Dampak Pernikahan Usia Anak bagi Generasi Penerusnya
24 Januari 2023Baru-baru ini, Pengadilan Tinggi Agama Surabaya melaporkan data dispensasi kawin tahun 2022. Hasilnya, tercatat ribuan kasus pengajuan dispensasi kawin oleh masyarakat di beberapa kabupaten di Jawa Timur.
Pengadilan Agama Kraksaan, Probolinggo, misalnya, melaporkan terdapat setidaknya lebih dari 100 permohonan dispensasi kawin setiap bulannya. Tren ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya angka perkawinan anak dan dampak ikutan lainnya.
Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Rini Handayani, mengatakan dispensasi kawin umumnya diajukan oleh calon pengantin yang usianya masih tergolong anak-anak karena berbagai faktor penyebab.
"Ikut-ikutan teman, ingin dipenuhi kebutuhannya, ekonomi keluarga yang miskin, terbukanya akses informasi teknologi di media sosial, budaya yang kental di beberapa daerah dan perubahan pola pikir anak remaja," Rini menjabarkan beberapa penyebab tren naiknya angka perkawinan anak kepada DW Indonesia.
Dispensasi perkawinan anak karena terlanjur hamil
Dari total jumlah yang mengajukan dispensasi kawin tersebut, Rini memprediksi sekitar 80% terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan. Sementara sisanya karena pacaran atau kekerasan lainnya.
Pemerintah mengubah peraturan soal perkawinan yang tercantum di UU no.1/1974 menjadi UU no. 16 /2019 yang tadinya usia menikah minimal 16 tahun kini menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Rini mengakui Jawa Timur merupakan provinsi paling tinggi angka pernikahan anak, disusul Jawa Tengah. Selama 2022, Pengadilan Agama Kabupaten Malang menerima permohonan dispensasi nikah sebanyak 1.455 kasus, atau tertinggi di Jawa Timur. Sementara Jember menempati peringkat kedua dengan 1.395 kasus dan Kraksaan, Probolinggo, di peringkat ketiga dengan 1.152 kasus.
"Usia mereka masih tergolong remaja, dari SMP - SMA sekitar 13 sampai 16 tahun," kata Rini Handayani kepada DW Indonesia.
Berdasarkan data KemenPPPA, dispensasi kawin tiga tahun terakhir menurun dari yang tadinya 64.000 pada 2020 menjadi 62.000 pada 2021 dan 52.000 pada 2022.
"Meskipun menurun, tapi ini memang angka yang cukup tinggi," kata Rini memperingatkan.
Efek domino perkawinan anak
Pernikahan anak yang terjadi dalam usia sangat belia ini akan menciptakan efek domino bagi masa depan keluarga dan keturunan mereka sendiri. Mulai dari putus sekolah, kemudian menganggur, dan akhirnya bekerja dengan upah rendah dan akibatnya melahirkan angka kemiskinan baru.
"Usia anak sudah punya anak, maka banyak efeknya: kesehatan ibu terganggu, tingkat kematian meningkat, pendarahan, KDRT akhirnya cerai, dan akhirnya mental anak juga tidak sehat," ujarnya.
Oleh karenanya, pihaknya bersama dengan kementerian lembaga lainnya, pemerintah kabupaten kota, bekerjasama melibatkan pemerhati perempuan dan anak, pemuka agama dan tokoh daerah mewujudkan desa ramah anak.
"Kami ingin mewujudkan tidak ada lagi perkawinan anak terjadi dengan menyebarkan relawan di 138 desa, dengan menggandeng pendamping desa, pekerja sosial menciptakan sosialisasi dengan bahasa yang mudah dimengerti, dam meningkatkan kewirausahaan agar ekonomi daerah itu meningkat," ungkap Rini.
Kesehatan mental generasi berikutnya jadi taruhan
Pemerhati sekaligus aktivis hak-hak anak, Owena Ardra, menjelaskan anak mempunyai tugas perkembangan pada setiap tahapan usia tertentu untuk menentukan kemampuan anak di fase kehidupan selanjutnya.
Misalnya di usia remaja, anak punya tugas perkembangan untuk belajar membangun hubungan dengan teman-teman sebaya sehingga dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang tahu dan mampu membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
"Menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dan orang lain. Namun saat menikah di usia anak, kesempatan anak untuk belajar dan memenuhi tugas perkembangannya jadi sangat terbatas, bahkan hilang sama sekali! Ibaratnya anak belum selesai belajar, eh sudah menghadapi begitu banyak ujian," kata perempuan yang akrab disapa Olla ini.
Selain itu, anak belum tahu dan belum punya kemampuan untuk mengenal dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Namun peran sebagai istri akan menuntut untuk anak harus bisa melakukan itu semua.
"Jadi tidak sinkron dengan peran yang harus diemban. Akibatnya anak bisa merasa tertekan, atau stres, belum lagi hubungan dengan keluarga besar, atau tanggung jawab sebagai orang tua kalau sudah punya anak."
Ia menambahkan, penelitian di berbagai konteks sosio budaya di mana perkawinan usia anak terjadi, semua konsisten mengungkapkan bahwa perkawinan di bawah umur berdampak buruk bagi kesejahteraan psikologis atau kesehatan mental anak yang dilahirkan.
"Kesehatan mental anak sudah pasti akan mengalami banyak tekanan, lebih tinggi kerentanannya untuk mengalami gangguan depresi, kecemasan, trauma," ujar Olla yang tengah menjalani program magister psikolog klinis anak.
Hal senada juga dikatakan Wesmira Parastuti Mia, psikolog dan salah satu pendiri pusat layanan psikologi Ruang Tumbuh Bintaro. Wesmira mengatakan bahwa anak belum matang secara emosional dan psikologis dan belum mapan secara emosional. Hal ini karena anak masih dalam usia pertumbuhan dan harus menjajaki keadaan sosial yang harus diperkaya dari segi dunia pendidikan, akademis, dan sosial.
"Secara pengalaman hidup, anak juga belum memiliki wawasan yang kaya sehingga ia secara emosional belum matang mengelola emosi yang mungkin timbul saat harus berkompromi dengan pasangannya," kata Wesmira kepada DW Indonesia.
Ditambah lagi, jika memiliki bayi, orang tua yang masih di bawah umur ini belum akan siap mengasuh anak-anaknya, sehingga rentan muncul masalah dalam rumah tangga dan pola pengasuhan anak. Efeknya, orang tua seperti ini akan cenderung menumbuhkan sosok anak yang tidak kuat secara emosional, ujar Wesmira. (ae)