1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Apakah Negara Mencintai Saya? 

6 November 2020

Naouelle Garnoussi adalah seorang muslimah yang dibesarkan di Prancis. Ia menceritakan pengalamannya setelah serangan teror dan ketegangan Prancis dengan dunia Islam. 

Naouelle Garnoussi, muslim di Jerman
Naouelle Garnoussi menceritakan kisahnyaFoto: Noemie Olive/REUTERS

Naouelle Garnoussi adalah seorang muslimah taat yang dibesarkan di Prancis: shalat lima waktu, menikmati pekerjaannya ´dan aktif di komunitasnya dan warga lokal. Dibesarkan oleh kakek-neneknya - satu satunya muslim, anggota keluarga yang lainnya Katolik, perempuan berusia 36 tahun ini mengidentifikasi diri sebagai orang Prancis, dan membela nilai-nilai sekuler Prancis yang memisahkan agama dari negara di ruang publik.

Namun setelah rentetan serangan teror, ia mulai merasa semakin terasing di negaranya sendiri.
Rekan senegaranya cenderung melihatnya sebagai sosok berbeda, katanya. Dan respons pemerintah terhadap kekerasan membuatnya bertanya-tanya: Apakah seorang muslim benar-benar setara di mata republik tersebut?

"Nenek saya orang Prancis. Nenek buyut saya orang Prancis, dia dipanggil dengan sebutan Antoinette. Anda tidak akan mendapatkan lebih banyak bahasa Prancis dari hal itu, tapi terkadang saya dibuat merasa bahwa saya bukan lagi orang Prancis, hanya seorang muslimah," kata Garnoussi kepada Reuters di apartemennya di Argenteuil, kawasan kelas pekerja pinggiran kota Paris.

Sikap anggota masyarakat terhadap muslim tampak mengeras, lanjutnya. "Kadang-kadang saya lupa mematikan notifikasi ponsel saat Adzan berkumandang. Suatu hari saya diludahi, jadi situasinya mulai menjadi sangat buruk."

Beberapa tokoh Muslim terkemuka mengkhawatirkan masyarakat luas memandang mereka seperti kelompok militan.

Minggu ini, pernyataan dari sekelompok pemimpin muslim di Prancis mendesak pemerintah untuk bertindak sehingga "mayoritas umat Islam yang sangat mengutuk serangan teroris baru-baru ini tidak disamakan dengan dengan pemicu kebencian. "

“Menyakiti kami“

Garnoussi dibuat bingung oleh majalah satire, Charlie Hebdo. Keputusan Hebdo pada bulan September untuk menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad membakar kemarahan di sejumlah negara muslim.
Majalah itu melakukannya untuk menandai persidangan tersangka kaki tangan teroris, yang melakukan serangan pembunuhan pada tahun 2015 di mana 12 orang, termasuk beberapa kartunis terkenalnya, terbunuh.

Beberapa minggu setelah publikasi ulang kartun tersebut, seorang pemuda berusia 18 tahun asal Chehnya memenggal seorang guru sekolah menengah yang telah menggunakan kartun itu di kelas ekspresi kebebasan. Minggu lalu seorang perempuan dipenggal dan dua orang lain tewas di Nice dalam serangan pembunuhan yang diduga dilakukan teroris Islamis.

Pemerintah Prancis membela publikasi karikatur itu dengan mengatakan, mengizinkan kebebasan berekspresi.

Bagi Garnoussi, publikasi ulang karikatur itu merupakan tindakan provokatif yang berisiko membuat hidup lebih sulit bagi banyak orang di antara sekitar lima juta penduduk muslim Prancis yang, seperti dia, yang mengutuk kekerasan atas nama agama. "Itu menyakiti kami dan membuat kami merasa negara tidak mencintai kami," katanya tentang tindakan Charlie Hebdo dan pembelaan pemerintah atas mereka.

Musuh di dalam?

Presiden Prancis, Emmanuel Macron menanggapi pembunuhan guru Samuel Paty dan para korban di Nice dalam pidatonya beberapa hari kemudian, dengan janji untuk menindak apa yang disebut beberapa pejabat publik sebagai "musuh di dalam".

Setidaknya ada tiga perkumpulan muslim yang diduga mengobarkan pandangan ekstremis telah dibubarkan pemerintah. Selain itu pemerintah Prancis  berjanji untuk mempercepat legislasi untuk melawan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Republik Prancis.

Tetapi dalam upaya untuk memperbaiki kesalahpahaman tentang hubungan Prancis dengan umat muslim, Macron menekankan dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, Prancis sama sekali tidak anti Islam. 

Presiden Prancis itu berbicara tentang menciptakan "Islam di Prancis", atau apa yang baru-baru ini dia sebut sebagai "Islam yang Tercerahkan" yang sesuai dengan nilai sekuler negaranya.
Namun ini adalah konsep yang tidak masuk akal menurut Garnoussi.“Jika saya di Jepang, Papua Nugini atau Perancis saya akan shalat lima kali sehari dengan cara yang sama, sajadah saya tetap menghadap Mekah, mungkin hanya posisinya saja menunjuk ke arah yang berbeda", pungkas muslimah Prancis itu

ap/as (Reuters)