1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Cita-citaku... Ingin jadi Tentara

15 Desember 2017

Menurut sebuah lagu anak-anak, cita-cita orang Indonesia konon ada tiga. Jadi pilot. Jadi insinyur. Kalau tidak, jadi dokter. Bagaimana jika jadi tentara? Simak opini Geger Riyanto.

Indonesien Cilegon 72. Jahrestag des Militärs
Foto: Reuters/Beawiharta

Kenyataannya? Saya sering menjumpai orang Indonesia merepotkan diri mengenakan celana loreng-loreng dan sepatu bot, sepatutnya seorang tentara, namun tidak pernah menjumpai orang-orang mengenakan topi pilot. Saya lebih banyak menemukan orang-orang yang berusaha sekeras-kerasnya memasukkan anaknya ke akademi militer ketimbang ke sekolah teknik. Dan jauh-jauh hari sebelum ormas-ormas memilih jubah dan peci sebagai"seragam kerjanya,”mereka mengenakan seragam yang gamblang kesamaannya dengan seragam tentara.

Hal-hal di atas, saya yakin, bukan pemandangan yang aneh. Suka ataupun tidak, harus diakui, tentara merupakan profesi yang diidamkan oleh banyak orang. Dan pengalaman paling berkesan saya mendapati obsesi meluap-luap orang untuk profesi ini saya peroleh di Desa Parigi, Seram Utara. Di desa tersebut, profesi yang paling menghasilkan adalah nelayan tuna. Pada musim tangkap, seorang nelayan bisa membawa pulang tangkapan sekurangnya senilai sejuta sehari. Tentara yang berperan sebagai Bintara Bina Desa di Parigi bahkan acap iri dengan nelayan karena gajinya tidak seberapa dibandingkan dengan pendapatan mereka.

Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Baca juga:

Lahirnya Santoso-santoso Baru

Butuh banyak uang untuk sekolah militer?

Namun, ketika saya berusaha mengetahui para nelayan mempergunakan uang hasil tangkapan mereka untuk apa, seorang nelayan menjawab, untuk memasukkan anaknya kelak di sekolah militer atau polisi. Sepengetahuannya, untuk menyekolahkan anaknya menjadi tentara atau polisi, ia akan membutuhkan sangat banyak uang. Untuk itu, ia pun menabung dari jauh-jauh hari—bahkan ketika anaknya baru masuk ke jenjang SMP.

Obsesi kolektif ini, saya kira, bukannya tanpa alasan. Tentara merupakan satu dari sedikit profesi di Indonesia yang memberikan jaminan penghidupan jangka panjang. Lebih dari penangkap tuna? Tentu. Anda tak dapat memastikan apakah tahun-tahun mendatang tuna masih akan berduyun-duyun melintasi laut terdekat. Tapi sepuluh tahun lagi, negara, yang membutuhkan perlindungan Anda seandainya Anda menjadi tentara, dipastikan akan tetap ada. Dua abad silam, tentara (KNIL) sudah ada. Gaji bulanannya setara buruh pabrik setahun. Siapa yang dapat menjamin profesi ini tidak akan ada dalam dua abad ke depan?

Namun, daya pikat yang juga mesti kita akui adalah tentara tercitra dekat dengan kuasa, otoritas, keunggulan. Ia berada di atas segalanya—termasuk hukum dan keruwetan birokrasi. Ia adalah hukum itu sendiri. Ia dapat mengangkangi keruwetan-keruwetan birokrasi bila diinginkan. Di level nasional, kalau kita ingat baik-baik, keunggulan ini pernah dipampangkan dengan telanjang bulat setiap saat. Sudomo, mantan Pangkopkamtib, pada satu waktu mengeluarkan larangan mobil pribadi untuk menggunakan kaca gelap dan mewajibkan penumpangnya berjumlah lebih dari empat orang. Beberapa saat kemudian, ia dipergoki membawa mobil mewah dengan kaca gelap.

Apa kata Sudomo, yang waktu itu menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, ketika wartawan menanyainya?

"Ya, begitulah.”

Dan tidak ada yang bisa mengatakan apa pun kepada Sudomo, tentu saja.

Menjabat dimana-mana

Dan pada kurun yang sama juga, publik dijejalkan dengan fakta, mereka tak mungkin menjabat tinggi-tinggi bila tak berlatar belakang militer. Pemimpin daerah hampir bisa dipastikan adalah mantan orang militer. Faktanya, menurut data yang dihimpun John A. MacDougall dalam "Indonesia Reports,” Maret 1986, pada kurun tersebut perwira militer angkatan 45 hingga awal generasi 66 menguasai berbagai jabatan publik. Mereka mengisi 64 persen dari jabatan pembantu dekat presiden, 38 persen jabatan menteri, 67 persen sekretaris jenderal, 67 persen inspektur jenderal, 20 persen direktur jenderal. Tak lupa, mereka juga menjabat manajer BUMN serta direktur perusahaan swasta.

Agar menerima ketimpangan yang tersodor gamblang ini, khalayak pun diperalat dengan pemahaman kepemimpinan militer lebih baik dibandingkan dengan kepemimpinan sipil. Ketika sipil memegang tampuk kekuasaan pada dasawarsa 1950-an, buku-buku sejarah menulis, keputusan politik yang bijak tak pernah bisa diambil. Proses pemerintahan direcoki oleh banyak perseteruan tak perlu serta kepentingan kelompok. Ketika sipil diberi kesempatan memilih partai pada 1971 dan 1977, kerusuhan pecah di mana-mana, kendati yang memprovokasi disinyalir adalah preman-preman binaan Ali Moertopo, sang arsitek Orde Baru. Dengan demikian, kepemimpinan sipil terkesan inkompeten dan mandul. Kepemimpinan militer mutlak dibutuhkan agar negara berjalan secara efisien, bersih, memihak ke rakyat banyak.

Dan saya cukup yakin, kerja-kerja indoktrinasi ini berhasil melanggengkan citra unggul tentara. Figur-figur publik seperti Ahmad Dhani, Piyu, yang terdidik dan seharusnya dapat mengetahui korupnya instansi pemerintahan  yang dibangun dengan tradisi militer, tetap percaya, kepemimpinan militeristis merupakan satu-satunya solusi persoalan bangsa. Bukan tanpa alasan, toh, Prabowo, yang tak mempunyai rekam jejak di pemerintahan, dipercaya dapat mengatasi perkara-perkara kenegaraan hingga popularitasnya nyaris menyalip Jokowi di Pilpres 2014.

Baca juga:

Antara Pasukan Elite dan Pasukan Khusus

Kenapa Panglima TNI Dilarang Masuk AS?

Dan eksposisi-eksposisi kekuasaan vulgar, yang membangun citra unggul militer, bukan sekadar bagian dari masa silam kita. Anda selalu bisa melongok ke sudut Indonesia yang lebih tersempil. Di desa-desa di Pulau Seram, para Bintara Bina Desa memiliki reputasi yang kurang menyenangkan. Mereka menegakkan hukum dengan tindakan yang sukar dibedakan dengan pertunjukan otoritas absolut. Bagaimana Babinsa menghukum para pencuri cengkeh di satu desa? Dengan memaksa para pencuri melompat dari pohon cengkeh. Dan pada kesempatan lain, seorang anak muda yang didapati membawa motor ugal-ugalan dibawa ke rumah Babinsa untuk dihukum. Di sana, sang anak muda dipukul oleh sang Babinsa sampai darah mengalir keluar dari telinganya.

Kita bahkan belum menyinggung peristiwa di sudut yang lebih remang (diremang-remangkan, tepatnya) seperti Papua. Pada kurun 2009-2011, penyelidikan Budi Hernawan menemukan, terjadi 431 kasus penyiksaan aparat. Yang lebih menakjubkan, 82 persen dari antaranya dilakukan di ruang publik. Lantas, dari 431 kasus, hanya dua korban yang benar-benar merupakan anggota OPM.

Apa yang terjadi? Semua pihak diminta untuk insaf, aparat negara bisa melakukan apa pun terhadap mereka? Bahwa, dengan demikian, mereka tak punya pilihan selain taat secara buta kepada aparat? Mungkin. Namun, dengan fakta pertunjukan kekuasaan ini diulang dan terus diulang, tak heran beberapa pihak yang mimpi basahnya adalah kekuatan memperoleh kepuasan dengan berlagak menjadi tentara. Ormas-ormas mencomot simbol-simbol ketentaraan sebanyak mungkin untuk diterapkan ke penampilan mereka. Para selebritas mengoleksi baju-baju militer dan mengidamkan figur seperti Hitler, Soeharto untuk memimpin negeri ini.

Dan jangan lupa, betapapun kita sebagai masyarakat mudah melupakan peristiwa-peristiwa masa silam, kita mudah mengingat perang dan para pejuang yang mengangkat senjata di dalamnya. Adakah orang-orang mengingat kesadaran untuk merdeka di Indonesia dibangun oleh para jurnalis, pendidik, ilmuwan, organisator? Belum tentu. Tetapi, mereka dipastikan ingat siapa protagonis utama perang kemerdekaan di Indonesia. Tentara, tentu saja.

Dengan demikian, barangkali kita perlu lebih jujur ketika menggubah lagu-lagu kanak-kanak di masa depan kelak. "Cita-citaku... ingin jadi tentara.”

Penulis:

Geger Riyanto (ap/vlz)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.