Penerjemahan dan penerbitan buku para penulis Indonesia dalam berbagai bahasa asing penting untuk memperkenalkan kekayaan intelektual dan budaya, sekaligus membangun jembatan peradaban antarbangsa. Opini Anton Kurnia.
Iklan
Daun-daun pohon dedalu alias liangliu atau willow yang banyak tumbuh di tepian sungai di Beijing melambai-lambai ditiup angin pengujung musim panas. Itu membuat perasaan saya menjadi agak sayu. Padahal pagi itu cuaca cerah dan matahari bersinar terik.
Saya berada di Beijing untuk mengikuti Pesta Buku Beijing (PBB) alias Beijing International Book Fair, salah satu pesta buku terbesar di dunia dan konon terbesar di Asia. Acara itu berlangsung pada 24-28 Agustus 2016 lalu di International Exhibition Center, Beijing, dengan area seluas 78.600 meter persegi, terbesar sepanjang sejarah penyelenggaraannya.
Tahun ini PBB menginjak usia yang ke-30 sejak kali pertama diselenggarakan pada 1986. Confucius alias Konghucu, filsuf ternama Tiongkok yang ajarannya mendunia, pernah berkata, "Pada usia ke-30 seseorang seharusnya telah menjejakkan kakinya dengan kuat di muka bumi.” Demikian pula halnya PBB. Pada gelaran ke-23 di usia ke-30 ia telah menjelma pesta buku terkemuka dan berpengaruh di percaturan perbukuan antarbangsa.
Tahun 2016, Indonesia untuk kali pertama mengirimkan delegasi resmi melalui stan yang dikelola Komite Buku Nasional dan didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Stan Indonesia menampilkan buku-buku dari beragam genre: fiksi, nonfiksi, buku anak-anak, dan komik. Selain di stan buku umum, Indonesia juga hadir di arena buku anak, tepatnya di ASEAN Collective Stand.
Delegasi Indonesia juga mengirim Agustinus Wibowo, penulis catatan perjalanan terkemuka, untuk tampil di Writer's Stage. Agustinus mendapat kehormatan tampil dengan penanggap novelis terkemuka Yu Hua pada 24 Agustus dengan acara bertajuk "Zero: When A Journey Take You Home” yang membahas bukunya, Di Titik Nol.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.
Foto: DW/M. Ridwan
13 foto1 | 13
Buku sebagai Jembatan
Sosiolog terkemuka Tiongkok, Fei Xiaotong (1910-2005), pernah menulis, "Ketika setiap orang menghargai keindahannya sendiri seraya menghargai keindahan orang lain, harmoni akan dapat dicapai di kolong langit.” Untuk menghargai keindahan orang lain itu, kita butuh kesediaan mengenali budaya mereka, menghormati perbedaan, serta memaknai persamaan.
Sejarah peradaban Tiongkok adalah sejarah pertukaran budaya. Itu sudah berlangsung sejak Xu Fu melintasi Laut Cina Timur demi mencari "air kehidupan” pada masa Dinasti Qin (221-207 SM), pembukaan Jalur Sutra pada masa Dinasti Han (202 SM-8), perjalanan Rahib Tripitaka (602-664) ke Barat menuju India untuk mencari ajaran Buddha, kedatangan Ganjin (688-763) di Jepang untuk mengajarkan dharma Buddha pada zaman Dinasti Tang (618-907), penjelajahan Marco Polo (1254-1324) ke Tiongkok pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), muhibah Zheng He (1371-1433) alias Laksamana Ceng Ho menyeberangi Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia dengan mengunjungi sekitar 30 negara (bahkan singgah di Semarang) pada masa Dinasti Ming (1368-1644), hingga masuknya budaya Barat ke Tiongkok pada masa Dinasti Qing (1644-1911).
Keikutsertaan delegasi Indonesia dalam PBB tahun ini meramaikan proses pertukaran budaya itu melalui buku sebagai jembatan peradaban. Salah satu acara yang terkait Indonesia, yakni diskusi buku karya Agustinus Wibowo yang menghadirkan Yu Hua sebagai pembicara tamu, bisa dikatakan sebagai salah satu upaya membuka jembatan itu.
Wajah Indonesia di Pameran Buku Frankfurt 2015
Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. 70 penulis Indonesia akan diboyong ke ajang tersebut. Termasuk diantaranya, Laksmi Pamuntjak dan Leila S. Chudori.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Laksmi Pamuntjak
Ada fase dalam sejarah Indonesia, di mana warna ‘merah’ identik dengan komunis, dianggap sesat dan harus diberantas. Laksmi Pamuntjak lahir tahun 1971, saat stigma komunisme masih kuat.
Foto: DW/L. Pamuntjak
Goenawan Mohamad
Tahun ini adalah tahun sibuk buat Goenawan Mohamad. Di tengah aktivitasnya mempersiapkan Indonesia jelang Pameran Buku Frankfurt, ia sempat bercerita tentang sihir sebuah esai dan pergulatannya menulis Catatan Pinggir.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma punya nama beken sebagai pendekar kata-kata atau pendekar cerita pendek. Kependekaran Seno terlihat dari kemampuannya melompat dari satu genre ke genre berikutnya.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Ayu Utami
Ayu Utami bukan hanya terkenal karena novelnya yang mendobrak tabu masalah seks. Ia juga selalu mempertanyakan tema agama secara kritis.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Taufiq Ismail
Kanon Sastra Indonesia menggolongkan Taifiq Ismail ke dalam angkatan 66, yang lahir di saat turbulensi politik di tahun itu, yang berujung pada tumbangnya rezim Sukarno dan naiknya rezim Soeharto.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Nirwan Dewanto
Nirwan Dewanto menulis puisi dalam sunyi untuk mengeksplorasi kekayaan kata-kata dalam bahasa. Tapi karirnya dalam film membuatnya harus tampil di depan publik dan keramaian.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Helvy Tiana Rosa
Penulis perempuan ini telah menghasilkan 50 buku. Mulai dari cerita pendek, novel, tinjauan sastra, dan naskah drama teater. Ia ingin berbakti pada Indonesia secara Islami dan mengekspresikannya dalam bentuk sastra.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Leila S. Chudori
Bermula dari fiksi anak dan remaja, Leila S. Chudori merambah dunia jurnalisme tanpa melupakan dunia fiksi. Karya-karya berikutnya mendalami sisi gelap politik dan tidak enggan mengupas tabu di masyarakat tradisional.
Foto: GIGABYTE
Linda Christanty
Penulis fiksi dan jurnalis. Demikian gelar yang disandang Linda Christanty. Karya-karyanya dikenal mengupas secara tajam realita sosial dan politik di Indonesia.
Foto: GIGABYTE
Franz Magnis-Suseno
Di Indonesia dia membumi. Sejak 1961 Franz Magnis Suseno tidak cuma menyelami kebudayaan Jawa, melainkan ikut mempengaruhi tradisi intelektual nusantara yang baru seumur jagung.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
A.S. Laksana
A.S.Laksana adalah penulis lain yang turut meramaikan kahazanah sastra Indonesia. Kecintaannya pada cerita dan narasi nyaris tak mengenal batas. Sulak, begitu ia dipanggil, juga gemar berbagi ilmu cara bercerita.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Sapardi Djoko Damono
Seorang pujangga senior Indonesia berkarya lewat puisi dengan kata-kata yang sederhana dan lembut. Dia adalah Sapardi Djoko Damono, salah satu penyair paling produktif yang ada di tanah air.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
12 foto1 | 12
Di dalam forum itu Yu Hua secara blak-blakan mengungkapkan sebelum membaca buku Agustinus bayangan dia tentang Indonesia tak jauh dari apa yang ada di benak masyarakat Tiongkok pada umumnya: banyak kesan negatif tentang Indonesia yang terkait perlakuan buruk terhadap orang-orang Tionghoa dari masa ke masa, termasuk seputar peristiwa tragedi pembantaian 1965 dan kerusuhan anti-Cina di Jakarta pada 1998. Namun, setelah membaca buku Agustinus, persepektif dia tentang Indonesia berubah.
Dia menyadari betapa beragam dan multikultur masyarakat Indonesia dengan segala permasalahannya, tak jauh beda dengan situasi di Tiongkok sendiri. Dan tak semua kesan negatif tentang Indonesia itu terbukti. Dalam hal ini, buku telah berperan sebagai agen yang baik bagi sebuah saling pengertian antarbangsa. Buku menjadi jembatan peradaban.
Penerjemahan sebagai Kunci
Dalam PBB tahun ini yang menjadi Tamu Kehormatan adalah negara-negara Eropa Tengah dan Timur, antara lain Serbia, Rumania, Hongaria, Slovakia, Ceska, Slovenia, Lithuania, dan Macedonia. Belarusia bahkan menghadirkan pemenang Hadiah Nobel Sastra 2015, Svetlana Alexievich yang acara peluncuran buku terbarunya, The Second Hand, ke bahasa Mandarin disesaki pengunjung.
Yang menonjol dari negara-negara Eropa Tengah dan Timur yang umumnya relatif kecil ini adalah upaya mereka untuk membangun jembatan peradaban antarbangsa, antarbudaya, dan antarbahasa melalui program pendanaan penerjemahan.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Slovenia yang kita kenal di antaranya lewat filsuf terkemuka Slavoj Zizek, misalnya, mempromosikan para penulis dan karya mereka secara besar-besaran melalui penerjemahan ke-15 bahasa yang didanai dan ditaja oleh Javna Agencia za Knjigo (JAK, Badan Perbukuan Slovenia). Para penerbit asing yang tertarik menerjemahkan dan menerbitkan karya para penulis Slovenia bisa mengajukan bantuan dana kepada lembaga ini.
Sementara, Hongaria menawarkan bantuan dana penerjemahan atas karya para penulis mereka ke bahasa asing melalui Hungarian Books and Translation Office yang berkantor di Petofi Literary Museum, Budapest. Tak mau kalah, Polandia menawarkan program serupa yang dikelola oleh Polish Book Institute yang baru dibentuk pada 2003.
Kita layak mencontoh program serupa yang didukung penuh dan didanai oleh pemerintah masing-masing. Penerjemahan dan penerbitan buku karya para penulis kita dalam berbagai bahasa asing akan memperkenalkan kekayaan intelektual dan budaya kita, sekaligus membangun jembatan peradaban antarbangsa. Jika pada masa lalu kita mengenal Jalur Sutra dan Jalur Rempah, kini saatnya kita merintis dan mengembangkan Jalur Buku.
Penulis:
Anton Kurnia, penulis dan penerjemah karya sastra, CEO Penerbit Baca.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
(Ed: ap/hp)
Kesempatan Emas bagi Sastra Indonesia
Tahun 2015, menjadi terobosan baru dalam karya sastra Indonesia. Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurter Buchmesse, ajang pameran buku bergengsi di dunia, yang diselenggarakan tiap tahun di Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Acara Serah Terima
Serah terima Guest of Honour dari Finlandia kepada Indonesia Minggu, 12 Oktober 2014 di Pameran Buku Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tarian Memukau
Penampilan musik dan tari Ayu Laksmi, Endah Laras dan Ariani, Minggu 12 Oktober 2014.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tongkat Guest of Honour
Inilah tongkat Tamu Kehormatan yang diserahkan kepada Indonesia untuk 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Dewi Dee Lestari
Dewi Dee Lestari bertukar pengalaman dengan penulis Finlandia Kjell Westo dalam acara serah terima.
Foto: Frankfurter Buchmesse/P. Hirth
Tamu Kehormatan
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair pada tahun 2015 nanti. Dalam pameran buku akbar tahun ini dimana Finlandia menjadi tamu kehormatan, Indonesia mulai unjuk diri.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
17.000 Islands of Imagination
Indonesia mengemas keikutsertaan di FBF dalam tema "17.000 Islands of Imagination". Pulau dalam hal ini adalah semacam suatu imajinasi, kreativitas yang tidak terbatas yang lahir dan berkembang di 17.000 pulau di tanah air.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Memperkenalkan Indonesia
Dalam pameran buku tahun ini pihak penyelenggara memperkenalkan peran serta Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Hadir dalam konferensi pers, Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Wakil Menteri Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, Goenawan Mohamad, penulis senior yang menjadi panitia delegasi Indonesia, dan Husni Syawie dari IKAPI.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Banyak Peminat
Konferensi pers yang memperkenalkan Indoensia sebagai tamu kehormatan diserbu pengunjung. Menjadi tamu kehormatan sangat menguntungkan, karena mendapat kesempatan dalam menonjolkan Indonesia pada dunia. Bahkan, selama setahun sebelum penyelenggaraan, negara yang menjadi tamu kehormatan akan diperkenalkan ke publik dalam berbagai liputan media di Jerman.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Ajang Penting
Pameran buku internasional di Frankfurt merupakan ajang yang sangat efektif dalam mengenalkan para penulis Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Mencari Penerjemah
Bukan perkara mudah untuk mencari penerjemah buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Direktur Frankfurter Buchmesse Jürgen Boos mengatakan: "Ini merupakan tantangan besar, untuk mencari penerjemah sastra ke bahasa Jerman.“
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Terobosan Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an, fokus pameran lebih bersifat tematik. Namun sejak tahun 1980-an, tiap tahun dipilih tamu kehormatan dari berbagai negara dalam pameran akbar itu. Setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan tahun 2015, Belanda akan menyusul sebagai tamu kehormatan 2016.