Depresi, rasa takut tak beralasan atau tidak bisa tidur jadi gejala dampak jangka panjang infeksi Covid-19. Riset Oxford University menunjukkan, virus juga menyerang dan merusak jaringan saraf.
Iklan
Virus corona SARS-CoV-2 diketahui sangat agresif dan menyerang serta merusak jaringan paru-paru dan saluran pernafasan. Namun para dokter juga melaporkan virus pemicu Covid-19 ini juga menyerang jantung, ginjal, jaringan saraf, pembuluh darah dan kulit.
Laporan para dokter ahli saraf Inggris bulan Juli lalu mengejutkan banyak orang. Virus corona SARS CoV-2 ternyata bisa memicu kerusakan berat pada otak dan sistem saraf pusat pada pasien dengan gejala ringan atau mereka yang sudah sembuh dari Covid-19. Hal ini bisa memicu stroke, masalah psikis atau kelumpuhan.
Para ilmuwan dari Oxford Health Biomedical Research Centre kini menemukan, Covid-19 bisa memicu masalah psikis pada sekitar 20% yang terinfeksi. Terutama isolasi bisa memicu depresi, rasa takut tidak beralasan dan tidak bisa tidur, demikian hasil riset para peneliti yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah "Lancet Psychiatry".
Kasus penyakit lain sebagai pembanding
Risetnya mencakup data anonim sangat besar, yakni sekita 70 juta akte elektronik pasien di Amerika Serikat. Diantaranya terdapat sekitar 62.000 data pasien Covid-19 dengan gejala ringan atau sedang.
Dari data ini dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat apakah dalam rentang waktu dua minggu hingga tiga bulan setelah diagnosa, pasien menunjukkan masalah psikis. Hasilnya, sekitar 18,1% mantan pasien Covid-19 didiagnosa mengalami masalah psikis dalam rentang waktu tersebut.
Untuk menegaskan bahwa penyakit psikis ini berkorelasi langsung dengan Covid-19, para peneliti membandingkannya dengan enam kasus penyakit lain dalam rentang waktu yang sama. Seperti penyakit infuenza, infeksi radang saluran pernafasan di luar Covid-19, penyakit batu ginjal, infeksi kulit, penyumbatan saluran kemih dan patah tulang.
Pada 6 penyakit itu, munculnya masalah psikis sebagai efek sampingan, hanya didiagnosa pada kisaran antara 2,5% hingga 3,4%. “Temuan ini tidak diduga dan harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini, gangguan psikis harus dimasukan ke dalam daftar faktor risiko Covid-19“, ujar Max Taquet dari National Institute for Health Research yang juga salah satu penulis laporan ilmiah itu.
Iklan
Jangan ditafsirkan berlebihan
Para ilmuwan Inggris itu dalam waktu bersamaan juga memperingatkan, analisis data kesehatan elektronik itu jangan ditafsir berlebihan. Karena untuk abnormalitas itu belum ada penjelasan ilmiah yang meyakinkan. Pasalnya, berdasar data itu, orang dengan gangguan psikis, punya risiko 65% lebih tinggi untuk tertular virus SARS CoV-2.
8 Cara Mencegah Demensia Menurut WHO
Apa yang menyebabkan Alzheimer dan penyakit demensia lainnya belum diketahui dengan pasti. Tetapi WHO dalam pedoman terbarunya mengatakan, berolahraga, makan sehat, dan tetap bugar secara mental dapat membantu.
Foto: picture-alliance/ZB
Kalau terlalu gemuk, kurangi berat badan
Mereka yang kelebihan berat badan harus melakukan sesuatu untuk menurunkan berat badannya, misalnya lebih banyak berolahraga dan melaukan diet. Obesitas adalah faktor penting penyebab demensia. Lebih banyak olahraga meningkatkan sirkulasi darah dan membuat metabolisme menjadi lebih sehat.
Foto: picture-alliance/dpa/G. Breloer
Pola makan sehat, hindari kolesterol tinggi
Makanan kaya sayuran, salad, dan lemak nabati - memiliki efek positif pada pembuluh darah. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa orang yang menurunkan risiko serangan jantung atau stroke, juga cenderung lebih lambat mengalami demensia daripada orang yang mengonsumsi makanan tinggi kolesterol.
Foto: picture-alliance/dpa/F. May
Ayo gerakkan badan
Aktivitas fisik membuat pembuluh darah aktif dan karena itu baik untuk menghindari demensia. Gerak badan juga secara langsung membantu sistem saraf. Otak pada akhirnya mengendalikan tubuh dan menerima rangsangan kembali dari saraf di otot. Kemampuan menjaga keseimbangan dan berorientasi jadi meningkat - misalnya daya ingat yang lebih baik.
Foto: picture-alliance/dpa
Hindari merokok
Tentu saja tidak mudah untuk berhenti merokok, namun sekarang lebih gampang melakukannya: Hampir di mana-mana sekarang mulai diberlakukan larangan merokok. Nikotin adalah racun saraf, yang juga bisa meningkatkan risiko penyakit peredaran darah, artinya lebih sedikit oksigen yang masuk ke otak. Dan pada gilirannya itu akan meningkatkan risiko demensia.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Bonß
Alkohol adalah racun
Alkohol juga merupakan agen saraf. Dalam dosis yang tinggi bisa secara langsung merusak otak. Alkohol bahkan dalam konsentrasi rendah bisa meningkatkan risiko demensia, dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular dan rusaknya organ-organ penting.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Büttner
Cek tekanan darah
Menjaga tekanan darah adalah bagian penting dari pencegahan demensia. Penyakit kardiovaskular sering dikaitkan dengan berbagai bentuk demensia. Anda dapat menurunkan tekanan darah melalui olahraga, nutrisi sehat, dan tidak merokok atau tidak minum minuman keras.
Foto: Fotolia/Andrei Tsalko
Tetap aktif secara mental
Segala bentuk aktivitas mental membuat otak terus berjalan. Tapi ini bukan hanya tentang memecahkan teka-teki rumit atau berpikir keras. Kontak sosial juga sangat penting, karena itu sangat membantu menjaga ingatan. Jadi tetaplah berhubungan dengan teman-teman Anda.
Foto: Reiner Wandler
Yang paling bagus: berdansa
Musik, olahraga, dan kontrol tubuh akan membuat Anda tetap merasa muda dan sehat! Mungkin tidak ada yang lebih baik untuk mencegah demensia selain berdansa secara rutin. Tetapi tentu saja tidak ada jaminan seratus persen: Seorang penari juga bisa jatuh sakit dan menderita demensia. (hp/vlz)
“Kemunginan kasus demensia lebih sering didiagnosa, karena semakin banyak orang juga diperiksa oleh dokter“ ujar Paul Harrison, Professor untuk psikiatri di University of Oxford.
Selain itu banyak faktor yang tidak tercakup dalam analisa data. Misalnya jenis kelamin, usia, apakah pasien merokok atau kecanduan narkoba. Semua faktor itu turut berpengaruh pada meningkatnya risiko terkena penyakit psikis.
Riset itu tidak memasukkan aspek sosio ekonomi para pasien serta stres secara umum akibat pandemi. Diketahui, risiko gangguan psikis pada kelompok miskin yang tinggal di pemukiman buruk, kumuh dan berdesakan jauh lebih tinggi.
Baru di tahun-tahun mendatang akan terlihat, dalam besaran seperti apa virus corona itu benar-benar memicu efek merugikan jangka panjang dan jadi penyebab penyakit psikis.
Alexander Freund (as/gtp)
Aturan Jaga Jarak dan Higiene Saat Pandemi Covid-19, Apakah Ampuh?
Saat pandemi COVID-19, jaga jarak itu penting. Tapi aturan jarak yang ditetapkan, tidak akan dapat mencegah penyebaran virus secara nyata yang amat kompleks. Juga banyak fenomena baru dalam penularan virus corona.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Wüstneck
Harap jaga jarak minimal 1,5 meter
Pandemi Covid-19 memunculkan serangkaian aturan baru. Salah satunya jaga jarak minimal 1,5 meter. Selain itu faktor higiene dan mengenakan masker. Namun, hal itu tidak menjelaskan bagaimana realita penyebaran virus SARS-CoV2 lewat aerosol yang amat rumit. Demikian laporan para peneliti dari Oxford dan London di Inggris serta Cambridge di AS dalam British Medical Journal akhir Agustus lalu.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Büttner
Dari mana asalnya aturan jarak 2 meter?
Pakar kedokteran Jerman Carl Flügge tahun 1897 sarankan agar menjaga jarak 2 meter dari penderita TBC agar tidak tertular. Partikel cairan yang yang mengandung bakteri streptococcus disemburkan saat penderita batuk, masih menular pada jarak 2 meter. Riset lainnya pada tahun 1948 menunjukkan, sekitar 90% bakteri tuberkolosa yang disemburkan saat batuk, tidak sampai mencapai jarak 1,70 meter.
Foto: picture-alliance/dpa/PA/Jordan
Jarak dua meter tidak mencukupi
Riset dari tahun 1948 itu dipublikasikan dalam American Medical Journal. Namun, juga ditunjukkan sekitar 10% bakteri mencapai jarak lebih jauh, hingga 2,90 meter. Foto ilustrasi menunjukkan, warga yang berjemur di bantaran sungai Rhein ikut aturan menjaga jarak berupa lingkaran berdiameter dua meter. Tapi sekarang yang kita hadapi adalah virus SARS-CoV2 bukan bakteri TBC.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Becker
Virus menyebar lewat aerosol
Virus lebih kecil dari bakteri, dan mampu mengambang di udara selama beberapa jam dan bisa menyebar dalam ruangan. Karena itu para ahli menyarankan, bukan hanya jaga jarak dua meter sebagai kriteria keamanan. Melainan juga beberapa faktor lainnya: ventilasi ruangan, memakai masker, dan jangan berbicara atau menyanyi terlalu kencang.
Foto: picture-alliance/dpa/Bayerischer Rundfunk
Jangan batuk atau menyanyi
Sejumlah riset teranyar juga menunjukkan, saat batuk atau bersin paket virus bisa tersembur hingga jarak 8 meter. Juga berbicara kencang atau menyanyi, membuat turbulensi aerosol di dalam ruangan. Jika berbicara lirih, seperti di perpustakaan dan orang berada di udara terbuka, jarak antara dua orang bisa jauh lebih dekat.
Foto: Getty Images/AFP/A. McBride
Berapa lama aman berada di dalam ruangan?
Yang juga menentukan untuk mitigasi bahaya, adalah lamanya berada dalam ruangan yang terkontaminasi dan berapa banyak orang berada dalam ruangan. Dari beragam faktor ini, para ahli membuat model seperti lampu pengatur lalu lintas. Yang jelas: di dalam ruangan dengan banyak orang, sebaiknya hanya tinggal sebentar, masukkan udara segar, memakai masker, dan bicara lirih.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Fenomena kontak hanya semenit
Kontak sangat singkat mencukupi untuk terinfeksi virus pemicu COVID-19. Contoh kasus di AS, di mana seorang sipir tertular virus corona dari seorang narapidana, padahal dia hanya kontak beberapa menit saja. Karenanya jawatan kesehatan AS-CDC terapkan aturan baru yang lebih ketat. Definisi kontak erat adalah: jarak di bawah dua meter, minimal 15 menit namun terakumulasi dalam waktu 24 jam. (as/rap)