1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Dapatkah Gencatan Senjata di Myanmar Tercapai?

26 Januari 2024

Inisiasi Cina untuk gencatan senjata antara junta militer dan oposisi tidak dapat menyelesaikan konflik di Myanmar. Negara itu berada dalam kekacauan sejak kudeta militer pada Februari 2021.

Seorang pria di depan rumahnya yang hancur akibat serangan udara di  Laiza, Myanmar
Myanmar telah dilanda konflik selama hampir tiga tahunFoto: AP Photo/picture alliance

Gencatan senjata yang baru-baru ini digagas Cina antara kelompok oposisi bersenjata Myanmar dan militer yang berkuasa tidak berarti konflik akan berhenti, ungkap para analis.

Kelompok oposisi, yakni Aliansi Tiga Persaudaraan yang adalah sebuah aliansi antara Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang adalah yang terbesar. Aliansi yang dibentuk pada Juni 2019 dan didukung oleh pemerintah serta pasukan pertahanan pro-demokrasi yang dipimpin oleh warga sipil ini menjadi ancaman bagi junta Myanmar sejak kudeta hampir tiga tahun lalu.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak Jenderal Min Aung Hlaing dan pasukan militernya menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis pada Februari 2021. Kudeta tersebut memicu konflik bersenjata antara Pemerintah Persatuan Nasional yang dipimpin sipil, pasukan pertahanan rakyat, dan kelompok etnis bersenjata.

Anggota Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) seperti yang terlihat di foto, sedang berada di bagian utara negara itu setelah bentrokanterjadi di negara bagian Shan bagian utara tahun laluFoto: Handout/Kokang Information Network/AFP

Operasi 1027

Konflik tersebut dipandang sebagai perang gesekan hingga terjadi serangan besar-besaran yang dimulai dengan Operasi 1027 pada Oktober, dengan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) dan Tentara Arakan (AA) dari Myanmar. Tujuan mereka adalah menghapus kekuasaan militer di wilayah yang disengketakan, dan dalam hampir tiga bulan, puluhan kota kecil dan ratusan pangkalan militer yang dikuasai junta telah direbut. Serangan tersebut juga telah menyebar ke wilayah dan negara bagian lain di Myanmar.

Kyaw Hsan Hlaing, seorang analis politik dari Myanmar. mengatakan serangan baru-baru ini telah memotivasi kelompok-kelompok yang berlawanan di seluruh negeri untuk melakukan perlawanan.

"Keberhasilan Operasi 1027 telah menjadi tonggak sejarah bagi perlawanan dan perang saudara di Myanmar, menandai pencapaian besar dalam merobohkan beberapa kota. Prestasi ini telah memotivasi kelompok perlawanan besar lainnya di seluruh negeri,” katanya.

Salah satu keberhasilan terbesar dari serangan pemberontak sejauh ini adalah perebutan Laukkai, ibu kota Zona Administrasi Mandiri Kokang, yang berada di sepanjang perbatasan Myanmar-Cina, tempat MNDAA mengklaim kendali atas kota tersebut awal bulan ini.

Konflik di kawasan ini menarik perhatian Cina karena berdampak gangguan perdagangan dan peningkatan pengungsi di perbatasannya dengan Myanmar. Beijing telah dua kali gagal menjadi perantara gencatan senjata untuk mengurangi risiko lebih lanjut.

Namun, awal bulan ini, Kementerian Luar Negeri Cina mengonfirmasi bahwa perundingan perdamaian telah dilakukan antara aliansi dan perwakilan junta di Kunming, sebuah kota di Cina. Hasilnya "gencatan senjata segera” telah disepakati untuk menghentikan pertempuran di lokasi tertentu.

Gencatan senjata tidak dipatuhi

Hlaing mengatakan meskipun ada gencatan senjata dan upaya gencatan senjata sebelumnya, hal ini belum sepenuhnya menghentikan pertempuran.

"Saya pikir gencatan senjata saat ini tidak akan menandai berakhirnya perang antara aliansi dan pasukan junta,” katanya kepada DW. "Namun, perang mungkin akan berhenti di wilayah Kokang untuk sementara waktu. Sebelum gencatan senjata saat ini antara aliansi dan pasukan junta, mereka mengadakan setidaknya dua pertemuan yang ditengahi oleh Cina, tetapi tidak ada hasil yang dicapai. Aliansi terus berperang hingga mencapai tujuan mereka. tujuan militer, terutama perebutan penuh Laukkai."

Gencatan senjata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya menurut pernyataan dari Aliansi Tiga Persaudaraan. Hanya beberapa hari setelah gencatan senjata disepakati, pasukan militer Myanmar diduga menembakkan granat ke arah pasukan aliansi di Kachin, sehingga mendorong pasukan oposisi membalas tembakan.

Waktu yang buruk untuk gencatan senjata

Bagi kelompok oposisi, pertempuran masih akan terus berlanjut, dan opsi gencatan senjata dinilai terjadi di waktu yang salah. Para pendukung anti-junta berharap berkurangnya kendali militer secara nasional, dan kekalahan junta akan mendorong pemberontakan meluas ke kota-kota utama di Myanmar. Dengan adanya gencatan senjata, masih ada pertanyaan apakah momentum ini akan terus berlanjut.

Namun David Scott Mathieson, seorang analis Myanmar, mengatakan gencatan senjata tidak akan menentukan strategi aliansi oposisi ke depannya.

"Saya kira tidak… sejauh ini perjanjian tersebut tidak berarti banyak, dan harus dipandang sebagai perjanjian lemah yang hanya memberikan kepura-puraan untuk melakukan perundingan damai,” katanya kepada DW.

"Saya pikir tidak mungkin untuk memprediksi ke mana arah konflik, meskipun patut dipertimbangkan bahwa setiap perubahan momentum yang dilakukan oleh [Aliansi Tiga Persaudaraan] akan ditentukan oleh berbagai strategi mereka, bukan melalui tekanan dari luar.”

PBB mengatakan jumlah pengungsi akibat konflik ini secara keseluruhan melebihi dua juta orang sejak kudeta pada Februari 2021. Hampir 4.400 orang telah dibunuh oleh militer dan lebih dari 25.000 orang ditangkap, menurut kelompok hak asasi manusia itu. (rs/pkp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!