1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Dampak Reformasi Ketenagakerjaan Qatar pada Pekerja Migran

2 Oktober 2020

Qatar lakukan reformasi ketenagakerjaan. DW berbicara dengan seorang buruh asal Pakistan tentang langkah-langkah mereformasi sistem ketenagakerjaan ini.

Pekerja migran di Qatar
Potret pekerja migran di Doha, QatarFoto: picture-alliance/dpa

Seorang pekerja asal Pakistan, Ali Asghar kembali ke negaranya pada 11 September lalu setelah empat tahun bekerja di Qatar. Pria berusia 39 tahun itu merupakan salah satu dari total dua juta tenaga kerja asing yang berusaha mencari nafkah Qatar. Asghar mengatakan kepada DW bahwa ia harus bekerja tanpa dibayar selama beberapa bulan.

"Saya menganggur selama dua tahun di Doha dan tinggal bersama teman-teman saya. Kembali ke Pakistan bukanlah pilihan, karena situasi ekonomi di sana buruk," kata Asghar. "Tetapi keadaan juga tidak mudah di Qatar. Majikan saya tidak memberikan gaji selama beberapa bulan. Saya dan pekerja lainnya bekerja di lokasi konstruksi yang kondisinya sangat buruk," tambah Asghar.

Sistem "kafala" diyakini menjadi alasan utama di balik eksploitasi pekerja di banyak negara Arab. Pekerja migran tidak terampil harus memiliki sponsor (biasanya majikan mereka di negara tuan rumah) untuk mengurus visa dan status hukum mereka.

Organisasi hak asasi manusia telah lama menyuarakan kritik dan mengatakan bahwa sistem tersebut mengarah pada eksploitasi pekerja. Ada beberapa laporan yang menyebutkan bahwa sejumlah majikan merampas paspor dan memaksa mereka untuk tetap bekerja.

Namun secara mengejutkan, pemerintah Qatar pada Agustus lalu membatalkan sistem kafala.

"Kami menyambut baik keputusan bersejarah ini, menghapus sistem kafala bagi pekerja asing di Qatar merupakan pencapaian besar bagi hak-hak pekerja dan masyarakat Qatar secara keseluruhan, bergerak menuju lingkungan kerja yang lebih dinamis dan non-diskriminatif di negara tersebut," kata anggota Parlemen Eropa.

Kabar penyejuk mata?

Asghar tidak terlalu optimis atas keputusan tersebut. Ia mengatakan kepada DW, bahwa eksploitasi pekerja di Qatar kemungkinan akan terus berlanjut dalam bentuk lain. Selain itu, reformasi ketenagakerjaan tidak akan berlaku dalam waktu dekat, katanya.

"Para pekerja rentan mendapati diri mereka tidak berdaya di hadapan majikan. Saya pikir akan membutuhkan banyak waktu untuk melaksanakan reformasi ini," kata Asghar.

Reformasi baru di Qatar terjadi saat negara tersebut bersiap untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

"Menurut saya, keputusan ini hanya pencitraan kepada negara-negara lain sebelum Piala Dunia dimulai," ucap Asghar.

Pria yang berasal dari kota Rawalpindi, Pakistan itu mengatakan sebagian besar pekerja migran di Qatar tidak tahu banyak tentang reformasi ketenagakerjaan. “Mayoritas pekerja dari negara-negara Asia Selatan buta huruf. Mereka membutuhkan lebih banyak pengetahuan akan hukum ini dan hak-hak mereka. Mereka masih takut dengan 'kafeels' (majikan),” kata Asghar.

Pada 2017, Human Rights Watch (HRW) mendesak Doha mengambil tindakan untuk melindungi pekerja konstruksi yang bekerja di suhu panas, yang mengakibatkan kematian ratusan pekerja.

Berusaha menggambarkan cobaan yang dihadapinya di Qatar, Asghar menceritakan bahwa para pekerja migran dipaksa bekerja meski mereka sakit. “Jika seorang pekerja memilih untuk tidak bekerja pada hari tertentu, maka majikan mengancam akan memecatnya,” ujarnya.

Terlepas dari kekhawatiran Asghar, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memuji pencabutan sistem kafala.
ILO juga telah mendesak otoritas Qatar untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja migran, termasuk menetapkan upah minimum 1.000 riyal Qatar (Rp 4 juta), tunjangan makanan dan akomodasi yang harus ditanggung majikan.

Harapan reformasi diikuti negara-negara Arab lainnya

Reformasi ketenagakerjaan Qatar menjadi kebijakan pertama yang diambil di kawasan Timur Tengah. Kelompok hak asasi yakin reformasi ini akan mendorong negara Teluk lainnya untuk mengikuti langkah Qatar.

"Eksploitasi pekerja di negara-negara Arab cukup sistematis. Eksploitasi terburuk ada di Arab Saudi. Buruh menjadi sasaran penyiksaan, kurungan, penyitaan paspor dan penganiayaan fisik di beberapa negara Arab," kata Hiba Zayadin, seorang peneliti Teluk untuk HRW.

Mustafa Qadri, kepala perusahaan konsultan hak-hak buruh Equidem Research mengatakan bahwa eksploitasi pekerja masih banyak terjadi di banyak negara Teluk.

"Reformasi baru di Qatar cukup signifikan. Baik Arab Saudi maupun Uni Emirat Arab (UEA) tidak berhasil mengambil langkah seperti itu, mereka juga tidak menunjukkan kesediaan untuk melakukannya dalam waktu dekat," tegasnya. (ha/yf )

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait