Perang narkoba yang dilancarkan Presiden Joko Widodo tahun ini telah membuahkan 92 pembunuhan ekstra yudisial. Pemerintah semakin sulit menggunakan kredo darurat narkoba sebagai pembenaran.
Seperti yang dilaporkan Vice News, polisi sejauh ini telah membunuh 92 tersangka pengedar narkoba. Padahal hingga Juli silam angka kematian dalam perang narkoba yang dilancarkan Jokowi baru berjumlah 55 orang. Vice News mencatat hingga November tahun lalu polisi hanya menewaskan 18 tersangka pengedar narkoba.
Data tersebut membuktikan ucapan sang presiden ditanggapi serius oleh aparat kepolisian. Istana Negara selama ini menggunakan dalih darurat narkoba untuk membenarkan pembunuhan ekstra yudisial oleh polisi. "Karena betul-betul kita ini ada pada posisi yang darurat di dalam urusan narkoba," ujar Jokowi, Juli lalu.
Ia mendukung kebijakan garis keras yang dianut Kapolri Tito Karnavian dan Kepala Badan Narkotika Nasional Budi Waseso dalam menanggulangi peredaran obat terlarang.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Sejak awal menduduki RI-1, Jokowi menetapkan penanggulangan narkoba sebagai agenda utama. Ia sejauh ini telah memerintahkan eksekusi mati terhadap 18 terpidana narkoba kelas berat.
Setelah mendapat tekanan besar, pemerintah akhirnya menangguhkan eksekusi terhadap 30 terpidana mati lainnya. Kementerian Hukum dan Ham juga mengkaji opsi pengampunan bersyarat yang menukar hukuman mati dengan penjara seumur hidup.
Namun jika menyimak angka penyalahgunaan narkoba, sejauh ini belum ada indikasi kebijakan garis keras yang dijalankan Jokowi membuahkan hasil. Jika angka pengguna narkoba berkisar 5,1 juta orang pada 2013 silam, tahun ini BNN mencatat kenaikan signifikan menjadi 6 juta orang.
Kepada Vice News, pemerhati HAM dari Amnesty Internasional, Bramantya Basuki menilai kepolisian tidak memiliki alasan yang jelas untuk membenarkan pembunuhan di luar pengadilan tersebut. "Apa yang pasti polisi tidak bisa menjawab pertanyaan dari warga sipil atau intelektual tentang kenapa angka pembunuhan tersangka pengedar narkoba sedemikian tinggi," ujarnya.
"Polisi hanya mengatakan apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur. Tidak ada jawaban lain."
Musim Panen Jagal Narkoba
Perang narkoba yang dilancarkan Presiden Filipina Duterte tidak cuma mencoreng wajah kepolisian, tapi juga mengubah warga biasa menjadi pembunuh bayaran. Inilah potret kejahatan kolektif sebuah bangsa
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Perang Kolektif Filipina
Presiden Rodrigo Duterte tidak berkelakar saat menyerukan warga sipil agar ikut membunuh pengedar dan pecandu narkoba. "Lakukan sendiri jika anda punya senjata. Anda mendapat dukungan penuh dari saya," tukasnya. Hasilnya Filipina mengalami glombang pembunuhan ekstra yudisial yang hingga kini telah menelan 3.600 korban jiwa. Dalam proyek berdarah itu, warga sipil sering berada di garda terdepan.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Hantu dari Davao City
Duterte banyak berkaca pada kebijakan berdarahnya melawan tindak kriminalitas selama menjabat sebagai walikota Davao City. Berulangkali ia sesumbar betapa kota berpenduduk terbanyak ketiga di Filipina itu kini menjadi salah satu kota teraman di dunia berkat kepemimpinannya. Klaim tersebut dipatahkan oleh berbagai data statistik kriminalitas. Namun Duterte tetap bersikukuh.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Halal Darah Pecandu
Kini tidak terhitung jumlah warga sipil Filipina yang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Setiap nyawa dihargai 430 Dollar AS atau sekitar 5,5 juta Rupiah. Biasanya pembunuh meninggalkan karton bertuliskan "bandar narkoba" pada tubuh korban. Menurut data kepolisian, saat ini sudah sekitar 2.200 terduga bandar atau pengguna narkoba tewas oleh pembunuh bayaran. Jumlahnya diyakini akan terus meningkat.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Ancam dan Dikecam
Kendati mengundang kecaman dunia, Duterte mendapat dukungan warga Filipina. Menurut jajak pendapat Pulse Asia, sebanyak 86% penduduk merasa puas atas kinerja sang presiden. Cuma tiga persen yang menanggap sebaliknya. Padahal Duterte mengancam akan memberlakukan hukum perang setelah dikritik oleh Mahkamah Agung dan mengingatkan jurnalis bahwa mereka tidak kebal terhadap pembunuhan
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Kesaksian Edgar
Jejak berdarah Duterte bisa ditelusuri hingga ke Davao City. Di sana pun ia membentuk skuad pembunuh yang terdiri atas preman, bekas narapidana, polisi dan pembunuh profesional. Salah seorang diantaranya baru-baru ini memberikan kesaksian di senat Filipina. Edgar Matobato mengklaim Duterte bahkan menembak mati pegawai Departemen Kehakiman karena menghalangi misi pembunuhan.
Foto: picture-alliance/dpa/M. R. Cristino
Maut di Akar Rumput
Untuk menyusun daftar sasaran kepolisian Filipina banyak mengandalkan peran administrasi desa atau Barangay. Mereka ditekan untuk menyerahkan nama-nama penduduk yang diduga mengkonsumsi atau menjual narkoba. Kepala Barangay yang tidak memberikan daftar mati dianggap terlibat bisnis narkoba dan terancam ikut dibunuh.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Rawan Penyalahgunaan
Biasanya daftar mati disusun oleh sebuah komite Barangay yang terdiri atas penduduk biasa. Namun kelompok HAM mengkhawatirkan sistem tersebut rawan penyelewengan. "Sistemnya sangat kondusif untuk mereka yang menyimpan dendam dan dipersenjatai untuk membunuhmu," ujar Komisioner di Komisi HAM Filipina, Karen Gomez-Dumpit.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Keadilan Semu
Buat banyak keluarga korban, mencari keadilan buat anggotanya yang terbunuh merupakan hal yang mustahil. Kebanyakan korban merupakan bandar kecil-kecilan, pecandu atau pesuruh yang berasal dari keluarga miskin. Mereka juga terancam mengalami presekusi atau dikucilkan dari masyarakat.