersebut. Tapi dalam sebuah surat pernyataan yang diterbitkan tahun 1981, Partai Komunis Cina menyebut revolusi kebudayaan sebagai "10 tahun penuh bencana." Ironisnya kini Cina menjadi model negara yang justru ingin diperangi Mao, modern dengan ekonomi kuat dan dikuasai kaum elit partai.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Mohr
9 foto1 | 9
Kritik terhadap Mao pernah berujung pada pemecatan terhadap seorang pembawa acara televisi Cina tahun lalu. Tapi memuji ideologinya juga berarti melecehkan wajah kapitalisme Cina yang dibawa Partai Komunis dalam beberapa dekade terakhir.
Sejumlah penduduk Cina masih memuja Mao bak Tuhan, kata Li Yaxing, professor Maoisme di Universitas Xiangtan, kampung halaman sang pemimpin besar. "Tidak seorangpun sempurna. Bahkan Revolusi Kebudayaan adalah kesalahan yang dia buat dalam mencari bentuk sosialisme dengan karakter Cina," ujarnya.
Buat Dikotter, hubungan petinggi Partai Komunis dengan Mao berada pada level personal. Buat mereka kekacauan pada era Mao juga tercatat dalam sejarah keluarga. "Kebanyakan pemimpin dan keluarga mereka terlibat menggulirkan Revolusi Kebudayaan, termasuk keluarga Xi Jinping," katanya.
"Semua petinggi partai berkepentingan bahwa sejarah tersebut tidak diutak-utik," imbuh Dikotter. "Semua berkepentingan bahwa potret Mao tetap terpampang di dinding."
Diktator Paling Brutal dalam Sejarah
Betapa ambisi kekuasaan bisa menyulap neraka di muka Bumi. Jika digabungkan, jumlah warga yang mati di tangan delapan pria ini bisa memusnahkan populasi sebuah negara kecil.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
1. Mao Zedong
Tangan Mao Zedong bersimbah darah rakyat Cina. Salah satu program politiknya, "Lompatan Jauh ke Depan" yang dilancarkannya tahun 1958 buat menyontek model ekonomi Uni Sovyet menewaskan hingga 45 juta orang. Seakan tidak kapok, hampir sepuluh tahun kemudian ia mendeklarasikan Revolusi Kebudayaan buat memberangus budaya borjuis. Hasilnya sekitar 30 juta orang meninggal dunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo
2. Adolf Hitler
Tidak terhitung kejahatan yang dilakukan Adolf Hitler. Penguasa NAZI Jerman ini tidak cuma memerintahkan pembantaian 11 juta orang, 6 juta di antaranya kaum Yahudi, ia juga menyeret dunia ke dalam perang yang merenggut hingga 70 juta korban jiwa. Ironisnya setelah takluk, Hitler bunuh diri karena takut ditangkap pasukan Uni Sovyet.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
3. Josef Stalin
Bahkan oleh Vladimir Lenin, salah seorang pendiri Uni Sovyet, Josef Stalin dicap sering berperilaku "kasar." Pria yang kemudian memimpin Sovyet melawan NAZI di Perang Dunia II itu terkenal kejam terhadap musuh politiknya. Tercatat hingga 20 juta orang mati di kamp konsentrasi alias Gulag selama 31 tahun kekuasaan Stalin.
Foto: picture-alliance/akg-images
4. Pol Pot
Pemimpin gerakan Khmer Merah ini cuma butuh waktu empat tahun untuk melumat satu juta nyawa penduduk Kamboja. Korban sebagian besar meninggal karena bencana kelaparan, siksaan di penjara, kamp kerja paksa atau pembunuhan. Setelah dilengserkan dari jabatan perdana menteri oleh Vietnam, Pol Pot melancarkan perang gerilaya dari hutan Kamboja hingga kematiannya tahun 1998.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
5. Saddam Hussein
Kebencian diktatur Irak Saddam Hussein terhadap etnis Kurdi nyaris tak mengenal batas. Selama kekuasaannya sejak tahun 1979 hingga 2003, tercatat hingga 300.000 warga Kurdi meregang nyawa di tangan pengikutnya. Secara keseluruhan Saddam bertanggungjawab atas kematian hampir satu juta penduduk Irak. Ia dihukum gantung tahun 2006 setelah digulingkankan Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa
6. Idi Amin
Selama tujuh tahun kekuasaannya, presiden ketiga Uganda ini membunuh lebih dari 250.000 penduduk lewat penyiksaan, asasinasi dan pembersihan etnis. Tidak heran jika ia kemudian mendapat julukan "jagal Uganda." Setelah lengser, Amin melarikan diri ke Arab Saudi. Hingga kematiannya, Idi Amin selama bertahun tahun tinggal di kamar terbaik di sebuah hotel mewah di Jeddah
Foto: Getty Images
7. Mengistu Haile Mariam
Setelah menjatuhkan kerajaan Ethiopia bersama Partai Komunis, Mengistu Haile Mariam, melancarkan kampanye berdarah bernama "teror merah" terhadap musuh politiknya. Selama dua tahun antara 1977 dan 1978, ia membunuh hampir setengah juta penduduk. Mengistu lalu dihukum mati tahun 2006 oleh pemerintah Ethiopia dengan dakwaan melakukan Genosida. Ia kabur ke jiran Zimbabwe untuk meminta perlindungan.
Foto: picture alliance/dpa
8. Kim Jong Il
Cuma Kim Jong Il yang tahu bagaimana cara membunuh jutaan orang dan tetap dipuja bak dewa. Lantaran militerisasi ekonomi dan korupsi yang merajalela, hingga 2,5 juta penduduk Korea Utara mati akibat kemiskinan dan bencana kelaparan di pertengahan dekade 1990an. Di tangan sang pemimpin besar, satu generasi Korea Utara mengalami gangguan pertumbuhan lantaran malnutrisi.