1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Wabah Corona dan Harapan Hidup Penderita Penyakit Kronis

Rina Goldenberg
28 Mei 2020

Khawatir tertular COVID-19, penderita penyakit kronis seperti kanker, jantung, dan stroke tunda kunjungan ke dokter. Padahal dalam jangka panjang, penundaan ini bisa berdampak serius.

Petugas paramedik di Hamburg bekerta di tengah wabah corona
Foto: Imago Images/Blaulicht News

Thomas menderita stroke pada awal April. Sekitar waktu yang bersamaan, gambar dramatis di bangsal-bangsal perawatan intensif di Italia mengejutkan publik Jerman dan aturan pembatasan yang bertujuan memperlambat penyebaran virus corona SARS-CoV-2 mulai berlaku

Thomas berusia 50 tahun dan termasuk berisiko tinggi menderita stroke. Setelah selamat dari serangan jantung ketika berusia 45 tahun, lima tahun kemudian Thomas masih merokok, kelebihan berat badan, dan kadar gula dalam darahnya tinggi.

Ketika tiba-tiba lagi tidak mampu menulis pesan di WhatsApp, dia pun khawatir. Namun Thomas menolak pergi mencari pertolongan ke rumah sakit. "Saya tidak pergi ke sana," ujar Thomas kepada seorang teman melalui telepon. "Saya sudah lihat seperti apa di sana: Rumah sakit adalah tempat kamu tertular corona."

Dengan segala penyakit yang dideritanya, Thomas memang tergolong berisiko tinggi dan rentan tertular penyakit COVID-19.

Thomas tidak sendirian, asuransi kesehatan Jerman menunjukkan pada April terjadi penurunan sebesar 30 persen jumlah pasien stroke dan serangan jantung di bangsal darurat di Jerman dalam tiga bulan terakhir.

Setiap menit sangat berharga

Pada minggu ini, dokter-dokter Jerman menyuarakan kekhawatiran mereka. Dokter ahli jantung dan ahli kanker melaporkan bahwa 50 persen pasien telah membatalkan janji untuk melakukan pemeriksaan. Angka ini termasuk orang-orang dengan gangguan kardiovaskular parah dan penderita kanker. Banyak yang mengatakan mereka berniat menunda terapi penting yang dapat menyelamatkan jiwa karena takut tertular COVID-19 di ruang tunggu dokter.

Angka-angka di Jerman ini berkorelasi dengan angka dari negara lain. Sebuah survei Organisasi Stroke Sedunia di 100 negara menunjukkan penurunan rata-rata sebesar 50-70 persen pada kunjungan dokter atau perawatan di rumah sakit yang disebabkan oleh stroke atau transient ischemic attacks (TIA) sejak Februari 2020.

"Stroke dan serangan jantung adalah keadaan darurat akut di mana setiap menit sangat berharga - bahkan pada saat pandemi," ujar kepala dokter di departemen neurologis dari Pusat Medis Universitas Hamburg-Eppendorf dalam sebuah wawancara dengan majalah mingguan Jerman Der Spiegel di awal April. Dia mendesak pasien untuk tidak menghindari rumah sakit karena takut tertular COVID-19.

Di Jerman, sekitar 47.000 orang meninggal karena serangan jantung setiap tahunnya. Sekitar 30 persen dari angka kematian ini terjadi di luar rumah sakit, karena penderita atau orang-orang di sekitar mereka terlambat atau sama sekali tidak memanggil layanan darurat. 

Tidak boleh ada pengunjung dan pasien baru diperiksa sesuai prosedur kebersihan terkait wabah corona di sebuah klinik di Essen, Jerman.Foto: DW/R. Goldenberg

Sementara itu sekitar 280.000 orang di Jerman menderita stroke setiap tahun; setelah penyakit jantung dan kanker, stroke adalah penyebab kematian paling besar ketiga di Jerman. Sekitar 20 persen dari mereka yang selamat dari stroke menderita cacat. Selain itu, jumlah penderita stroke di bawah usia 55 tahun, yang kini rasionya satu berbanding lima, diprediksi tumbuh.

Pada kasus Thomas, seorang teman membawanya ke unit khusus stroke beberapa jam setelah ia menunjukkan gejala pertama. Pada saat itu dia sudah tidak bisa berbicara selain "ya" atau "tidak."

Jerman memiliki 330 unit khusus stroke di rumah sakit dengan tim dokter dan perawat multidisiplin. Bahkan pada puncak pandemi corona di bulan April, unit-unit ini tetap berfungsi. Mario Leisle dari Yayasan Bantuan Stroke di Jerman mengatakan bahwa meski beberapa tempat tidur di unit perawatan intensif telah disisihkan untuk pasien COVID-19, secara keseluruhan tidak ada dampak pada fasilitas perawatan gawat darurat di sana.

Meski demikian wabah COVID-19 telah membawa masalah yang berbeda. "Karena pembatasan akibat virus corona, anggota keluarga dapat tidak menemani pasien ke ruang gawat darurat. Ini berarti tidak ada yang dapat memberi informasi penting tentang pengobatan dan kondisi pasien sebelumnya kepada ahli," kata Leisle.

Dampak jangka panjang akibat wabah corona

Sekitar 14 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat stroke setiap tahunnya dan lebih dari 50 juta orang yang selamat hidup dengan menderita cacat permanen. Di Jerman saja ada 1 juta penderita stroke yang membutuhkan perawatan konstan.

Perawatan cepat dan terapi rehabilitasi teratur sangat penting bagi para penderita serangan jantung, kanker dan penderita stroke begitu mereka keluar dari rumah sakit.

Tetapi wabah corona juga meninggalkan dampak yang nyata.

Beberapa pasien membatalkan atau menunda perawatan yang telah mereka rencanakan dengan alasan takut tertular virus. Penundaan ini dapat mempengaruhi laju pemulihan.

Kerabat dan teman yang bisa memberikan dukungan penting terhadap pasien kini tidak diizinkan mengunjungi akibat wabah corona. Bagi pasien yang tidak bisa berbicara lancar seperti Thomas, kontak lewat telepon bukanlah pilihan yang memuaskan.

Pusat-pusat terapi telah ditutup dan kontak tatap muka langsung dengan para perawat dan sesama penderita yang selamat telah dikurangi seminimal mungkin atau dihentikan sementara. Pasien-pasien stroke yang pulih saat ini ditempatkan dalam isolasi untuk melindungi mereka dari infeksi virus corona.

Penggunaan fasilitas digital untuk tetap bertemu dan berhubungan memang telah meningkat. Namun para ahli tetap berpendapat bahwa kesinambungan perawatan adalah hal terpenting. "Jika terapi dihentikan, kemajuan yang sudah dibuat dapat mundur lagi," ujar Leisle dari Yayasan Bantuan Stroke Jerman.

Ed.: ae/rap

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait