1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Damai di Nagorno-Karabakh Bergantung Pada Turki 

7 Oktober 2020

Armenia membuka pintu damai kepada Azerbaijan, namun memojokkan Turki yang dinilai berusaha melanjutkan “pembantaian Armenia”. Tanpa Ankara, perang di Nagorno-Karabakh diyakini tidak akan terjadi.

Penduduk di kota Stepanakert, Nagorno-Karabakah, usai dibombardir militer Azerbaijan, klaim Armenia, 3/10.
Penduduk di kota Stepanakert, Nagorno-Karabakah, usai dibombardir militer Azerbaijan, klaim Armenia, 3/10.Foto: Getty Images/AFP

Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, tidak sedang bermurah hati ketika mengritik Turki mendalangi konflik di Nagorno-Karabakh. Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita AFP, dia menyebut konflik di perbatasan itu sebagai perang melawan terorisme. 

“Walaupun benar bahwa pemerintah Azerbaijan secara aktif mempromosikan retorika agresif selama 15 tahun terakhir, adalah dukungan penuh Turki yang mendorong keputusan untuk melancarkan perang,” kata dia. 

“Tanpa keterlibatan aktif Turki, perang ini tidak akan berkecamuk,” imbuhnya di Yerevan, Selasa (6/10). Lebih lanjut dia menuding Ankara “kembali ke Kaukasus Selatan untuk melanjutkan pembantaian Armenia,” tukas Pashinyan, merujuk pada pembantaian sistematis terhadap hingga 1,5 juta warga etnik Armenia di Turki antara 1914 dan 1923. 

Menurut sang perdana menteri, negerinya menjadi “rintangan terakhir” bagi Turki untuk menggandakan pengaruhnya di kawasan dan membangun “kesultanan” baru. 

Dia mewanti-wanti jika “Eropa gagal melihat situasinya dengan jelas,” maka benua itu akan menyaksikan pasukan Turki di luar kota Wina, serupa pengepungan Kesultanan Utsmaniyah terhadap kota itu pada abad ke17. 

Turki versus Rusia 

Pemerintah Ankara dituduh mengirimkan militan bayaran dari kawasan pemberontak di Suriah untuk bertempur melawan Armenia di Nagorno-Karabakh. Turki selama ini membantah tudingan tersebut, dan sebaliknya menuduh Yerevan menggunakan gerilayawan Kurdi, meski tidak dilengkapi bukti. 

Kedekatan antara Turki dan Azerbaijan sudah dirawat sejak lama. Sejak beberapa dekade terakhir, Turki juga aktif melatih perwira militer Azerbaijan dan memasok negara itu dengan berbagai persenjataan modern. Oleh kedua pemerintahan, hubungan spesial Turki dan Azerbaijan acap disebut sebagai “dua negara, satu bangsa.” 

Sebaliknya Armenia memiliki perjanjian pakta pertahanan dengan Rusia, serupa NATO, di mana Moskow harus mengirimkan bantuan juga diminta. “Dalam kasus ancaman keamanan bagi Armenia, keterlibatan Rusia sudah dipastikan lewat kerangka perjanjian kami. Saya yakin Rusia akan menghargai perjanjian itu,” kata PM Pashinyan. 

Peta konflik antara Armenia dan Azerbaijan di kawasan Nagorno Karabakh

Rusia sejauh ini mendesak kedua pihak agar berdamai. Sementara Iran menawarkan mediasi dan mengaku sedang menyiapkan peta jalan damai bagi konflik di Nagorno-Karabakh. Armenia juga mengaku siap membuat kompromi, selama Azerbaijan melakukan hal serupa. 

Tekanan Moskow antara lain datang lewat tuduhan bahwa Turki menerjunkan militan bayaran dari Suriah. Sergey Narshkin, Kepala Dinas Rahasia Luar Negeri Rusia (SVR), menyebut jihadis Hayat Tahrir al-Sham yang dulunya aktif untuk Front al-Nusra, ikut dilibatkan dalam perang melawan Armenia. 

“Kita berbicara tentang ratusan hingga ribuan jihadis radikal yang berharap bisa menghasilkan uang di dalam perang Nagorno,” imbuhnya dalam sebuah keterangan pers yang dipublikasikan di laman internet SVR.  

Dia menambahkan jika Nagorno-Karabakh menjadi sarang kelompok jihadis, maka “Rusia akan ikut terancam.” 

Kepentingan elektoral 

Meski potensi konflik dengan Rusia, Presiden Recep Tayyip Erdogan menolak upaya mediasi negara-negara Eropa. Menurutnya dunia internasional mengabaikan krisis di Nagorno-Karabakh selama tiga dekade, dan sebabnya tidak berhak menggulirkan insiatif damai. 

Azerbaijan bersikeras hanya akan menjalin damai jika pemerintah di Yerevan mengosongkan wilayah yang diduduki oleh militan etnis Armenia di Nagorno-Karabakh. 

Sebagian analis meyakini, eskalasi konflik yang dilancarkan Turki di Nagorno-Karabakh atau terhadap Yunani di Laut Aegia, merupakan upaya mendongkrak popularitas pemerintah di dalam negeri. Menurut jajak pendapat MetroPoll, akhir September silam tingkat kepuasan publik terhadap Erdogan meningkat 5% setelah ketegangan di Laut Tengah. 

“Semua konflik-konflik ini memperkuat pandangan bahwa Turki berada dalam kepungan musuh, terlepas benar atau tidak,” kata Sinan Ulgen, Direktur lembaga wadah pemikir di Istanbul, EDAM. 

Sejauh ini desakan damai terhadap Turki untuk kawasan Nagorno-Karabakh bertepuk sebelah tangan.  

“Okelah kita sepakati gencatan senjata, tapi lalu apa yang akan terjadi?” kata Menlu Turki Ahmet Cavusoglu, saat melawan ke Azerbaijan, (7/10). “Apakah Anda yakin Armenia akan langsung menarik pasukannya dari wilayah teritorial Azerbaijan? Tidak,” imbuhnya. 

“Kami selama ini mendukung upaya resolusi damai, tapi Armenia menikmati buah pendudukan selama 30 tahun.” 

rzn/vlz (afp, rtr, ap)
 


 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait