72 tahun sudah usia Indonesia dan yang Sjahrir khawatirkan masih terasa jelas. Fenomena anti-asing kian merajalela, terlebih setahun belakangan ini. Berikut opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Pertengahan tahun 1908 bukanlah masa-masa yang menyenangkan bagi Sutomo dan kawan-kawannya di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, STOVIA.
Aktivitas Sutomo di dalam Budi Utomo, organisasi yang belum lama ia dirikan, tidak disenangi oleh guru-guru Belandanya. Saya melihat saat itu Budi Utomo masih lebih terlihat sebagai komunitas pelajar Jawa daripada sebuah gerakan kebangsaan nasional, namun rupanya kegiatan tersebut sudah cukup subversif bagi guru-guru STOVIA dan mereka pun mempertimbangkan untuk mengeluarkan Sutomo.
Ini masalah besar bagi Budi Utomo. Mungkin jika Sutomo dikeluarkan dengan tidak hormat dari STOVIA, Budi Utomo yang saat itu sudah beranggotakan 650 orang di Batavia dan sekitarnya akan kehilangan arah kepemimpinan, dan nampaknya secara umum historiografi pergerakan kebangsaan Indonesia akan berbeda dari apa yang kita tahu sekarang. Untunglah direktur STOVIA sendiri, Hermanus Frederik Roll, turun gunung menanggapi masalah tersebut.
Dalam rapat memutuskan nasib Sutomo, ia berpendapat sekaligus menyindir ketidakpekaan kolega-koleganya terhadap semangat anak-anak didiknya: "Tidak adakah seorang pun di antara Anda sekalian yang hadir di sini yang seradikal Sutomo ketika Anda berumur delapan belas tahun?”, ujarnya.
Para guru terdiam dan akhirnya diputuskan bahwa Sutomo, beserta anggota Budi Utomo lainnya, tidak dikeluarkan. Kemenangan kecil ini berarti besar bagi Budi Utomo, yang seterusnya kian berkembang dan memicu kemunculan organisasi-organisasi pergerakan serupa di Hindia Belanda. Sutomo pun lulus dengan memuaskan. Selain menjadi tokoh pergerakan, priyayi asal Nganjuk, Jawa Timur, itu juga menjalani karir kedokteran yang menjanjikan.
Perlu diketahui, Roll adalah seorang Belanda totok dan berpengaruh dalam dunia kedokteran di Batavia kala itu. Ia bersimpati terhadap gerakan kebangsaan Indonesia pada saat gerakan itu masih berbentuk benih; mungkin saja orang Belanda berpengaruh pertama yang menunjukkan sikap tersebut. Roll bahkan turut meminjamkan uang untuk membiayai kongres Budi Utomo yang pertama di Yogyakarta pada Oktober 1908.
Sesungguhnya simpati dari asing, atau sosok-sosok di luar arus utama pergerakan nasional, khususnya non-pribumi, telah hadir sejak lahirnya Budi Utomo tahun 1908 sampai Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Keberadaan sosok-sosok seperti Roll adalah bukti bahwa sejarah Indonesia tidak bisa dipahami secara hitam putih semata, dan mempelajarinya sangat penting untuk menghindari mentalitas fanatisme ekstrim dalam merayakan dan mengisi kemerdekaan.
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Foto: public domain
Dari Portugis ke VOC
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Foto: public domain
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Foto: public domain
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Foto: public domain
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Foto: public domain
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Foto: Imago
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.
Foto: public domain
Proklamasi di Pegangsaan
Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Foto: public domain
Sang Saka Merah Putih berkibar
Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.
Foto: public domain
Dari Sabang sampai Merauke
Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville
Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.
Foto: en.wikipedia.org/Indonesia/Public Domain
Penyerahan kedaulatan
Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.
Foto: public domain
Peta Hindia Belanda dan sekitarnya
Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.
Foto: public domain
Mencari makna kemerdekaan
Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Husni
13 foto1 | 13
Idealisme Akan Kemanusiaan
Lalu mengapa seorang Belanda seperti Roll mau bersimpati terhadap aktivitas Budi Utomo yang mungkin berpotensi menantang hegemoni kolonialisme Belanda tersebut? Salah satu jawabannya adalah rasa kemanusiaan dari Roll sendiri yang begitu tinggi, melintasi batas-batas kenyataan struktur politik dan sosial kolonial saat itu.
Roll lahir di Gouda pada 27 Mei 1867 dan menempuh pendidikan kedokterannya di Amsterdam. Tahun 1894, di usianya yang ke-24 tahun, Roll bertugas sebagai dokter dalam ekspedisi militer Belanda ke Lombok dan menyaksikan bagaimana intervensi Belanda di sana menindas penduduk setempat. Sang dokter muda kemudian pindah ke Batavia dan pada 1896, Roll diangkat menjadi direktur STOVIA. Sudah sejak tahun 1853 STOVIA mendidik orang-orang pribumi sekedar untuk menjadi mantri cacar, bukan dokter seutuhnya.
Roll tidak puas. Beruntung, gagasan Politik Etis yang mendambakan terbentuknya kelas pribumi terpelajar baru di Hindia Belanda sejalan dengan idealisme Roll. Ia mereorganisasi STOVIA mejadi institusi independen, mendorong murid-muridnya untuk memiliki karakter dan perilaku yang baik, serta tidak rendah diri di hadapan dokter-dokter Belanda. Seleksi masuknya sangat ketat, dan yang terpilih tentu saja anak-anak pribumi terbaik di masanya.
Tidaklah mengherankan jika lingkungan intelektual yang bertaraf tinggi tersebut menjadi tempat kelahiran Budi Utomo. Karena itulah, alih-alih mengecam, ia justru bersimpati terhadap Budi Utomo; Sutomo dan kawan-kawannya adalah jenis manusia ideal yang ingin dicetak oleh Roll.
Namun, kebijakan Roll bentrok dengan keinginan penguasa. Pada 1909, sebuah komite urusan kesehatan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial mengajukan proposal untuk membatasi lahan kerja dokter-dokter pribumi, mereduksi kurikulum STOVIA, juga melarang lulusan-lulusan STOVIA untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Sederhananya, pemerintah kolonial hanya ingin agar STOVIA mencetak dokter-dokter pribumi kelas rendah, berlawanan dengan idealisme Roll.
Roll pun menulis dan mempublikasikan brosur yang berisikan ketidaksetujuannya terhadap proposal tersebut. Liesbeth Hesselink menulis bahwa Roll tidak takut dengan konfrontasi. "Dengan kata-katanya yang menyatakan bahwa ia berdiri di belakang gagasan ‘Pencerahan Hindia', ia lantas mendukung pemuda-pemuda nasionalis dan keinginan mereka untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi di tanah mereka sendiri, Roll menyiram bensin ke tengah-tengah api,” tulisnya dalam Healers on the Colonial Market.
VOC - Mendunia Berkat Bumi Indonesia
VOC menjelma menjadi raksasa dagang berkat menguasai bumi Indonesia. Kompeni bentukan Belanda itu bertindak layaknya negara. Tapi lalu remuk tanpa bersentuhan dengan musuh. Ini perusahaan multinasional pertama di dunia.
Foto: public domain
Jelajah Bumi demi Rempah
Rempah adalah faktor besar yang mendorong kolonialisme. Tidak berbeda dengan Belanda. Lantaran takut tersaingi oleh Portugis dan Inggris, negeri kincir angin ini membentuk perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memonopoli jalur perdagangan rempah di Asia. Berbekal kekuasaannya di Indonesia, VOC menjelma menjadi raksasa multinasional pertama di dunia.
Foto: picture-alliance/akg
Negara dalam Negara
VOC bukan cuma sekedar perusahaan biasa. Ia bertindak layaknya sebuah negara. Kompeni bentukan Belanda ini misalnya berwenang buat merangkai perjanjian multilateral, membangun koloni, memenjarakan dan mengeksekusi mati terpidana, membangun pasukan bersenjata dan membentuk mata uang sendiri.
Foto: public domain
Kaya dan Berkuasa
Sejak berdiri tahun 1602 hingga 1799, VOC tercatat mempekerjakan hampir satu juta penduduk Eropa dan mengirimkan 4785 kapal dagang ke Asia yang membawa sekitar 2,5 juta ton barang dagang. Berkat keberhasilan di Indonesia, VOC bahkan mampu menerbitkan saham pertama di dunia (gambar).
Foto: Privat
Jayakarta Menjadi Batavia
Awalnya VOC mendapat hak dagang dari kesultanan Banten. Namun Gubernur Jendral VOC pertama, Pieter Both memilih Jayakarta sebagai pusat administrasi. Belanda kemudian mengubah kota kecil itu menjadi kota dagang besar dengan benteng dan pelabuhan.
Foto: public domain
Coen, Jagal dari Batavia
Adalah Jan Pieterszoon Coen yang bertanggungjawab atas dominasi VOC di Indonesia. Sempat nyaris terusir oleh Pangeran Jayakarta, Belanda tahun 1627 lalumenugaskan Coen untuk menumpas tentara kerajaan Jayakarta. Setelah berkuasa, Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Oleh sejahrawan, ia digambarkan sebagai pribadi yang kejam dan gemar menggunakan kekerasan.
Foto: gemeinfrei
Jantung Kolonialisme
Nama Batavia berasal dari nama suku Germanik, Batavi, yang bermukim di kawasan sungai Rhein. Penduduk Belanda meyakini, suku tersebut adalah nenek moyang mereka. Di kota baru ini, Belanda membangun banyak infrastruktur yang terutama berfungsi sebagai kantor administrasi, pangkalan militer, pelabuhan dan berbagai tempat hiburan buat penduduk non pribumi.
Foto: public domain
Menggurita di Asia
Kendati bermarkas di Batavia, aktivitas dagang VOC melebar ke wilayah Asia Timur semisal Cina dan Jepang. Indonesia saat itu adalah pemasok rempah terbesar dunia di samping Asia Selatan. Nilai perusahaan swasta Belanda itu ditaksir mencapai 7,4 Milyar US Dollar dengan nilai uang saat ini.
Foto: public domain
Remuk dari Dalam
Tanpa lawan yang memadai, VOC sejatinya mampu bertahan hidup lebih lama. Tapi korupsi yang merajalela membuat perusahaan multinasional pertama di dunia itu ambruk di tahun 1799. Akibatnya semua aset dan utang VOC dilimpahkan pada kerajaan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, menjadi milik Republik Indonesia.
Foto: public domain
8 foto1 | 8
Penolakan Roll didukung oleh koleganya sesama dokter di Amsterdam yang tengah membimbing lulusan-lulusan STOVIA di sana. Akhirnya proposal itu dibatalkan, dan STOVIA tetap eksis sebagai institusi akademik prestisius juga rumah intelektual bagi tokoh-tokoh pergerakan dan benih-benih kemerdekaan.
Bukan Pribumi, Bukan Berarti Musuh
Roll memang seorang non-pribumi, namun ia memiliki peran positif dalam narasi pergerakan nasional Indonesia. Lantas, apakah identitasnya sebagai seorang Belanda membuat kita berhak mencap sebagai sosok antagonis dalam sejarah kita? Jika dipikirkan secara humanis, jawabannya tentu saja tidak.
Sebagian orang-orang Tionghoa, Arab, dan Indo-Belanda, komunitas non-pribumi yang afiliasi politiknya kerap dipertanyakan kaum pribumi, nyatanya juga mendukung kemerderkaan. Liem Koen Hian, Abdurrahman Baswedan, dan Pieter Frederich Dahler bergabung sebagai anggota BPUPKI. Ada pula Muriel Stuart Walker (Skotlandia) yang menyiarkan perjuangan Indonesia ke dunia internasional melalui radio, dan pilot-pilot asing seperti Bobby Earl Freeberg (Amerika Serikat) dan Bijayananda Patnaik (India) yang bertaruh nyawa menerbangkan pemimpin-pemimpin Republik menembus blokade Belanda.
Fenomena anti-asing kian merajalela?
Non-pribumi seperti Roll dan nama-nama di atas tidak selamanya musuh. Sistem kolonial memang buruk, namun belum tentu dengan orang-orang yang hidup di dalamnya. Mirisnya, saya rasa pemikiran sederhana tersebut belum terserap utuh oleh orang-orang Indonesia ketika mempelajari sejarahnya sendiri. Pribumi kerap dicap sebagai jagoan, pelakon utama. Sedangkan non-pribumi adalah tokoh pinggiran, bahkan cenderung dimusuhi.
Contohnya, Soe Hok Gie, dalam artikel yang ia tulis tahun 1968, "'Perdjoeangan Kita' Setelah 23 Tahun”, menulis tentang prinsip kemanusiaan Sjahrir, yang mengecam sikap anti-asing masyarakat Indonesia dan kerap menyerang orang-orang Ambon, Manado, Indo, Tionghoa, dan Belanda akibat termakan euforia kemerdekaan; sikap sempit yang menurut Sjahrir akan menghancurkan gerakan kemerdekaan Indonesia sendiri.
72 tahun sudah usia Indonesia dan yang Sjahrir khawatirkan masih terasa jelas. Fenomena anti-asing kian merajalela, terlebih setahun belakangan ini. Euforia panas Pilkada DKI membuat sebuah golongan dengan mudahnya mengasing-asingkan golongan lain hanya karena perbedaan warna kulit dan agama. Karenanya, marilah gunakan momen kemerdekaan tahun ini untuk mempertebal rasa kemanusiaan kita terhadap sesama: hilangkan buruk sangka, hapus tendensi membenci, dan berusahalah untuk menghargai tanpa pamrih. Niscaya, kita akan hidup merdeka dalam harmoni.
Penulis:
Rahadian Rundjan (ap/ml)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.