Perubahan iklim sudah berlangsung dan dampaknya makin terasa. Semua negara kini harus berjuang secepatnya, meredam pemanasan global dengan menurunkan emisi karbon.
Iklan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan edisi finalnya yang dilansir di Kopenhagen baru-baru ini mengingatkan, bahwa emisi tiga gas rumah kaca terpenting, mencapai tingkat tertinggi sejak 800.000 tahun terakhir. Laporan ini sebetulnya tidak baru dan tidak mengejutkan, karena merangkum tiga edisi laporan sebelumnya.
Tapi dengan menggarisbawahi lingkupnya pada dampak berbahaya perubahan iklim dengan peringatan tegas. laporan ini menjadi bermakna lain. IPCC mengingatkan, penurunan emisi karbon akibat penggunaan bahan bakar fossil besar-besaran, harus diturunkan hingga ke tingkat nol di akhir abad ini. Jika tidak, kenaikan suhu global rata-rata akan mencapai 4 derajat Celsius dengan dampak mengerikan pada manusia.
Juga diingatkan, perubahan yang dipicu pemanasan global bisa bersifat permanen bagi ekosistem dan untuk manusia. Sejumlah impak sudah eksis, misalnya naiknya muka air laut, mencairnya gletsyer dan lapisan es di kutub serta makin sering terjadinya kekeringan berkepanjangan.
Laporan keempat IPCC atau laporan final itu, akan menjadi landasan dalam pertemuan Iklim berikutnya di ibukota Peru, Lima akhir tahun ini, sebelum digelarnya KTT Iklim di Paris tahun depan. Dalam KTT Paris diharap tercapai kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto yang sudah habis masa berlakunya.
Berada Di Front Perubahan Iklim
Menurut perkiraan IPCC, permukaan laut akan naik antara 26 dan 82 sentimeter akhir abad ini. DW meninjau bagaimana langkah yang diambil negara-negara pulau yang letaknya rendah.
Foto: AFP/Getty Images
Hilangnya Firdaus
Negara-negara pulau di seluruh dunia sudah mulai merasakan dampak naiknya permukaan air. Mungkin Maladewa di Samudra Hindia yang terutama merasakannya. Negara itu dianggap yang terendah di seluruh dunia. Tingginya 26 atol itu hanya 1,5 meter di atas permukaan laut.
Foto: Ahmed Zahid - Fotolia
Di Bawah Air
Meningginya air menyebabkan sebagian penduduk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Di pulau Kiribati di Samudra Pasifik, sebuah desa sudah sepenuhnya tertutup air. Petani lokal juga khawatir akan dampak air asin terhadap panen mereka. Air laut yang makin tinggi menguranggi lahan pertanian.
Foto: John Corcoran
Perlindungan Sementara dari Air
Sekitar 113.000 orang bertanah air di kepulauan Kiribati. Penduduk lokal yang terpaksa meninggalkan rumah kerap mengungsi ke pulau Tarawa Selatan. Pulau itu punya tembok yang melindungi kawasan yang rendah di tepi pantai, dari air yang meninggi. Tapi ini bukan solusi permanen.
Foto: picture-alliance/AP
Menahan Gelombang
Belanda terkenal dengan kemampuan untuk menekan air laut dari daratan. Tanggul mereka yang dirancang untuk menjaga daratan dari air laut didirikan 1.000 tahun lalu. Sekarang, sistem dam dan tanggul yang canggih memungkinkan dua pertiga populasi tinggal lebih rendah dari permukaan air laut. Namun demikian, naiknya permukaan laut masih sebabkan kekhawatiran, dan rencana penguatan tanggul sudah ada.
Foto: picture-alliance/Ton Koene
Warisan Budaya Yang Tenggelam
Venesia di Italia timur laut sudah lama mengenal banjir, dan menurut pakar, kota yang jadi ikon kebudayaan itu semakin tergenang air. Italia telah menginvestasikan sekitar 9.6 milyar Euro dalam proyek tanggul MOSE yang dirancang untuk menjaga lokasi warisan budaya dari air pasang yang tinggi dan naiknya permukaan laut. Proyek direncanakan selesai tahun 2016.
Foto: AP
Krisis di Karibia
Banyak pulau-pulau kecil di lautan tidak punya dana untuk membiayai langkah mitigasi berskala besar terhadap perubaan iklim. Mereka juga kerap tidak hanya menghadapi air laut yang meningkat. Mereka juga hadapi ancaman badai dan topan. Pulau St. Lucia dan Dominica, di kepulauan Karibia sering hadapi badai yang akibatkan rusaknya pertanian.
Foto: picture-alliance/Robert Harding World Imagery
Badai Lebih Sering
Kehancuran yang disebabkan topan Haiyan di Filipina November 2013 adalah contoh jelas bagaimana rentannya pulau-pulau atas peristiwa cuaca. Lebih dari 6.200 orang tewas. Banyak rumah di jalur yang dilewati angin topan tidak dibuat untuk tahan badai yang awalnya seolah akan melalui bagian utara negara itu.
Foto: DW/T.Kruchem
‘Dampak Krisis Iklim Adalah Kegilaan’
Orang banyak yang berpendapat bahwa negara-negara yang lebih miskin dan masih berkembang kini menderita akibat dampak industrialisasi yang diadakan Barat. Pada Konferensi Iklim Internasional (COP) 19 di Warsawa, Komisaris Filipina untuk perubahan iklim Yeb Saño menyerukan semua pihak untuk bertindak sambil mengatakan, "Yang dihadapi negara saya sebagai dampak krisis iklim adalah kegilaan."
Foto: DW/ A. Rönsberg
Mengambang di Atas Banjir
Bangladesh adalah bagian dari dataran Asia, tetapi menghadapi risiko perubahan iklim karena letaknya yang rendah dan kepadatan penduduk yang tinggi. Naiknya permukaan laut sebanyak satu meter akan menyebabkan separuh negeri tergenang air. Banyak komunitas sudah mulai menyesuaikan diri dengan menggunakan teknologi pertanian mengambang.
Foto: dapd
Pengungsi Jenis Baru
Ada kekhawatiran, bahwa naiknya permukaan laut akan menyebabkan pengungsian seluruh populasi dan menciptakan gelombang pengungsi akibat perubahan iklim. Sebuah ide dicetuskan Presiden Kiribati, Anote Tong beberapa tahun lalu. Yaitu pembuatan pulau artifisial untuk penduduk yang terpaksa mengungsi. Mungkin mereka bisa belajar dari proyek pulau artifisial di Dubai.
Foto: AFP/Getty Images
10 foto1 | 10
Laporan IPCC tidak menyebutkan secara eksplisit apa yang diharap dari masyarakat dunia. Tapi tren yang ada merekomendasikan pada penggunaan lebih intensif energi terbarukan di rumah tangga, industri dan sektor transportasi digabung dengan teknologi penyimpanan karbondioksida.
"Yang kita perlukan adalah keinginan untuk melakukan reformasi, yang dimotivasi teknologi serta pengetahuan terkait fakta ilmiah perubahan iklim", ujar ketua IPCC Rajendra Pachauri. Untuk mencegah laju pemanasan global, emisi CO2 harus diturunkan hingga 70 persen sampai tahun 20150, dan emisi nol di tahun 2100.
Namun para pakar iklim juga menyadari, sulit mencapai kesepakatan global terkait tema ini. Terutama negara industri maju dan negara ambang industri yang merupakan produsen emisi gas rumah kaca terbesar hingga kini masih saling tuding terkait kewajiban masing-masing. Sejak bertahun-tahun perundingan iklim untuk mencari pengganti Protokol Kyoto berupa kesepakatan mengikat terus mengalami kegagalan.