Menurut sebuah lagu anak-anak, cita-cita orang Indonesia konon ada tiga. Jadi pilot. Jadi insinyur. Kalau tidak, jadi dokter. Bagaimana jika jadi tentara? Simak opini Geger Riyanto.
Iklan
Kenyataannya? Saya sering menjumpai orang Indonesia merepotkan diri mengenakan celana loreng-loreng dan sepatu bot, sepatutnya seorang tentara, namun tidak pernah menjumpai orang-orang mengenakan topi pilot. Saya lebih banyak menemukan orang-orang yang berusaha sekeras-kerasnya memasukkan anaknya ke akademi militer ketimbang ke sekolah teknik. Dan jauh-jauh hari sebelum ormas-ormas memilih jubah dan peci sebagai"seragam kerjanya,”mereka mengenakan seragam yang gamblang kesamaannya dengan seragam tentara.
Hal-hal di atas, saya yakin, bukan pemandangan yang aneh. Suka ataupun tidak, harus diakui, tentara merupakan profesi yang diidamkan oleh banyak orang. Dan pengalaman paling berkesan saya mendapati obsesi meluap-luap orang untuk profesi ini saya peroleh di Desa Parigi, Seram Utara. Di desa tersebut, profesi yang paling menghasilkan adalah nelayan tuna. Pada musim tangkap, seorang nelayan bisa membawa pulang tangkapan sekurangnya senilai sejuta sehari. Tentara yang berperan sebagai Bintara Bina Desa di Parigi bahkan acap iri dengan nelayan karena gajinya tidak seberapa dibandingkan dengan pendapatan mereka.
Namun, ketika saya berusaha mengetahui para nelayan mempergunakan uang hasil tangkapan mereka untuk apa, seorang nelayan menjawab, untuk memasukkan anaknya kelak di sekolah militer atau polisi. Sepengetahuannya, untuk menyekolahkan anaknya menjadi tentara atau polisi, ia akan membutuhkan sangat banyak uang. Untuk itu, ia pun menabung dari jauh-jauh hari—bahkan ketika anaknya baru masuk ke jenjang SMP.
Obsesi kolektif ini, saya kira, bukannya tanpa alasan. Tentara merupakan satu dari sedikit profesi di Indonesia yang memberikan jaminan penghidupan jangka panjang. Lebih dari penangkap tuna? Tentu. Anda tak dapat memastikan apakah tahun-tahun mendatang tuna masih akan berduyun-duyun melintasi laut terdekat. Tapi sepuluh tahun lagi, negara, yang membutuhkan perlindungan Anda seandainya Anda menjadi tentara, dipastikan akan tetap ada. Dua abad silam, tentara (KNIL) sudah ada. Gaji bulanannya setara buruh pabrik setahun. Siapa yang dapat menjamin profesi ini tidak akan ada dalam dua abad ke depan?
Namun, daya pikat yang juga mesti kita akui adalah tentara tercitra dekat dengan kuasa, otoritas, keunggulan. Ia berada di atas segalanya—termasuk hukum dan keruwetan birokrasi. Ia adalah hukum itu sendiri. Ia dapat mengangkangi keruwetan-keruwetan birokrasi bila diinginkan. Di level nasional, kalau kita ingat baik-baik, keunggulan ini pernah dipampangkan dengan telanjang bulat setiap saat. Sudomo, mantan Pangkopkamtib, pada satu waktu mengeluarkan larangan mobil pribadi untuk menggunakan kaca gelap dan mewajibkan penumpangnya berjumlah lebih dari empat orang. Beberapa saat kemudian, ia dipergoki membawa mobil mewah dengan kaca gelap.
Apa kata Sudomo, yang waktu itu menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, ketika wartawan menanyainya?
"Ya, begitulah.”
Dan tidak ada yang bisa mengatakan apa pun kepada Sudomo, tentu saja.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Menjabat dimana-mana
Dan pada kurun yang sama juga, publik dijejalkan dengan fakta, mereka tak mungkin menjabat tinggi-tinggi bila tak berlatar belakang militer. Pemimpin daerah hampir bisa dipastikan adalah mantan orang militer. Faktanya, menurut data yang dihimpun John A. MacDougall dalam "Indonesia Reports,” Maret 1986, pada kurun tersebut perwira militer angkatan 45 hingga awal generasi 66 menguasai berbagai jabatan publik. Mereka mengisi 64 persen dari jabatan pembantu dekat presiden, 38 persen jabatan menteri, 67 persen sekretaris jenderal, 67 persen inspektur jenderal, 20 persen direktur jenderal. Tak lupa, mereka juga menjabat manajer BUMN serta direktur perusahaan swasta.
Agar menerima ketimpangan yang tersodor gamblang ini, khalayak pun diperalat dengan pemahaman kepemimpinan militer lebih baik dibandingkan dengan kepemimpinan sipil. Ketika sipil memegang tampuk kekuasaan pada dasawarsa 1950-an, buku-buku sejarah menulis, keputusan politik yang bijak tak pernah bisa diambil. Proses pemerintahan direcoki oleh banyak perseteruan tak perlu serta kepentingan kelompok. Ketika sipil diberi kesempatan memilih partai pada 1971 dan 1977, kerusuhan pecah di mana-mana, kendati yang memprovokasi disinyalir adalah preman-preman binaan Ali Moertopo, sang arsitek Orde Baru. Dengan demikian, kepemimpinan sipil terkesan inkompeten dan mandul. Kepemimpinan militer mutlak dibutuhkan agar negara berjalan secara efisien, bersih, memihak ke rakyat banyak.
Dan saya cukup yakin, kerja-kerja indoktrinasi ini berhasil melanggengkan citra unggul tentara. Figur-figur publik seperti Ahmad Dhani, Piyu, yang terdidik dan seharusnya dapat mengetahui korupnya instansi pemerintahan yang dibangun dengan tradisi militer, tetap percaya, kepemimpinan militeristis merupakan satu-satunya solusi persoalan bangsa. Bukan tanpa alasan, toh, Prabowo, yang tak mempunyai rekam jejak di pemerintahan, dipercaya dapat mengatasi perkara-perkara kenegaraan hingga popularitasnya nyaris menyalip Jokowi di Pilpres 2014.
Dan eksposisi-eksposisi kekuasaan vulgar, yang membangun citra unggul militer, bukan sekadar bagian dari masa silam kita. Anda selalu bisa melongok ke sudut Indonesia yang lebih tersempil. Di desa-desa di Pulau Seram, para Bintara Bina Desa memiliki reputasi yang kurang menyenangkan. Mereka menegakkan hukum dengan tindakan yang sukar dibedakan dengan pertunjukan otoritas absolut. Bagaimana Babinsa menghukum para pencuri cengkeh di satu desa? Dengan memaksa para pencuri melompat dari pohon cengkeh. Dan pada kesempatan lain, seorang anak muda yang didapati membawa motor ugal-ugalan dibawa ke rumah Babinsa untuk dihukum. Di sana, sang anak muda dipukul oleh sang Babinsa sampai darah mengalir keluar dari telinganya.
Kita bahkan belum menyinggung peristiwa di sudut yang lebih remang (diremang-remangkan, tepatnya) seperti Papua. Pada kurun 2009-2011, penyelidikan Budi Hernawan menemukan, terjadi 431 kasus penyiksaan aparat. Yang lebih menakjubkan, 82 persen dari antaranya dilakukan di ruang publik. Lantas, dari 431 kasus, hanya dua korban yang benar-benar merupakan anggota OPM.
Ramainya Peringatan HUT Ke-72 TNI
Hampir 6.000 serdadu ikut meramaikan upacara peringatan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia. Meski dibubuhi kegaduhan seputar ambisi politik panglima, perayaan tersebut tetap berlangsung meriah.
Foto: Reuters/Beawiharta
Bersolek Jelang Pawai
Sedikitnya 5.932 tentara ikut meramaikan parade prajurit dalam upacara peringatan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Banten. Beberapa diantaranya bersolek memakai "riasan perang" untuk gelar atraksi kanuragan dan kelihaian bela diri militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Tertahan dan Terlambat
Meski sempat tertahan kemacetan lalu lintas dan harus berjalan kaki sejauh 3 km, Presiden Joko Widodo akhirnya memimpin inspeksi pasukan sebelum berpidato mengenai kesetiaan dan profesionalisme tentara. Jokowi juga mengutup ujaran Jenderal Sudirman mengenai kesetiaan tentara pada negara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Hantu Dwifungsi
Perayaan HUT TNI tahun ini dibumbui oleh polemik seputar hak berpolitik tentara yang dicetuskan Panglima Gatot Nurmantyo. Menurutnya tentara suatu saat bisa kembali berpolitik, "jika masyarakat sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Bugar dan Disiplin
Selain mendemonstrasikan disiplin dan kebugaran tubuh, sebanyak 1.800 prajurit juga menunjukkan kepiawaian mereka dalam olahraga bela diri, pencak silat serta olah kanuragan Debus.
Foto: Reuters/Beawiharta
Rakyat Terlibat
Mengusung tema "Bersama Rakyat TNI Kuat," TNI mengajak murid sekolah untuk menaiki lusinan kendaraan lapis baja dalam parade di hadapan rombongan Istana Negara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Demonstrasi Alutsista
Namun yang paling ditunggu-tunggu adalah demonstrasi berbagai sistem persenjataan yang saat ini dimiliki TNI. Terutama aksi gabungan tiga matra TNI yang digelar untuk menunjukkan kesiapan TNI menghadapi serangan asing menjadi tontonan paling seru selama peringatan HUT ke 72 tahun ini. (rzn/as - rtr,ap)
Foto: Reuters/Beawiharta
6 foto1 | 6
Apa yang terjadi? Semua pihak diminta untuk insaf, aparat negara bisa melakukan apa pun terhadap mereka? Bahwa, dengan demikian, mereka tak punya pilihan selain taat secara buta kepada aparat? Mungkin. Namun, dengan fakta pertunjukan kekuasaan ini diulang dan terus diulang, tak heran beberapa pihak yang mimpi basahnya adalah kekuatan memperoleh kepuasan dengan berlagak menjadi tentara. Ormas-ormas mencomot simbol-simbol ketentaraan sebanyak mungkin untuk diterapkan ke penampilan mereka. Para selebritas mengoleksi baju-baju militer dan mengidamkan figur seperti Hitler, Soeharto untuk memimpin negeri ini.
Dan jangan lupa, betapapun kita sebagai masyarakat mudah melupakan peristiwa-peristiwa masa silam, kita mudah mengingat perang dan para pejuang yang mengangkat senjata di dalamnya. Adakah orang-orang mengingat kesadaran untuk merdeka di Indonesia dibangun oleh para jurnalis, pendidik, ilmuwan, organisator? Belum tentu. Tetapi, mereka dipastikan ingat siapa protagonis utama perang kemerdekaan di Indonesia. Tentara, tentu saja.
Dengan demikian, barangkali kita perlu lebih jujur ketika menggubah lagu-lagu kanak-kanak di masa depan kelak. "Cita-citaku... ingin jadi tentara.”
Penulis:
Geger Riyanto (ap/vlz)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Rahasia Amerika Terkait Pembantaian 1965
Dokumen rahasia AS mengungkap dosa kolektif Indonesia dalam pembantaian 1965. Selain ABRI, organisasi keagamaan dan warga sipil juga ikut terlibat membunuh simpatisan PKI yang tidak berurusan dengan Gerakan 30 September.
Foto: Getty Images/Keystone
08 Juni 1965
Pejabat konsulat AS di Medan, Robert Blackburn, melaporkan perwira militer membubarkan pemerintahan sipil lokal di bawah komando Dwikora yang dikeluarkan Presiden Sukarno untuk memperkuat ABRI dalam kampanye ganyang Malaysia. Pada 1 Oktober, perwira ABRI menggunakan kewenangan tersebut untuk mendeklarasikan darurat militer dan melancarkan gelombang pembantaian pertama terhadap simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
05 Agustus 1965
Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Partai Masyumi, menyurati direktur dana bantuan AS, USAID, Edwin L. Fox, untuk menyampaikan "dukungan antusias" atas perang Vietnam. Menurutnya Washington "mengikuti satu-satunya jalan yang benar untuk menghadang agresi Komunisme." Kemenlu AS menulis surat Sjafruddin "luar biasa" mengingat sikap oposisi kelompok anti-PKI terhadap kebijakan luar negeri AS saat itu.
Foto: Getty Images/P. Christain
12 Oktober 1965
Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, mengutip duta besar Jerman di Indonesia yang mengklaim "tentara mempertimbangkan kemungkinan mengkudeta Sukarno dan mendekati sejumlah kedutaan negara barat untuk mengabarkan kemungkinan itu." Isu tersebut dibocorkan oleh Mabes ABRI setelah Sukarno menolak permintaan militer yang ingin menunjukkan bukti-bukti "pengkhianatan Gerakan 30 September."
Foto: Imago/Xinhua
23 Oktober 1965
Adnan Buyung Nasution yang ketika itu menjabat sebagai jaksa di usia 31 tahun mengatakan kepada Sekretaris Kedutaan Besar AS Robert Rich bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis. Tapi fakta itu harus disembunyikan." Dalam percakapan yang dilaporkan melalui telegram kepada Kemenlu AS itu Buyung juga mengklaim "represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno."
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
30 November 1965
Kedutaan AS melaporkan "dalam sejumlah pertemuan dengan tokoh pemuda, Jendral Nasution mengungkapkan tekadnya melanjutkan kampanye represif terhadapn PKI" yang diduga dilakukan atas perintah Suharto. Organisasi pemuda muslim di banyak kota ikut dilibatkan dalam gelombang pembunuhan lanjutan yang diprakarsai oleh ABRI.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
28 Desember 1965
Kawat diplomatik mengungkap pembantaian berlanjut di Jawa Timur, "tapi dalam skala yang lebih kecil dan dirahasiakan." Korban dibawa keluar dari kota untuk dibantai. Kepada Washington, kedubes AS mengabarkan Nahdlatul Ulama ikut membantu "kampanye melenyapkan PKI." Bahkan Kapolda Jawa Timur Sumarsono mengatakan pihaknya "sulit menghentikan gelombang pembunuhan."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
20 Juni 1967
Sebuah telegram dari kedutaan besar AS di Jakarta kepada Menlu Dean Rusk di Washington merekam sikap kritis Menlu Indonesia terhadap Suharto lantaran menggandeng Partai Nasional Indonesia. Adam Malik meyakini Suharto ingin menggunakan PNI sebagai "kekuatan tandingan" terhadap "organisasi Islam" yang kian berpengaruh dan dianggap mulai mengancam kekuasaan ABRI.