Pandemi Corona Tingkatkan Ancaman terhadap Kebebasan Pers
22 April 2020
Pandemi virus corona memperburuk kondisi kebebasan pers di seluruh dunia. Terutama negara-negara otoriter menekan pemberitaan tentang Covid-19, kata RSF dalam laporan tahunannya.
Foto simbol sensor mediaFoto: Reporter ohne Grenzen
Iklan
Organisasi hak asasi dan kebebasan pers Reporters Sans Frontieres (RSF) yang bermarkas di Paris, Prancis, mengatakan,pandemi virus corona makin memperburuk situasi kebebasan pers, terutama di negara yang kondisinya memang sudah buruk. Hal itu disampaikan RSF hari Selasa (21/04) ketika merilis laporan tahunan indeks kebebasan pers “2020 World Press Freedom Index”.
Wabah corona mendorong beberapa rezim untuk memanfaatkan situasi di mana orang-orang sedang menderita dan mobilisasi sedang melemah “untuk memaksakan langkah-langkah yang tidak mungkin diadopsi pada waktu normal," kata Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire kepada kantor berita Prancis, AFP.
Di peringkat kebebasan pers 2020, negara-negara Skandinavia tetap menduduki peringkat teratas, dengan Norwegia di peringkat pertama, Finlandia di peringkat dua, diikuti oleh Denmark dan Swedia. Empat peringkat terbawah dari 180 negara ditempati oleh Cina, Eritrea, Turkmenistan dan Korea Utara.
RSF menuduh Cina dan Iran - masing-masing di posisi 177 dan 173 – telah melakukan sensor pemberitaan dan data-data wabah corona. Cina telah "mempertahankan sistem kendali informasi, yang dampak negatifnya bagi seluruh dunia telah terlihat selama krisis virus corona,” kata RSF.
Pandemi corona tingkatkan tekanan terhadap pers
RSF mengatakan ada "korelasi yang jelas" antara penindasan kebebasan media dalam menanggapi pandemi corona dan peringkat suatu negara dalam indeks kebebasan pers.Turki, di mana Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah berulang kali dikritik karena menindas kebebasan pers, naik tiga posisi ke peringkat 154. Namun RSF mengatakan bahwa kenaikan ini terjadi bukan karena kondisinya membaik, melainkan karena "negara lain jatuh" ke situasi yang jauh lebih buruk.
Rusia, yang menempati peringkat 149, disebut sangat tekun dalam "upaya untuk mengendalikan Internet.” RSF merujuk pada undang-undang yang akan memungkinkan negara untuk memutuskan hubungan internet Rusia dari jaringan internasional.
Foto-Foto Pemenang World Press Photo Award 2020
Foto-foto pemenang World Press Photo Award. Kompetisi yang digelar setiap tahun ini menceritakan situasi kontemporer di dunia sekaligus kritik sosial terhadap kondisi global.
Foto: National Geographic/A. Schroeder
Duka Terdalam
Pemenang cerita foto dalam kategori "Spot News" adalah seri dari "Situs Kecelakaan Penerbangan Ethiopian Airlines 302" karya Mulugeta Ayene dari Ethiopia. Dalam keputusasaan, seorang kerabat yang berduka dari salah satu korban kecelakaan pesawat itu menghancurkan sekepal tanah pada wajahnya di lokasi kecelakaan.
Foto: Associated Press/M. Ayene
Bunyi Bel Terakhir
Seperti sebuah lukisan: Foto pemenang dalam kategori "Sport, Single Picture" dijepret oleh Mark Blinch dari Kanada. Kawhi Leonard dari Toronto Raptors (berjongkok, di tengah) menyaksikan bola basket masuk ke keranjang. Timnya menang pada detik-detik terakhir setelah bel berbunyi di akhir pertandingan. Raptors menjadi tim non-AS pertama yang memenangkan kejuaraan NBA.
Foto: Getty Images/NBAE/M. Blinch
Kembali Hidup
Foto pemenang penghargaan dalam kategori "Potraits, Single Image" menunjukkan Ewa, seorang gadis Armenia berusia 15 tahun, ketika ia terbangun dari kondisi yang disebut "sindrom resignasi". Fenomena ini terutama menyerang pengungsi anak-anak yang bungkam saat menunggu suaka, menjadi pasif dan berhenti makan. Begitu kehidupan mereka membaik, anak-anak perlahan hidup kembali.
Foto: Gazeta Wyborcza/Duży Format/T. Kaczor
Perpisahan Terakhir
Bayi orangutan ini mati setelah aktivis pelindung hewan menemukannya bersama induknya yang terluka di sebuah perkebunan kelapa sawit. Penduduk desa menembaki induk orangutan tersebut dengan senapan angin dan membuatnya buta. Alain Schroeder mengikuti kiprah aktivis pelindung hewan yang bekerja untuk membantu primata yang terancam punah dan memenangkan hadiah dalam kategori "Nature, Single Image".
Foto: A. Schroeder
Protes Bisu
Seorang pria muda memegang poster saat melakukan protes di Hong Kong pada 11 September 2019. Para pengunjuk rasa di sekitarnya menyanyikan lagu "Glory to Hong Kong," sebuah lagu protes populer yang menjadi lagu resmi gerakan itu. Dengan seri fotonya, Nicolas Asfouri menang dalam kategori "General News, Stories".
Foto: AFP/N. Asfouri
Ingin Tahu atau Lapar?
Fotografer Hungaria, Esther Horvath merekam foto ini untuk koran New York Times ketika beruang-beruang ini mendekati bendera yang dipancangkan oleh para peneliti Polarstern yang sedang meneliti dampak perubahan iklim di Kutub Utara. "Beruang Kutub dan Anaknya" memenangkan penghargaan dalam kategori "Environment, Single Picture".
Foto: The New York Times/E. Horvath
Dapur Peperangan
Pameran senjata IDEX di Abu Dhabi adalah pusat utama bisnis peralatan militer. Di sini, seorang pedagang senjata sedang menyimpan dua peluru bazoka. Fotografer Rusia Nikita Teryoshin menghadiri pameran dan mengambil foto yang memenangkan hadiah dalam kategori "Contemporary History, Single Picture".
Foto: N. Teryoshin
Foto Tahun Ini: Genesis Pemberontakan
Untuk seri fotonya yang mengesankan, Romain Laurendeau dari Perancis mengikuti pemuda Aljazair yang sedang melakukan protes. Hampir tiga perempat warga di bawah usia 30 di negara Afrika Utara itu menganggur. Pada bulan Februari, pemuda Aljazair yang frustrasi turun ke jalan dalam aksi yang merupakan pukulan pembebasan melawan otoritas. Laurendeau menang kategori “Photo Story of the Year”.
Foto: World Press Photo Story of the Year/R. Laurendeau
Foto Tahun Ini: Suara yang Lantang
Di tengah protes yang dilakukan terhadap kediktatoran Omar al-Bashir di Khartoum, Sudan, seorang pemuda membacakan sebuah puisi, dikelilingi oleh para demonstran yang mengarahkan senter ponsel mereka kepadanya. Juri memilih karya fotografer Jepang Yasuyoshi Chiba sebagai pemenang kategori “Photo of the Year” karena memberikan inspirasi kepada pembaca di masa yang tidak pasti. (fs/as)
Foto: Agence France-Presse/Y. Chiba
9 foto1 | 9
Korea Utara dan Cina paling paling represif
Dalam upaya membungkam kebebasan pers, Korea Utara (180) dan Cina (177) disebut tidak pernah berhenti mengontrol informasi dan melakukan penganiayaan terhadap jurnalis dan bloger yang dianggap pembangkang. Vietnam (175) naik dan Laos (172) turun satu posisi.
Keempat negara itu disebut berada dalam satu "zona hitam" bersama Singapura (158), yang dianggap paling ahli dalam memegang kendali mutlak atas berita dan informasi. Di bawah selubung memerangi fake news, Singapura memberlakukan kontrol yang ketat dan tahun ini turun tujuh posisi dalam peringkat kebebasan pers.
Kesultanan Brunei masih di atas Singapura, tetapi juga ada di peringkat bawah (152), antara lain karena memperkenalkan hukuman mati untuk setiap pernyataan tertulis atau lisan yang dianggap telah menghujat Islam. Dua rezim lain di Asia juga mendapat penilaian buruk, yaitu Kamboja di bawah Perdana Menteri Hun Sen (144, turun 1) dan Thailand di bawah Jenderal Thailand Prayut (140, turun 4).
Indonesia mendapat penilaian lebih baik, naik 5 posisi ke peringkat 119. Pers di Indonesia disebut telah berfungsi baik selama pemilihan umum dalam memastikan bahwa demokrasi berfungsi. Lompatan terbesar dilakukan Malaysia, naik 22 ke peringkat 101, dan Maladewa (79, naik 19). Perubahan politik yang dramatis di kedua negara itu disebut sebagai faktor utama menguatnya kebebasan pers.
Laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia diterbitkan sejak 2002, dengan menilai berbagai faktor seperti independensi media, sensor diri, kerangka hukum dan transparansi. Penilaian dilakukan dengan menyebar kuesioner yang diisi oleh para ahli. hp/ae (afp, rtr, rsf)