1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Covid-19 Ringan Juga Picu Respons Kekebalan Panjang

19 Agustus 2020

Pasien dengan gejala Covid-19 ringan atau sedang, terbukti juga mengembangkan respons imunitas cukup panjang. Laporan sebelumnya menyebut, antibodi pada pasien gejala ringan, turun tajam segera setelah sembuh.

Symbolbild Bluttest Antikörpertest Test Coronavirus
Antibodi dan kekebalan pasien Covid-19 gejala ringan yang sembuh, diyakini bertahan hingga tiga bulan bahkan lebih.Foto: Imago Images

Para ilmuwan AS meyakini, kekebalan tubuh pasien Covid-19 dengan gejala ringan yang sembuh kembali, bertahan paling tidak selama tiga bulan atau bahkan lebih. Tim ilmuwan itu melakukan uji sampel darah pada 15 pasien Covid-19 dengan gejala ringan, untuk melacak tiga indikasi adanya respons imunitas jangka panjang. Masing-masing antibodi, apa yang disebut memory  B-cell dan memory T-cell. 

“Tiga bulan setelah sembuh, bekas pasien Covid-19 masih memiliki ketiga lapis pertahanan tubuh itu, yang mereduksi risiko mereka untuk terinfeksi kembali virus corona“, kata Lauren Rodda dari University of Washington School of Medicine, salah satu penulis riset itu kepada Reuters. 

''Jika mereka juga terinfeksi ulang, gejalanya kemungkinan ringan dan tidak menjadi vektor penular'' tambah Rodda. Hasil tes dari pasien Covid-19 yang sembuh itu, pada bulan ketiga, tidak menunjukkan perubahan dari hasil tes bulan pertama. Karena itu, tim peneliti dari University of Washington School of Medicine meyakini, adanya respons kekebalan jangka panjang

Penelitian ilmuwan Cina pada 349 pasien Covid-19 bulan lalu juga menegaskan hasil serupa dengan riset di AS. Pasien yang sembuh menunjukkan, pola respons kekebalan tubuh tetap bertahan bahkan hingga selama 6 bulan, tanpa tergantung gejalanya, ringan atau berat. Kedua hasil riset yang dipublikasikan pekan lalu itu, belum mendapat peer review atau riset pembanding.

''Berdasar hasil riset, yang menunjukkan respons imunitas bertahan hingga tiga bulan bahkan bisa lebih lama, tim ilmuwan di AS memberikan saran kepada U.S. Centers for Disease Control and Prevention, untuk melakukan tes ulang setelah tiga bulan sembuh dari infeksi Covid-19'', pungkas Rodda. 

Pengobatan plasma antibodi tekan risiko kematian

Hasil riset lain menunjukkan, pasien Covid-19 dengan gejala berat, yang diberi pengobatan plasma darah berisi antibodi dari pasien yang sembuh, risikonya meninggal karena penyakit tersebut turun signifikan. Data terbaru dari penelitian di seluruh AS diharapkan mampu merinci lebih baik lagi pemberian apa yang disebut "convalescent plasma".

Risetnya dilakukan di seluruh AS antara bulan April hingga Juli dengan 35.000 pasien pada 2.807 rumah sakit, yang mengalami atau berisiko mendapat masalah pernafasan yang bisa menyebabkan kematian, dengan memberi mereka transfusi yan mengandung minimal satu unit plasma antibodi dari pasien yang sembuh. 

Hasilnya, hanya separuh pasien harus dirawat di ruang intensif, dan hanya seperempatnya memerlukan bantuan ventilator. Tingkat mortalitas jauh lebih rendah, jika plasma diberikan dalam waktu tiga hari setelah diagnosa positif dibanding pemberian lebih lambat.

“Lebih banyak kadar antibodi dalam plasma, lebih rendah risiko penerima transfusi untuk meninggal karena Covid-19“, ujar para peneliti. 

Dalam laporan yang dirilis lewat platform online medRxiv, para peneliti menyimpulkan, walau risetnya dilakukan tidak mengikuti standar uji secara acak, namun hasilnya cukup positif. Temuan memberi tambahan bukti, bahwa kualitas dan cara pemberian plasma antibodi dari pasien yang sembuh, kemungkinan bisa mereduksi tingkat mortalitas pasien Covid-19 lainnya.
as/pkp  (reuters)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait