1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanEropa

Dapatkah Inggris Jadi Panutan untuk Pelarangan Merokok?

22 April 2024

Inggris berencana larang penjualan produk tembakau kepada mereka yang lahir setelah tahun 2009. Negara-negara lain juga membatasi penjualan rokok dan produk tembakau.

Seorang laki-laki mematahkan sebatang rokok
Ilustrasi larangan merokokFoto: R. Ben-Ari/abaca/picture alliance

Menurut pemerintah, jika usulan undang-undang tersebut disahkan di Inggris, untuk pertama kalinya seluruh generasi diharapkan akan tetap bebas rokok. Hal ini karena siapa pun yang lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, yaitu yang kini berusia 15 tahun atau lebih muda, tidak boleh lagi membeli produk tembakau secara legal di Inggris seumur hidup.

Larangan merokok kepada sebuah generasi sebelumnya direncanakan di Selandia Baru. Namun, Perdana Menteri baru dari Partai Konservatif Christopher Luxon membatalkan undang-undang ini pada November 2023, bahkan sebelum undang-undang tersebut berlaku.

Larangan tembakau yang kini direncanakan di Inggris menyebabkan perdebatan sengit tidak hanya di dalam negeri namun juga secara internasional. Bagi sebagian orang, manfaat kesehatan dan bantuan sosialnya memang akan lebih dominan. Namun ada pula yang merasa terlalu dikekang dan kebebasan individunya terancam.

Larangan total merokok dinilai tidak efektif

Di Jerman, di mana ganja baru saja dilegalkan, komisioner pemerintah federal terkait obat-obatan terlarang, Burkhard Blienert, mengatakan bahwa negara-negara lain dapat mengikuti contoh dan mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap konsumsi tembakau.

Namun Menteri Kehakiman Federal Marco Buschmann (FDP), justru berpendapat sebaliknya. Ia menentang larangan merokok seperti di Inggris Raya. Dia berpendapat "bahwa kita tidak boleh mensosialisasikan individu sedemikian rupa sehingga pada titik tertentu setiap keputusan sehari-hari ditentukan oleh negara dan politik."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Bernd Werse, salah satu pendiri dan kepala Pusat Penelitian Obat-obatan dan Universitas Goethe di Frankfurt am Main, berpendapat serupa. "Bagi saya, ini terdengar seperti Larangan 2.0. Saya pikir larangan total seperti itu problematik dan tidak terlalu menjanjikan hasil tertentu."

Tidak hanya tentang tembakau. Terkait zat-zat lain, masyarakat semakin cenderung menyimpulkan bahwa kebijakan pelarangan tidak banyak manfaatnya. Obat-obatan terlarang tetap dikonsumsi, baik legal maupun tidak.

"Jika tembakau tidak lagi tersedia secara bebas di Inggris, hal ini mungkin menghalangi sebagian orang untuk mulai merokok,” prediksi sosiolog Werse. "Tetapi sebenarnya tidak sulit mendapatkan rokok dan lain-lain secara ilegal, terutama jika rokok tersebut masih legal untuk orang lanjut usia dan tersedia secara bebas di negara-negara tetangga.”

Epidemi tembakau

Werse juga tidak melihat adanya kontradiksi antara pengetatan peraturan untuk tembakau dan pelonggaran beberapa zat yang sebelumnya ilegal, seperti ganja di beberapa negara atau obat-obatan keras di Kanada.

"Bagi saya itu bukan sebuah kontradiksi karena situasi awalnya benar-benar berbeda." Meskipun alkohol dan rokok biasanya tersedia dan dapat dikonsumsi di mana saja, bahkan iklan diperbolehkan sampai batas tertentu dan tidak ada batasan jumlah yang diizinkan, jual-beli obat-obatan terlarang dapat dipidana.

Ia juga berpendapat bahwa pada prinsipnya, memperketat peredaran tembakau masuk akal. Merokok sudah sangat meluas dan berbahaya bagi kesehatan.  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut terjadinya "epidemi tembakau." Delapan juta orang meninggal karena merokok setiap tahunnya, dan 1,3 juta di antaranya adalah perokok pasif.

"Ini tidak lagi ada hubungannya dengan keinginan bebas atau kesenangan," ujar Werse.

Rokok, masalah kesehatan yang mahal

Salah satu orang yang sangat memahami sisi gelap konsumsi tembakau adalah Karin Vitzthum, Kepala Institut Vivantes untuk Penghentian Tembakau dan Pencegahan Merokok di Berlin.

"Jika ada 100 perokok, 90 akan menjadi kecanduan. Awalnya mereka mungkin hanya ingin menjadi perokok sosial, tapi tidak berhasil, mereka pun merokok 20 batang sehari atau lebih. Dengan alkohol, yang terjadi adalah sebaliknya. Sekitar 10 dari 100 orang yang akan kecanduan dan tidak dapat berhenti. Sementara 90 orang dapat mengelolanya sampai batas tertentu dan hanya minum sesekali."

Psikolog tersebut menekankan bahwa ia tidak bermaksud mengabaikan alkohol, tapi ingin menggambarkan tingginya potensi kecanduan tembakau. "Ini tidak lagi ada hubungannya dengan keinginan untuk bebas atau kesenangan. Dalam banyak kasus, ini adalah gangguan kecanduan yang sulit untuk dihilangkan." 

Secara keseluruhan, bagi Vitzthum, merokok merupakan masalah sosial yang sangat besar dan adalah masalah kesehatan yang mahal. Karena itulah ia berpendapat bahwa undang-undang seperti yang berlaku di Inggris Raya dapat dibenarkan.

"Persyaratan untuk mengenakan sabuk pengaman, yang dianggap tidak masuk akal oleh banyak orang ketika diperkenalkan pada tahun 1970-an, saat ini tidak lagi dipertanyakan," menurut Vitzthum.

Pembatasan tembakau di berbagai negara

Selain larangan mutlak untuk generasi. Sejumlah negara juga menerapkan serangkaian tindakan untuk membuat merokok menjadi kurang menarik. Di Meksiko, misalnya, sejak pertengahan Januari 2023 terdapat larangan ketat terhadap merokok di seluruh tempat umum, termasuk taman, pantai, restoran, dan hotel.

Kanada juga menerapkan strategi nasional untuk mengurangi konsumsi tembakau di negaranya. Hal ini mencakup, antara lain, lebih banyak tawaran bantuan bagi para pecandu, kampanye pendidikan khusus untuk anak-anak dan remaja, serta peraturan yang lebih ketat terhadap produk tembakau. Langkah-langkah ini terbukti efektif dan tidak terlalu mengganggu hak dasar warga negara atas kebebasan bertindak.

Di Jerman, jumlah perokok dewasa muda jauh lebih sedikit dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Hal ini juga disebabkan oleh kebijakan-kebijakan seperti kenaikan harga, larangan penjualan kepada anak di bawah umur, dan pembatasan iklan. Namun belakangan, jumlah perokok di Jerman sedikit meningkat setelah wabah COVID-19 dan krisis yang terjadi. (ae/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait