WHO Ingatkan Dampak COVID-19 terhadap Kesehatan Mental
23 Juli 2021
Berdasarkan laporan terbaru WHO, dampak pandemi COVID-19 pada kesehatan mental akan terasa untuk waktu yang lama. Masalah tersebut dinilai harus dapat ditangani secara terbuka sama seperti pemulihan sosial dan ekonomi.
Hal itu ia utarakan saat menyampaikan pidato pembukaan pada konferensi yang didedikasikan untuk laporan baru tentang kesehatan mental oleh kantor Organisasi Kesehatan Dunia Eropa. "Orang-orang di kawasan Eropa benar-benar hancur di bawah tekanan COVID-19 dan konsekuensinya," ujarnya.
Dia menambahkan bahwa menempatkan reformasi kesehatan mental di jantung pemulihan sosial dan ekonomi akan membutuhkan "banyak keberanian dan ketabahan."
Laporan WHO: bahaya pandemi terhadap psikologis
Laporan WHO memperingatkan bahaya pandemi terhadap psikologis orang-orang di Eropa. Kekhawatiran akan tertular dan lamanya waktu isolasi diri yang ekstensif, terbukti merusak mental banyak orang. Selain itu, orang-orang juga terganggu oleh kekhawatiran tentang pengangguran dan krisis keuangan.
Dokumen tersebut membuat beberapa rekomendasi, seperti misalnya dukungan psikologis melalui sarana digital dan lainnya. WHO juga menyerukan lebih banyak kesadaran di tempat kerja dan dukungan keuangan bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan.
Badan PBB itu juga mendesak pihak berwenang untuk mengatasi akar penyebab kecemasan mental, termasuk kemiskinan atau ketidaksetaraan sosial ekonomi lainnya. Masalah kesehatan mental harus ditangani secara terbuka sama seperti masalah pemulihan ekonomi sosial, kata badan PBB itu.
"Ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan oleh negara mana pun, jika kita ingin membangun kembali (kehidupan) dengan lebih baik dan lebih kuat," kata Kluge.
Cegah Kelelahan Mental Akibat Terus Bekerja dari Rumah Selama Pandemi Corona
Bekerja dari rumah dalam jangka waktu lama mengaburkan batas kehidupan profesional dan pribadi, serta berpotensi melelahkan mental. Berikut cara yang dapat dilakukan pekerja dan perusahaan dalam menjaga semangat.
Foto: picture-alliance/Newscom
Perlu dukungan organisasi pemberi kerja
Psikolog sosial dan ketua riset PP Himpunan Psikologi Indonesia, Juneman Abraham, mengatakan batas kehidupan di kantor dan rumah kian kabur. “Ini adalah kenyataan yang perlu dikelola organisasi. Karena itu, organisasi (kantor, tempat kerja) perlu menggeser pandangannya. Organisasi tidak dapat menganggap bahwa semua jam work from home merupakan “hak kantor”," ujar Juneman kepada DW Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Wüstenhagen
Biarkan karyawan menghibur diri pada jam kerja
Organisasi tempat kerja dapat memberikan alokasi waktu khusus agar karyawan bisa menghibur diri pada jam bekerja dari rumah, misalnya membiarkan karyawan mengikuti webminar yang berkaitan dengan hobi seperti menyanyi, berolahraga, atau bermain. “Karyawan menjadi tidak mudah bosan, kelelahan, dan menjadi lebih produktif,” ujar Juneman. Ini akan memberikan efek positif bagi semua pihak.
Foto: picture-alliance/dpa themendienst/C. Klose
Pentingnya dukungan keluarga
Keluarga berperan besar sebagai sistem pendukung sosial bagi para karyawan yang harus bekerja dari rumah, misalnya dengan menampakkan sikap optimisme, harapan, doa, serta rasa syukur. Perlu ada pemaafan sewajarnya bila harus bekerja pada akhir pekan. Sebagai gantinya, pekerja dan keluarganya dapat berunding untuk mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh semua.
Foto: Imago/U. Grabowsky
Atur pemakaian sumber daya
Juneman juga mengingatkan agar "bermain cantik" supaya tenaga dan semangat para pekerja tidak cepat terbakar habis, atau bahkan stres, saat bekerja dari rumah dalam waktu lama. Perlu ada fleksibilitas cara berpikir bahwa aturan dan kebiasaan lama dari organisasi kantor masih bisa dinegosiasikan, asal dikomunikasikan dengan baik ke pimpinan.
“Sebenarnya yang perlu dikembangkan dalam diri individu pekerja work from home adalah perasaan bahwa pekerjaannya adalah panggilan hidup (calling)-nya,” ungkap Juneman. Calling terbukti efektif mengurangi perasaan terbebani tuntutan kerja. Organisasi juga bisa membantu dengan program pengembangan karyawan, seperti konseling daring, dan program bantuan untuk karyawan. (ae/vlz)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Hase
5 foto1 | 5
Berapa banyak orang yang terpengaruh?
Hampir 12% dari populasi Eropa atau sekitar 110 juta orang terkena gangguan mental pada tahun 2015, seperti depresi dan kecemasan.
27 juta orang diperkirakan mengalami inklusi gangguan zat. Gangguan neurologis seperti demensia atau epilepsi meningkat jumlahnya hingga lebih dari 300 juta orang.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2018, biaya perawatan kesehatan mental bertambah lebih dari 4% PDB – atau lebih dari 600 juta euro (Rp10,2 triliun) – di 28 negara pada tahun 2015.