1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dari Kita Untuk Dunia

17 Oktober 2016

Dalam pameran buku internasional Frankfurt 2016, Indonesia layak hadir dengan kepala tegak, setelah tahun 2015 menjadi tamu kehormatan. Apa saja pekerjaan rumah yang masih tertinggal? Simak opini Anton Kurnia.

Buchmesse Leipzig Bücher Buch Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/H. Schmidt

Dunia perbukuan kita mendapatkan momentum luar biasa setelah menjadi Tamu Kehormatan di Pesta Buku Frankfurt (PBF) 2015, tepat 30 tahun sejak kali pertama delegasi Indonesia ikut serta bursa buku internasional di Jerman itu. Pada Oktober 2016 Indonesia kembali hadir di ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia ini, menempati stan seluas 200 meter—lebih besar dari jatah negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, atau Singapura.

Tahun 2016  yang menjadi Tamu Kehormatan adalah Belanda dan Flanders (wilayah Belgia yang berbahasa Belanda). Indonesia memiliki kedekatan sejarah dengan Belanda. Salah satu karya sastra ternama novel Max Havelaar buah karya Multatuli yang warga Belanda, berkisah tentang penderitaan rakyat Indonesia di Banten pada masa kolonial.

Penulis: Anton KurniaFoto: privat

Pada Pesta Buku Frankfurt 2015, lebih dari 400 judul buku terbitan penerbit Indonesia tercatat diminati oleh penerbit asing untuk dipertimbangkan pembelian hak terjemahannya. Ini merupakan peluang besar, bahwa karya para penulis Indonesia nantinya akan makin dikenal dalam pentas internasional. Ini juga menunjukkan besarnya potensi industri kreatif Indonesia untuk ditawarkan di pasar internasional. Momen berharga ini tentu amat sayang jika tak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Perhelatan di Frankfurt tahun 2015 lalu seyogianya memang menjadi awal, bukan akhir, dari unjuk gigi kita di pentas perbukuan dunia. Sebelumnya kita nyaris hanya memiliki Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya mendunia. Kini kita bangga memiliki "penulis muda” seperti Eka Kurniawan yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa di berbagai belahan dunia dan meraih penghargaan internasional sekelas World Readers Award.

Penerjemahan sebagai Kunci

Namun, masih banyak "pekerjaan rumah” yang perlu dilakukan untuk mempromosikan karya sastra dan intelektual kita di mata dunia, terutama oleh pemerintah. Salah satu hal yang perlu didorong adalah upaya-upaya yang mempermudah langkah penerjemahan karya sastra kita ke berbagai bahasa.

Banyak negara beradab di berbagai belahan dunia memiliki lembaga yang mengurusi promosi karya sastra dan membantu penerjemahan karya sastra mereka ke berbagai bahasa. Penerbit-penerbit asing yang berminat terhadap satu karya bisa mendapatkan bantuan dana penerjemahan. Itu pada gilirannya akan meningkatkan minat penerbit luar negeri untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya para penulis kita.

Beberapa negara yang amat antusias melaksanakan program semacam ini dan bisa dijadikan model bagi kita adalah Korea Selatan dan Turki. Seperti Indonesia, Korea Selatan pernah menjadi Tamu Kehormatan di PBF, yakni pada 2005. Sementara, Turki didaulat sebagai Tamu Kehormatan PBF tiga tahun kemudian.

Dalam persiapan sebagai Tamu Kehormatan PBF, Korea Selatan giat mempromosikan karya sastra dan intelektual mereka untuk diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai bahasa asing.

Sejak 1996, pemerintah Korea Selatan melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mereka mendirikan Literature Translation Institute of Korea (LIT Korea). Lembaga ini bertugas mempromosikan karya sastra Korea Selatan di panggung antarbangsa dalam bentuk kerja sama penerjemahan dan penerbitan.

Setelah melewati masa 20 tahun, kini Korea Selatan telah memetik hasilnya. Setiap tahun sekitar 100 judul buku dari beragam genre berhasil diterjemahkan dan diterbitkan dalam beragam bahasa.

Para penulis Korea Selatan kini kian dihormati dunia dan beberapa di antaranya menjadi bintang di panggung dunia, antara lain Han Kang yang novelnya, The Vegetarian, meraih The International Man Booker Prize 2016 untuk novel terjemahan terbaik. Han kang antara lain dengan menyisihkan karya Orhan Pamuk, pemenang Hadiah Nobel Sastra dari Turki, dan penulis kita yang sedang naik daun, Eka Kurniawan.

Dukungan pemerintah

Serupa seperti Korea Selatan, Turki pun memiliki lembaga penerjemahan yang didukung penuh oleh pemerintah di Ankara melalui Kementerian Kebudayaan, yakni TEDA.

Bagaimana dengan kita? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membentuk Komite Buku Nasional yang bertugas mempromosikan karya sastra dan intelektual kita di pentas internasional, di antaranya dengan aktif menghadiri berbagai pesta buku internasional, menyelenggarakan program pendanaan untuk pemberdayaan penulis—termasuk mengirim para penulis kita untuk mengikuti residensi di berbagai negara, serta program pendanaan penerjemahan yang dinamai LitRI.

Ini tentu saja angin segar bagi dunia perbukuan, literasi, dan intelektual kita. Sudah sepatutnya pemerintah mendukung program-program semacam ini demi mempromosikan kekayaan intelektual dan budaya kita. Dan kita berharap, ini menjadi program jangka panjang yang sistematis dan berkelanjutan. Tak sekadar kegiatan musiman.

Di ajang Pesta Buku Frankfurt tahun 2016, Indonesia layak hadir dengan kepala tegak. Dibanding setahun lalu, apalagi tiga puluh tahun silam, kita telah memiliki lebih banyak karya yang diapresiasi dunia dengan diterjemahkan dan diterbitkan dalam pelbagai bahasa. Kita memiliki kekayaan historis, kultural, dan intelektual yang beragam dan tak kalah bermutu dari bangsa lain. Kita telah ikut aktif menyumbang bagi peradaban dunia.

Penulis:

Anton Kurnia, penulis dan penerjemah karya sastra.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.