Pagelaran seni ternama Jerman, documenta, edisi ke 15 akan dipimpin oleh kelompok seni Indonesia, ruangrupa. Kepada DW mereka bercerita tentang konsep dan persiapan.
Iklan
Kelompok seni asal Jakarta, ruangrupa, ditunjuk menjadi pengarah artistik dan kurator untuk pagelaran seni ternama Jerman, documenta. Seluruh anggota Finding Comittee, panitia yang terdiri dari pakar seni ternama yang bertugas menyeleksi kandidat, sepakat untuk memilih ruangrupa di antara nominasi lainnya. Berlokasi di kota Kassel, Jerman, ruangrupa bertugas untuk memimpin pagelaran lima tahunan tersebut yang akan digelar pada 18 Juni hingga 25 September 2022.
Deutsche Welle berbincang dengan ruangrupa untuk mengetahui lebih lanjut konsep yang mereka tawarkan dan persiapan yang dilakukan.
Deutsche Welle: ruangrupa aktif berpartisipasi pada bermacam event seni internasional, seperti Gwangju Biennale, Istanbul Biennial, dan kini akan memimpin documenta 15 di Jerman. Bagaimana proses pendekatan yang dilakukan ruangrupa untuk aktif ambil bagian dalam event-event internasional tersebut?
ruangrupa: Kami selalu melakukan kerja berjejaring. Bekerja melalui jaringan kerja, baik nasional maupun internasional, antara sesama pekerja seni visual adalah hal yang sangat ditekankan di ruangrupa karena kesadaran tentang kota tidak bisa digarap sendiri. Dalam berbagai program, ruangrupa mengundang seniman-seniman dari berbagai kota di Indonesia dan dari berbagai negara di luar negeri, untuk sama-sama duduk membicarakan kota lalu mengeksekusinya dalam bentuk karya seni visual. Dalam program yang digarap bersama dengan seniman atau peneliti dari kota lain tersebut, terjadi perbandingan-perbandingan mengenai konteks kota masing-masing, sehingga ruangrupa bisa memiliki referensi.
ruangrupa: Melanglang Buana dengan Seni
Sebelum ditunjuk untuk memimpin documenta 15 di Jerman, ruangrupa sudah sering hadir di berbagai pagelaran seni internasional sejak didirikan tahun 2000.
Foto: ruangrupa
Unjuk gigi di Jerman
ruangrupa, komunitas seni asal Jakarta, didaulat untuk menjadi pengarah artistik dan memimpin pagelaran seni "documenta 15" di Kassel, Jerman. Dalam situsnya, ruangrupa menyatakan bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah dan jurnal online.
Foto: Jin Panji
Instalasi seni di Arnhem, Belanda
ruangrupa aktif berpartisipasi dalam berbagai pagelaran seni yang diselenggarakan di seluruh dunia. Pada foto tampak instalasi ruangrupa dalam pameran Sonsbeek 16: transACTION, di Arnhem, Belanda. Sonsbeek 2016 menampilkan 45 karya seni dari 22 negara.
Foto: Maurice Boyer
"Bicara tentang hal yang tidak ada"
Foto diatas menampilkan karya ruangrupa dalam keikutsertaannya di Sao Paulo Biennale ke 31 pada tahun 2014. Pagelaran seni di Brazil, yang menampilkan 200 karya dari 81 seniman dunia itu, mengangkat tema "How to Talk About Things That Don't Exist" atau Bagaimana Berbicara tentang Hal yang Tidak Ada.
Foto: ruangrupa
Seni kontemporer Asia Pasifik di Australia
ruangrupa juga hadir dalam event seni kontemporer The Asia Pacific Triennial of Contemporary Art ke 7 (APT7) tahun 2012 di Queensland, Australia. Pameran ini adalah satu-satunya di dunia yang fokus secara khusus pada seni kontemporer yang berasal dari Asia, Pasifik dan Australia.
Foto: ruangrupa
The Kuda: The Untold Story
Dalam pagelaran di Queensland, Australia, ruangrupa memperluas tema kearsipan APT7 dengan instalasi museum mini yang diisi dengan memorabilia dokumenter semu dari band rock fiksi asal Indonesia tahun 1970-an bernama The Kuda.
Foto: ruangrupa
Aichi Triennale, Jepang
Di Aichi Triennale 2016, lebih dari 100 kelompok seniman berbagai genre seni dari seluruh dunia bertemu dan memamerkan kreasi mereka untuk menghadirkan seni kontemporer mutakhir dengan tema "Homo Faber: A Rainbow Caravan." ruangrupa mewakili Indonesia dalam pagelaran seni yang berlangsung dari Agustus hingga Oktober 2016 itu. (Ed.: na/hp)
Foto: ruangrupa
6 foto1 | 6
ruangrupa adalah salah satu dari sepuluh kandidat untuk menjadi pengarah artistik di documenta 15 dan menang dengan suara bulat dari Finding Committee. Bisa ceritakan awal proses ruangrupa menjadi salah satu nominasi?
Prosesnya cukup panjang, diawali dengan diminta oleh pihak documenta mengirimkan concept note. Lalu penajaman konsep, diwawancara di Kassel oleh sepuluh orang, yang diantaranya adalah direktur museum dan galeri seni ternama di dunia, seperti Ute Meta Bauer (Direktur pendiri Center for Contemporary Art Singapura), Frances Morris (Direktur Tate Modern Art Gallery, London, Inggris) Charles Esche (Direktur Van Abbemuseum, Eindhoven, Belanda) dan Jochen Volz (Direktur Pinacoteca Sao Paulo, Brazil). Proses keseluruhannya memakan waktu dari September 2018 sampai Februari 2019.
Siapa saja sembilan kandidat lain yang menjadi lawan ruangrupa?
Sampai saat ini kami tidak tahu siapa saja yang masuk nominasi karena prosesnya yang cukup tertutup dan ketat.
Konsep seperti apa yang ditawarkan hingga bisa memenangkan hati para anggota Finding Committee?
Konsep yang kami tawarkan adalah "Lumbung". Lumbung adalah tempat di mana padi yang dihasilkan oleh masyarakat disimpan sebagai sumber daya bersama di masa depan.
Jika documenta diselenggarakan atas dasar niat mulia untuk menyembuhkan luka-luka Eropa pasca perang, bukankah kita harus memperbesar niat ini untuk menyembuhkan luka-luka lain yang berakar pada kolonialisme, kapitalisme, keterpencilan dan patriarki?
Belajar dari berbagai pengalaman ruangrupa dalam memanfaatkan bangunan institusional sebagai bentuk artistik, kami mengusulkan kolaborasi pada documenta untuk berimajinasi, mengutak-atik, bereksperimen dan mengeksekusi model "koperasi". Lumbung sebagai model tata kelola sumber daya akan berfungsi sebagai titik pusat praktik ini.
Apa yang akan ruangrupa suguhkan untuk documenta 15 di tahun 2022 nanti?
Kami akan bekerja dengan banyak pihak, yang bukan hanya dari kalangan seniman saja, tapi dari berbagai lintas disiplin yang selama ini menunjukkan konsistensi kerja dan sesuai dengan konsep yang kami sebutkan di atas.
Ada konsep "Dari dan Untuk Kassel". Dari Kassel: kami melihat documenta sebagai kumpulan sumber daya, yang berlokasi di tengah kota tetapi memiliki fungsi dalam skala global melalui ekosistem seni kontemporer. Kami menganggap documenta sebagai mitra yang sempurna bagi ruangrupa untuk menerapkan konsep yang berbeda dan memahami keberlanjutan dalam mendukung praktik seni kontemporer yang memiliki dampak sosial.
Untuk Kassel: kami memvisualisasikan edisi dokumenta yang didasarkan pada kota Kassel dan sistem yang ada di dalamnya dan mewujudkannya dengan beberapa strategi yang berfokus pada minat saat ini seperti pendidikan alternatif, model ekonomi regeneratif dan pentingnya seni dalam praktik sosial. Strategi-strategi ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pameran seni yang besar di venue reguler documenta, serangkaian real practice 1: 1 dalam layanan publik Kassel (seperti sekolah, universitas, bank, rumah sakit) dan program publik. Skema "Dari dan Untuk" dengan menempatkan Kassel di tengah proses adalah sesuatu yang konversasional, yang dimaksudkan untuk melahirkan praktik dan bentuk seni hibrida yang tidak terduga.
Seniman Indonesia Rambah Sub Sahara
Sementara seniman lain mengincar pameran di Eropa atau Amerika, perempuan Tapanuli Utara ini merambah Sub Sahara Afrika, lewat karya seni rupa dan lukisnya.
Foto: G. Siregar
Menjelajahi Afrika Lewat Seni
Beberapa tahun belakangan, Grace Siregar bermukim di Senegal, setelah sebelumnya tinggal di Inggris dan Kamerun. Hidupnya terus mengelana, namun satu yang melekat dan mengikuti terus petualangan perempuan kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara ini kemanapun: karya seni.
Foto: G. Siregar
Tranquility Reversed
Pameran instalasi Tranquility Reversed karya Grace ini menggali dan mengingatkan keindahan serta rasa tenang di dalam kehidupan bermasyarakat terutama untuk masyarakat di negara-negara Sub-Sahara termasuk Kamerun. Pameran tunggal Tranquility ini diselenggarakan di Galeri Seni Rupa Pusat Kebudayaan Perancis (Institut Francais) Yaounde, Kamerun, 2014.
Foto: G. Siregar
Kedamaian dalam Ceret
Pameran Pameran instalasi Tranquility Reversed menggunakan material ceret plastik yang bercorak zebra. Material ini dapat dengan mudah ditemukan di setiap sudut negara Kamerun. Pelengkapnya menggunakan lampu, kayu, kabel dan listrik.
Foto: G. Siregar
Sang Seniman dari Tanah Batak
Ini karya Grace berjudul "Wild Construction". Grace Siregar berkecimpung dalam seni rupa instalasi sejak tahun 1996. Perempuan yang berasal dari Sumatera Utara ini telah menyelenggarakan pameran di berbagai negara di dunia, di antaranya: Indonesia, Australia, Timor Leste, Sri Lanka, Britania Raya, Belanda, Kamerun, Afrika Tengah dan masih banyak lagi.
Foto: G. Siregar
Perupa Pertama di Sub Sahara
Grace tengah bersama para sahabat seniman di Afrika. Sebagai perupa Indonesia yang pertama berpameran dibenua Afrika Sub-Sahara seperti Kamerun dan Senegal, ia berhasrat menjadi pembuka jalan atau pionir bagi para seniman Indonesia yang ingin mulai melebarkan sayap berkesenian ke benua Afrika yang sedang menjadi pusat perhatian seni dunia.
Foto: G. Siregar
Tak Melulu Eropa dan Amerika
Dalam tiap pamerannya, selain berdiskusi tentang seni budaya, ia pun memperkenalkan Indonesia di tatanan internasional. Grace juga sering berpameran di Eropa. Tapi menurutnya itu tidak cukup. Seniman Indonesia perlu juga berani berbelok ke Afrika. “Saya bangga sudah melakukannya,“ ujar Grace sang pionir.
Foto: G. Siregar
Losing it
"Losing It" adalah karya instalasi Grace yang dipamerkan di Kamerun Biennale tahun 2014 di halaman Galeri Nasional di Yaounde, Kamerun. Berupa ornamen-ornamen bulat berwarna-warni terbuat dari plastik, karya ini bercerita tentang bagaimana peradaban modernisasi teknologi internet misalnya di Afrika Sub-Sahara tumbuh pesat seperti jamur. Materialnya terdiri dari kabel, lampu dan listrik.
Foto: G. Siregar
Darah Seni Mengalir di Tubuhnya
"Time Machine" dari es balok ini mengingatkan pada perjalanan waktu manusia di bumi hingga mencairnya es di kutub akibat perubahan cuaca karena ulah manusia.
Grace melukis sejak usia 6 tahun. Lahir di tanah Batak, ia tumbuh dan dibesarkan dalam budaya Batak-Melayu di Bangka. Ayah-ibunya pecinta seni musik. Ia kemudian belajar seni instalasi. Usai kuliah, ia berpameran hingga ke Eropa.
Foto: G. Siregar
Memberi Ruang bagi Seniman Lain
Di Indonesia, ia juga membuka galeri seni Tondi di Medan dari tahun 2004 sampai 2009. Pada saat itu para seniman lain mendapatkan kesempatan untuk memamerkan karya-karya seninya di galeri tersebut. Ini menjadi wadah untuk menumbuhkan kreativitas di seniman Sumatera.
Foto: G. Siregar
Seni jadi Media Kampanye
Grace pun memakai bakat seninya bagi kampanye perdamaian di kawasan yang pernah dililit konflik seperti di Maluku Utara. Di sana ia bersama bocah-bocah menggambar dan memamerkannya sebagai pesan perdamaian. Sementara keprihatinannya atas pembunuhan aktuivis HAM Munir ditumpahkannya di atas kanvas.
Foto: G. Siregar
Tiap Karya Bermakna
Setiap karya seninya meninggalkan makna khusus dalam kehidupan. Mulai dari kerusakan hutan hingga perubahan iklim bumi. Sedangkan lukisan berjudul Amnesia ini mempunyai makna bagaimana perang meninggalkan jejak kehilangan ingatan dengan melakukan kekejaman.
Foto: G. Siregar
Terus Berkarya
Sementara instalasi berjudul Dépression punya makna tentang depresi yang kerap dialami manusia dalam perjalanan hidupnya, yang digambarkannya dalam tanda-tanda rambut rontok yang terbuang di saluran air. Tanpa mengenal batas ruang dan waktu Grace ingin terus berkarya, membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.
Foto: G. Siregar
12 foto1 | 12
Persiapan apa saja yang sudah atau mulai dilakukan?
Kami akan mengawalinya dengan riset di berbagai tempat, baik di Indonesia sendiri maupun di berbagai negara di dunia. Setelah itu kami akan memulai memilih kurator dan mengajak sejumlah ahli di bidang teknologi dan ekonomi untuk bergabung dalam proses tersebut.
Apa tantangan yang ruangrupa hadapi dalam mempersiapkan documenta 15?
Rentang waktu proses persiapan dokumenta yang memakan waktu hampir 4 tahun adalah tantangan tersendiri. Di dalam prosesnya pasti ada sangat banyak hal menarik yang bisa terjadi, sehingga kami juga harus mempersiapkan diri untuk beradaptasi terhadap segala perubahan ataupun kejutan dalam masa persiapan ini. Kami tentunya akan bekerja sesuai apa yang sudah kami lakukan selama ini melalui praktik kerja kolektif yang dikerjakan dengan penuh kesenangan.