1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Dapat Uang Tambahan dari Daur Ulang Sampah lewat Aplikasi

Arti Ekawati
31 Maret 2022

Saat ini aplikasi daur ulang sampah Octopus Indonesia sudah diunduh 100.000 kali. Mereka punya target untuk berekspansi ke negara lain seperti Vietnam, Singapura, juga ke Hongkong.

Salah satu pengumpul sampah yang bekerja sama dengan perusahaan start-up Octopus Indonesia
Salah satu pengumpul sampah yang bekerja sama dengan perusahaan start-up Octopus IndonesiaFoto: Musawwir Muhtar

Dalam Konferensi Global Solutions yang digelar di ibu kota Jerman yakni Berlin pada 28-29 Maret lalu, ada ajang pembagian penghargaan yang menyita perhatian. Sejumlah anak muda berusia antara 18 hingga 35 tahun dari berbagai negara terpilih menjadi calon penerima penghargaan Young Global Changers Recoupling Awards 2022.

Recoupling atau menghubungkan aktivitas ekonomi dengan orientasi kesejahteraan sosial dan kepedulian lingkungan memang menjadi konsep yang saat ini tengah banyak dibahas. Salah satu di antara para finalis Recoupling Awards itu adalah Musawwir Muhtar dari Octopus Indonesia, yakni aplikasi yang menghubungkan pengguna di tingkatan rumah tangga, dengan sekitar 9.000 pemulung sampah dan industri daur ulang limbah plastik dan limbah rumah tangga.

Lewat aplikasi ini, Musawwir dan rekan-rekannya ingin menyederhanakan rantai pengumpulan sampah dari para pengguna hingga akhirnya bisa didaur ulang oleh industri pendaurulangan sampah. Ia pun berharap para pengguna di tingkatan rumah tangga bisa mendapat uang tambahan dari mendaur ulang sampah mereka, dan pemulung pun bisa memperoleh pendapatan yang lebih layak.

Kepada DW Indonesia, pemuda kelahiran 8 Desember 1992 di Maros, Sulawesi Selatan, ini bercerita awal mula pendirian start-up tersebut dan impiannya di masa depan.

DW Indonesia: Bisa ceritakan awal inspirasi berdirinya Octopus Indonesia?

Musawwir Muhtar: Awalnya kita berempat di tahun 2019 bertemu tepatnya di Makassar karena di sana produksi sampah perhari cukup besar yakni 1.200 ton sampah dan 40%-nya itu adalah sampah plastik yang kebanyakan besar berasal dari sampah rumah tangga. Dari sana kita lalu melakukan interview mendalam ke pemulung-pemulung di sekitar sana, dengan para pengepul juga. Ternyata untuk pemulungnya sendiri rantai tata niaganya untuk sampai di industri daur ulang itu cukup panjang jadi mereka dapat harga cukup rendah karena pemulung harus menjualnya ke pengepul kecil, ke pengepul sedang, lalu ke pengepul besar baru ke recycling industry

Musawwir Muhtar dari Octopus Indonesia di Global Solution Summit 2022 di Berlin, JermanFoto: Ekawati A./DW

Jadi ada beberapa value chain yang panjang karena 'kan sekelas perusahaan daur ulang itu tidak bisa ambil langsung dari pemulung karena mereka ada requirement quantity misalnya 200 ton perhari. Jadi mau tidak mau si pemulung ini harus jual dengan proses panjang dan untungnya kecil. Belum lagi mereka terekspos dengan hal-hal yang berbahaya karena langsung ke TPA (tempat pembuangan akhir), melakukan pemilihan sampah dengan peralatan seadanya.

Di situ kita berpikir bagaimana kalau kita permudah proses ini jadi instead of meniadakan faktor yang sudah bermain, kita coba libatkan mereka, kita rangkul semuanya jadi semua bisa dapat keuntungan maksimal dari proses ini

Hingga akhirnya terbentuk aplikasi Octopus Indonesia?

Tahun 2020 awal bulan Januari kita lakukan pilot project di Makasar juga kita coba lakukan tes produk kita dengan aplikasi di 1000 pengguna yang sudah download aplikasinya waktu itu. Lalu karena ada respon baik dari masyarakat, kita juga mencoba lakukan berbagai pendekatan seperti sistem redemption (penebusan).

Jadi mereka memanggil Octopus untuk datang mengumpulkan sampahnya dan mereka dapat poin yang bisa dijadikan uang kas atau bisa juga jadi voucher belanja di tempat yang kita juga sudah kerja sama dengan perusahaan kecil dan menengah lokal. Jadi ekonominya bisa terjadi perputaran, pengguna yang melakukan recycle mereka dapat poin dan bisa membelajakannya ke toko yang bekerja sama dengan kami.

Salah satu pengepul atau check point yang bekerja sama dengan Octopus yakni Ibu Debby. Dikutip dari akun Instagram Octopus Indonesia, Bu Debby mengatakan bahwa tiap kemasan yang masuk ke check point miliknya adalah berkat.Foto: Musawwir Muhtar

Di Octopus ada tiga main stakeholders pertama pemulung, kedua waste bank atau bank sampah, kalau di Octopus kita sebut sebagai check point dan users, jadi ada 3 aplikasi yang digunakan oleh 3 stakeholders ini.

Kita lebih mau mempermudah tiap stakeholder yang gabung ke kita dan mereka tetap independen. Jadi cukup sederhana, pelestari (pengumpul sampah) mendapatkan order dari aplikasinya dan melakukan konfirmasi penjemputan lalu menjemput barang dari user. Lalu pelestarinya menjualnya ke check point. 

Sudah ada berapa pengguna aplikasi sejauh ini?

Kalau untuk aplikasi kita sudah 100.000 pengguna di 4 provinsi termasuk Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Barat dan sekarang DKI Jakarta. Kotanya ada 9 kota antara lain di Makassar, Badung, Denpasar, dan Tabanan. Untuk bisa sampai 100.000 aplikasi ini sudah lumayan tapi kita perlu proses edukasi ke pengguna karena daily active users itu belum sampai 50% dari yang download, Jadi kita mau lebih banyak lagi retention atau pengulangan dari yang sudah pakai atau yang sudah download kembali pakai lagi. Lebih mengedukasi pengguna agar lebih sadar lagi terhadap isu daur ulang. 

Apa saja tantangannya?

Terutama tantangannya yaitu di awal-awal ke pemulung karena mereka komunitas rentan dan belum cukup well-educated untuk menggunakan aplikasi. Namun seiring berjalannya waktu kita adakan sistem pendampingan juga dengan kita mempekerjakan anak-anak muda untuk mendampingi mereka. Akhirnya walaupun mereka golongan menengah ke bawah tetapi kemudian bisa beradaptasi dengan teknologi. Karena yang sebenarnya dicari adalah bagaimana bisa dapat keuntungan dan bekerja yang lebih layak. Jadi kita jadikan pemulung yang dari sektor informal itu kita kasih seperti rompi, sarung tangan, jadi lebih rapi.

Apa target ke depannya?

Seiring dengan kita sudah ekspansi ke 9 kota di Indonesia ada beberapa prospek dari investor untuk eskalate aplikasi kita ke Asia Tenggara khususnya di Hongkong, Vietnam lalu Singapura. Saat ini progresnya baru pembicaraan awal dengan investornya dan memetakan stakeholder di setiap kota di sana.

Menurut Anda, apa ukuran sukses dari start-up ini?

Kalau dari kita, kita mau mebih banyak lagi masyarakat yang menggunakan aplikasi ini, karena aplikasi kita bukan cuma dipakai untuk recycle tapi kebih ke memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang isu daur ulang. Selain itu kita juga ingin meningkatkan rasio daur ulang secara keseluruhan. Sekarang angka tingkat daur ulang di Indonesia masih di kisaran 10%. Kita mau dengan adanya Octopus dan digunakannya aplikasi kita, tingkat daur ulang di Indonesia di angka 20% setidaknya di tahun 2023.

Selain itu, yang jadi salah satu indikator sukses adalah semakin banyaknya orang yang pakai aplikasi Octopus, setidaknya bisa 500 ribu di tahun 2024 targetnya dan daily active users di atas 50%. Ini target biasa. Target ambisiusnya kita sudah bisa beroperasi di Asia Tenggara. (ae/yp)

Wawancara untuk DW Indonesia oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait