1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Citayam Fashion Week, Kurangnya Ruang Publik yang Inklusif

Rahka Susanto
15 Juli 2022

Jabodetabek punya masalah serius terkait ruang publik yang inklusif. Pusat perbelanjaan masih menjadi primadona warga megapolitan sebagai ruang publik meski bersifat komersil.

Citayam Fashion Week
Gaya busana remaja di kawasan Dukuh Atas yang mencuri perhatian dan kerap dijuluki Citayam Fashion Week.Foto: Rahka Susanto/DW

Ramai berbondong-bondong nongkrong di pusat kota Jakarta, belakangan hal ini menjadi tren remaja yang kerap dijuluki Citayam Fashion Week. Bubuhan nama ‘Citayam' merujuk pada asal para remaja yang umumnya dari Kawasan di pinggiran Ibu kota seperti Depok, Bojong, Citayam, hingga Bekasi.

Kawasan Dukuh Atas yang berada di dekat jantung Jakarta menjadi spot yang dipilih anak-anak remaja ini sebagai ruang untuk bercengkrama, berkenalan, hingga menunjukan eksistensi diri mereka. Jarak yang jauh bukan menjadi kendala bagi mereka untuk memutuskan nongkrong di kawasan Dukuh Atas.

"Di sini itu nyaman banget, nyaman banget deh pokoknya, pemandangannya bagus, spot-spotnya juga bagus,” ungkap Panjul, remaja berusia 16 tahun asal Bekasi, Jawa Barat.

Akses mudah dan pesona ruang publik urban

Dalam satu minggu biasanya Panjul dan kawan-kawannya menghabiskan 2 hingga 3 kali untuk nongkrong di Dukuh Atas. Kawasan Dukuh Atas digadang-gadang menjadi area yang aman dan nyaman bagi mobilitas masyarakat. Daerah ini juga menjadi Kawasan Berorientasi Transit pertama yang menghubungkan sejumlah moda transportasi di Jakarta mulai dariMRT, KRL, hingga bus TransJakarta.

Hal itu juga yang menjadi alasan Panjul memilih nongkrong di kawasan Dukuh Atas. "Kalo di sini cuma abisin uang ceban (Rp.10.000) buat minum sama nongkrong. Pulang-pergi naik kereta jadi habisnya paling Cuma 20 ribu aja, terjangkau kita mah,” Ungkap Panjul.

Tidak perlu merogoh kocek terlalu mahal dan transportasi yang sulit, para remaja dari pinggiran Jakarta dapat menikmati lanskap perkotaan yang semakin menjadi tren.Foto: Rahka Susanto/DW

Di sisi lain, penataan kawasan Dukuh Atas juga mengedepankan akses trotoar baru, koneksi jembatan layang antarmoda, hingga taman dan ruang terbuka publik untuk aktivitas luar ruang masyarakat. "Di sini seru aja, banyak pilihannya. Bisa main skateboard, bersepeda, atau sepatu roda. Bisa kenal teman-teman baru juga di sini,” ungkap Nisa, remaja berusia 15 tahun, asal Bekasi.

Nisa menyebutkan ruang publik serupa juga ada di sekitar Bekasi, namun ia menjelaskan "kalo di Bekasi jarang ada yang mau nongkrong di sana, ga ada siapa-siapa di sana, semua pada nongkrongnya di sini.”

Pesona Dukuh Atas sebagai ruang publik dengan latar perkotaan memiliki magnet tersendiri bagi para remaja. Hal ini tidak lepas dari sajian konten-konten yang mereka konsumsi di internet, dan mayoritas menyajikan latar perkotaan.

"Mereka adalah individu-individu yang sedang mencari identitas, pertanyaannya ke mana dan di mana mereka mencari referensi, nah sekarang kan sederhana, semua didapatkan dari media sosial,” papar Devie Rachmawati, Pengamat Sosial kepada DW Indonesia. Ia juga menyebut "Bayang kan anak-anak remaja yang setiap hari mengonsumsi hal tersebut, akan berpikir kalo Anda mau keren, kalo Anda mau kece, Anda harus jadi masyarakat kota.”

Fesyen sebagai ruang eksistensi

Satu yang menarik perhatian adalah gaya berbusana yang dikenakan para remaja. Dengan balutan fesyen yang nyentrik, para remaja ini mengisi sudut-sudut ruang publik Jakarta dengan nuansa berbeda.

Aldo, pengunjung kawasan Dukuh Atas asal Kalideres, yang mengaku kerap bermain skateboard di kawasan ini.Foto: Rahka Susanto/DW

Salah satunya Aldo, remaja berusia 16 tahun yang kerap bermain skateboard di kawasan Dukuh Atas. Saat ditemui DW Indonesia, remaja yang tidak lagi besekolah ini tampil trendi dengan jaket bermotif bendera dari berbagai negara dan papan skateboardnya. "Gaya pakaian saya sederhana aja sih, yang penting percaya diri aja,” ungkap Aldo.

Fenomena gaya berbusana para remaja yang mendadak viral ini tidak lepas dari pengaruh internet. Devie Rachmawati menilai media sosial telah memberikan ruang bagi ‘subkultur' dari remaja-remaja asal pinggiran Jakarta untuk dapat menunjukan eksistensi diri. Istilah subkultur merujuk pada pandangan ilmu sosiologi tentang sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka.

"Di masa lalu, subkultur ini tidak mendapat ruang untuk menjadi kiblat. Menariknya dari temuan kami di lapangan, banyak juga remaja-remaja yang datang ke sana setelah Citayam ini kemudian hits. Artinya apa, subklutur ini punya peluang untuk masuk ke panggung yang lebih tinggi lewat digital,” papar Devie Rachamawati.

Gaya-gaya para remaja ini bahkan belakangan menjadi sorotan dari media fesyen di Jepang yang ikut berkomentar mengenai fenomena ini.

Jabodetabek: pusat perbelanjaan sebagai ruang publik.

Latar Dukuh Atas sebagai ruang untuk para remaja ini berkumpul merefleksikan permasalahan utama Jabodetabek bagi warganya. Pengamat Tata Kota, Nirwono Yoga menilai: "Sejauh ini mindset  masyarakat Jabodetabek tentang ruang publik masih berkutat pada mall atau pusat perbelanjaan.”

Saat ini Jabodetabek masih menghadapi masalah terkait tersedianya ruang publik yang lebih inklusif bagi semua warga. Pusat-pusat perbelanjaan yang notabenenya menjadi pusat niaga, perlahan bergeser menjadi ruang publik yang komersil.

Munculnya fenomena Citayam Fashion Week juga menjadi gambaran dari kurang tersedianya ruang publik yang inklusif bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. "Kalau kita lihat secara umum dari tata kota kita, keberadaan ruang publik yang berkualitas, yang tertata dengan rapih, dan dapat diakses dengan mudah tentu masih berada di Jakarta, lebih khusus lagi ada di pusat kota,” papar Nirwono Yoga kepada DW Indonesia.

Nirwono juga menyoroti terbatasnya ruang publik di kawasan ‘luar pusat kota' Jakarta dan daerah penyangga yang mampu memberikan ruang bagi remaja sehingga tidak harus terpaku di satu titik seperti Dukuh Atas.

Ketersediaan ruang publik yang inklusif di Jabodetabek tidak lepas dari ketersediaan ruang terbuka hijau. Dari target 30 persen ruang terbuka hijau di setiap kota, Jakarta hanya memiliki sekitar 9 persen dari luas wilayah. Sementara secara umum, daerah penyangga Ibu kota hanya memiliki ruang terbuka hijau di kisaran 6 hingga 7 persen dari total luas wilayah. Hal ini berbeda dengan kondisi sejumlah kota besar di dunia yang memiliki ruang terbuka hijau yang luas. Seperti Wina di Austria yang memiliki 45,5 persen, atau Sydney, Australia yang memiliki 46 persen ruang terbuka hijau.