Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan Menstruasi
Midhat Fatimah New Delhi
30 Mei 2023
Laporan PBB mengatakan bahwa ada peningkatan risiko kesehatan reproduksi perempuan, setelah terjadinya bencana alam. Perempuan di India bercerita bagaimana dampak Topan Amphan pada mereka.
Iklan
Ketika Topan Super Amphan menghantam pantai India pada tahun 2020 silam, Suchitra Jana yang berusia 28 tahun, bersama dengan keluarganya, pindah ke tempat penampungan pemerintah, bersama dengan 800-an orang lainnya yang mengungsi di kamp tersebut.
Meskipun Jana tinggal di tempat penampungan yang sempit dan kumuh itu hanya selama 20 hari, penderitaannya berlangsung selama berbulan-bulan. Setelah bencana topan itu, Jana mengetahui bahwa dia mengalami infeksi pada organ vital reproduksinya (vagina).
"Infeksi itu berlangsung selama 6-7 bulan. Saya merasakan sensasi terbakar yang luar biasa, bau yang menyengat dan sangat tidak nyaman," kata Jana.
Tempat penampungan yang disediakan oleh pemerintah itu hanya memiliki empat bilik toilet untuk ratusan orang yang berlindung dari angin topan. Baik pria maupun perempuan menggunakan toilet yang sama.
"Kami harus mengantre berjam-jam untuk dapat menggunakan toilet yang sangat kotor itu," tutur Jana, seraya menambahkan bahwa akses terhadap air bersih merupakan masalah besar karena "hanya ada satu sumur untuk semua orang di tempat penampungan itu."
Perempuan Asia: Jiwa dan Raga
16:13
Saat mengalami menstruasi, Jana harus menggunakan kain selama berhari-hari, karena dia tidak dapat menemukan pembalut. Selain itu, tidak ada tempat untuk mencuci atau mengeringkan pakaian yang layak di kamp penampungan.
"Kami biasanya mengantre hanya untuk mendapatkan air dan menggunakan toilet. Itu saja bisa menghabiskan waktu berjam-jam," tambah Jana.
Ketika obat-obatan yang diresepkan di rumah sakit wilayah Praganas Selatan tidak lagi dapat membantu Jana selama berbulan-bulan, dia terpaksa harus berkonsultasi dengan para dokter di ibukota negara bagian, Kolkata. Perjalanan yang memaksanya harus menghabiskan enam jam perjalanan untuk menyeberangi beberapa sungai.
Seperti halnya Jana, Mamu Das yang berusia 32 tahun, warga distrik Nagaon di Assam, juga mengalami kondisi fasilitas sanitasi yang tidak memadai dan akses yang buruk terhadap produk-produk menstruasi, saat banjir melanda beberapa distrik di negara bagian Assam tahun lalu.
Akibat bencana banjir itu, keluarga Das kehilangan mata pencaharian, yang juga berdampak pada kemampuan finansial untuk membeli pembalut. "Saya biasa mengambil pembalut dari pemilik toko sebagai bentuk pinjaman [yang akan dibayar nanti]."
Inovasi Pembalut Ramah Lingkungan
04:05
This browser does not support the video element.
Kesehatan menstruasi selama bencana alam
Bencana alam seperti banjir dan angin topan telah menyebabkan pengungsi dalam skala besar, termasuk perempuan yang kesehatan menstruasinya terabaikan selama bencana terjadi.
"Di kamp-kamp kesehatan selama bencana alam, penyakit kronis menjadi prioritas sehingga perempuan biasanya tidak mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan menstruasi mereka," ujar Sobhan Mukherjee, seorang aktivis kesehatan menstruasi.
Sedangkan, banyak perempuan harus menghadapi berbagai tantangan di kamp penampungan, seperti akses menggunakan toilet, mendapatkan pembalut, peningkatan risiko infeksi organ reproduksi, dan lain-lain.
"Karena stres akibat bencana, siklus menstruasi perempuan juga berhenti secara tiba-tiba. Kadang-kadang, banyak perempuan akhirnya melewatkan siklus menstruasi selama berbulan-bulan," kata Dr. Basab Mukherjee, wakil presiden dari Bengal Obstetric & Gynaecological Society.
"Tingkat infeksi saluran kemih, infeksi vagina, dan lain-lain, umumnya meningkat setelah bencana alam seperti angin topan dan banjir terjadi, karena perempuan tidak dapat menjaga kebersihan menstruasi mereka dengan baik," terang Mukherjee kepada tim DW.
Perubahan iklim juga dapat meningkatkan risiko pergeseran waktu Menarke atau siklus menstruasi pertama bagi perempuan, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal internasional Riset Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat.
Tahun 2022: Krisis Iklim Melanda Seluruh Dunia
Tahun 2022 seluruh dunia dilanda cuaca panas yang ekstrem, kekeringan, kebakaran, badai dan banjir yang terkait dengan perubahan iklim. Berikut sejumlah peristiwa cuaca yang terjadi tahun 2022.
Foto: Peter Dejong/AP Photo/picture alliance
Eropa: Lebih panas dan lebih kering dari sebelumnya
Musim panas di Eropa ditandai cuaca panas ekstrem dan kekeringan terburuk dalam 500 tahun. Lebih 500 orang tewas akibat gelombang panas di Spanyol, dengan suhu hingga 45 derajat Celsius. Di Inggris, cuaca panas juga mencapai lebih 40 derajat Celsius. Sebagian benua Eropa jadi wilayah paling kering selama lebih dari satu milenium, sehingga banyak daerah terpaksa menjatah air.
Foto: Thomas Coex/AFP
Kebakaran hutan melanda seluruh Eropa
Mulai dari Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, Siprus, hingga Siberia, dilanda kebakaran hutan. Bencana itu telah menghanguskan 660.000 hektar lahan pada pertengahan tahun 2022 — kebakaran terbesar sejak pencatatan iklim dimulai pada tahun 2006.
Hujan monsun yang ekstrem menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan. Banjir itu menewaskan lebih dari 1.100 orang, menyebabkan 33 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan memicu penyebaran penyakit. Hujan lebat juga melanda Afganistan. Banjir besar menghancurkan ribuan hektare lahan, memperburuk bencana kelaparan yang sudah akut di negara itu.
Foto: Stringer/REUTERS
Gelombang panas ekstrem dan topan terjang Asia
Sebelum dilanda banjir, Afganistan, Pakistan, dan India alami panas dan kekeringan ekstrem. Cina juga alami kekeringan terburuk dalam 60 tahun dan gelombang panas terburuk sejak pencatatan dimulai. Awal musim gugur, 12 topan telah mengamuk di seluruh Cina. Badai besar juga melanda Filipina, Jepang, Korea Selatan, dan Bangladesh. Perubahan iklim membuat Intensitas badai semakin kuat.
Foto: Mark Schiefelbein/AP Photo/picture alliance
Krisis iklim memperburuk kondisi Afrika
Afrika memanas lebih cepat dibanding rata-rata global. Itu sebabnya benua ini secara tidak proporsional dilanda perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir. Somalia sedang menghadapi kekeringan terparah dalam 40 tahun. Krisis itu telah memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan kawasan mereka.
Foto: ZOHRA BENSEMRA/REUTERS
Bencana kelaparan di Afrika
Banjir dan kekeringan telah membuat pertanian dan peternakan praktis tidak mungkin dilakukan di beberapa bagian Afrika. Akibatnya, 20 juta orang mengalami kelaparan. Banyak yang meninggal karena kelaparan di Etiopia, Somalia, dan Kenya.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Kebakaran dan banjir di Amerika Utara
Badai dahsyat menerjang sejumlah negara bagian AS, seperti California, Nevada, dan Arizona. Gelombang panas menghanguskan ketiga negara bagian dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat Celsius di akhir musim panas. Sebaliknya, hujan lebat di awal musim panas menyebabkan banjir parah di Taman Nasional Yellowstone dan di negara bagian Kentucky.
Foto: DAVID SWANSON/REUTERS
Badai menghancurkan Amerika
Pada September lalu, Badai Ian menghancurkan Florida. Otoritas setempat menggambarkan kerusakan itu sebagai "peristiwa bersejarah." Sebelumnya, badai itu melewati Kuba, di mana penduduknya hidup tanpa listrik selama berhari-hari. Badai Fiona juga menjadi topan tropis terburuk yang melanda Kanada setelah pertama kali menghantam Amerika Latin dan Karibia, mengakibatkan kerusakan parah.
Foto: Giorgio Viera/AFP/Getty Images
Badai tropis dahsyat landa Amerika Tengah
Badai Fiona bukan satu-satunya badai yang melanda Amerika Tengah. Pada Oktober lalu, Badai Julia menghantam Kolombia, Venezuela, Nikaragua, Honduras, dan El Salvador, menyebabkan kehancuran yang meluas. Pemanasan global meningkatkan suhu permukaan laut yang memperkuat intensitas badai.
Foto: Matias Delacroix/AP Photo/picture alliance
Kekeringan ekstrem di Amerika Selatan
Kekeringan yang terus-menerus melanda hampir seluruh Amerika Selatan. Cile, mengalami merosotnya curah hujan ekstrem sejak 2007. Di banyak daerah, sungai-sungai menyusut antara 50 dan 90%. Meksiko juga hampir tidak pernah mengalami hujan selama beberapa tahun berturut-turut. Argentina, Brasil, Uruguay, Bolivia, Panama, sebagian Ekuador, dan Kolombia pun mengalami kekeringan.
Foto: IVAN ALVARADO/REUTERS
Selandia Baru dan Australia tenggelam
Curah hujan yang intens menyebabkan rangkaian banjir ekstrem di Australia. Antara Januari dan Maret, pantai timur negara itu menerima curah hujan sebanyak yang dialami Jerman dalam setahun. Selandia Baru tidak luput dari banjir. Fenomena cuaca La Nina berada di balik peristiwa ekstrem tersebut. Atmosfer yang lebih hangat menyerap lebih banyak air, membuat curah hujan lebih deras. (ha/as)
Foto: Jenny Evans/Getty Images
11 foto1 | 11
Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun lalu juga menyoroti "peristiwa cuaca ekstrem akibat perubahan iklim secara tidak proporsional memengaruhi perempuan dan anak perempuan serta kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari."
"Di masyarakat India, biasanya para perempuan ditinggalkan di zona-zona yang rentan terhadap perubahan iklim, karena kaum prianya pergi untuk mencari pekerjaan. Para perempuan itu harus berurusan dengan kegiatan logistik sehari-hari yang sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim," ujar Megha Desai dari Desai Foundation, sebuah LSM yang bekerja untuk kesetaraan menstruasi.
Iklan
Perubahan iklim yang harus disalahkan
Pada tahun 2020 dan 2021, banjir dan angin topan, yang dipengaruhi oleh musim hujan barat daya dan timur laut, merupakan penyebab utama jumlah pengungsi meningkat drastis.
Pesisir timur India juga menjadi sangat rentan terhadap siklon tropis, di mana dalam beberapa tahun terakhir ini, badai-badai itu terus tumbuh menjadi semakin kuat. Para ilmuwan bahkan memperingatkan bahwa alasan di balik meningkatnya intensitas bencana ini adalah karena perubahan iklim.
Akankah Peningkatan Suhu Lampaui Batas 1,5 Derajat pada 2026?
Pakar iklim PBB mengungkap hal yang dikhawatirkan akan jadi kenyataan. Penelitian menunjukkan suhu rata-rata global akan meningkat di atas 1,5 derajat Celsius dalam empat tahun ke depan.
Foto: Adrees Latif/REUTERS
Maraknya kebakaran hutan
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB mengungkap adanya kemungkinan sekitar 50% dalam lima tahun ke depan akan terjadi peningkatan suhu 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Kebakaran hutan, misalnya seperti di Taman Nasional Plumas California pada tahun 2021, dapat terjadi.
Foto: David Swanson/REUTERS
Cuaca ekstrem
Menurut Sekjen WMO Petteri Taalas, penelitian terbaru menunjukkan peningkatan suhu melebihi batas 1,5 derajat Celsius, yang ditetapkan sebagai batas maksimal pada perjanjian Paris. Hal ini dapat mengakibatkan cuaca ekstrem, contohnya banjir akibat hujan deras di kota Zhengzhou di Cina pada 2021.
Foto: Aly Song/REUTERS
Kerusakan ekosistem
Di tahun 2015 silam, para pemimpin dunia setuju untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celsius, saat itu tidak diprediksi bahwa perubahan iklim akan terjadi begitu cepat. Dampaknya terlihat pada kerusakan ekosistem. Misalnya Laut Marmara di Turki yang sudah tercemar oleh air limbah, setidaknya 60% spesies hewan dilaporkan menghilang.
Foto: Umit Bektas/REUTERS
Gletser dan lapisan es mencair
Taalas mengkhawatirkan suhu panas luar biasa yang terjadi di Arktik. Dia mencontohkan, melelehnya gletser Jakobshavn di Greenland hingga menyebabkan sejumlah bongkahan es terbuang ke laut dari tahun 2000 hingga 2010. Hal ini menyebabkan kenaikan permukaan laut setinggi 1 milimeter. “Apa yang terjadi di Arktik berdampak pada kita semua,” kata Taalas.
Foto: Hannibal Hanschke/REUTERS
Dampak fatal
Umat manusia akan dipaksa untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem, misalnya Badai Ida di tahun 2021 yang menghancurkan rumah milik Theophilus Charles di Louisiana (dalam gambar). Taalas memperingatkan bahwa batas 1,5 derajat Celsius tidak ditetapkan secara sembarangan. Nilai itu menandai dampak perubahan iklim jadi berbahaya bagi umat manusia dan Bumi.
Foto: Adrees Latif/REUTERS
Kemungkinan buruk bagi perlindungan iklim
Para pengamat lingkungan sangat mengkhawatirkan perkembangan perubahan iklim, meskipun banyak penduduk Eropa yang fokus dengan perang di Ukraina. Apa pun yang terjadi di Eropa timur, darurat iklim masih akan terus berlangsung bagi umat manusia. (mh/vlz)
Foto: Christoph Hardt/Geisler-Fotopres/picture alliance
6 foto1 | 6
Topan Amphan yang menghantam garis pantai timur India sebagai topan kategori 5, telah memicu evakuasi lebih dari 2,4 juta warga India, menurut laporan tahun 2021 dari Pusat Pemantauan Pengungsi Internal yang berbasis di Jenewa, Swiss.
Topan Amphan juga telah menyebabkan hampir lima juta orang mengungsi di Bangladesh, India, Myanmar, bahkan Bhutan pada bulan Mei tahun 2020 silam, menjadikannya sebagai peristiwa pengungsian akibat bencana alam terbesar secara global.
"Dengan meningkatnya suhu global, kapasitas atmosfer untuk menahan kelembapan juga meningkat, sehingga topan dapat mempertahankan energinya dalam waktu yang lebih lama," kata Uma Charan Mohanty, seorang ahli meteorologi dan profesor emeritus di Sekolah Ilmu Bumi, Kelautan dan Iklim di Institut Teknologi India, kepada tim DW.
Wilayah Assam yang juga rentan terhadap bencana banjir, memiliki setidaknya 15 distrik paling rentan terhadap iklim di India.
"Kami juga melihat pola curah hujan yang tidak menentu akibat kenaikan suhu global yang menjadi penyebab bencana banjir sering terjadi," tambah Mohanty. (kp/yf)