Dalam pameran buku internasional Frankfurt 2016, Indonesia layak hadir dengan kepala tegak, setelah tahun 2015 menjadi tamu kehormatan. Apa saja pekerjaan rumah yang masih tertinggal? Simak opini Anton Kurnia.
Iklan
Dunia perbukuan kita mendapatkan momentum luar biasa setelah menjadi Tamu Kehormatan di Pesta Buku Frankfurt (PBF) 2015, tepat 30 tahun sejak kali pertama delegasi Indonesia ikut serta bursa buku internasional di Jerman itu. Pada Oktober 2016 Indonesia kembali hadir di ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia ini, menempati stan seluas 200 meter—lebih besar dari jatah negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, atau Singapura.
Tahun 2016 yang menjadi Tamu Kehormatan adalah Belanda dan Flanders (wilayah Belgia yang berbahasa Belanda). Indonesia memiliki kedekatan sejarah dengan Belanda. Salah satu karya sastra ternama novel Max Havelaar buah karya Multatuli yang warga Belanda, berkisah tentang penderitaan rakyat Indonesia di Banten pada masa kolonial.
Pada Pesta Buku Frankfurt 2015, lebih dari 400 judul buku terbitan penerbit Indonesia tercatat diminati oleh penerbit asing untuk dipertimbangkan pembelian hak terjemahannya. Ini merupakan peluang besar, bahwa karya para penulis Indonesia nantinya akan makin dikenal dalam pentas internasional. Ini juga menunjukkan besarnya potensi industri kreatif Indonesia untuk ditawarkan di pasar internasional. Momen berharga ini tentu amat sayang jika tak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Perhelatan di Frankfurt tahun 2015 lalu seyogianya memang menjadi awal, bukan akhir, dari unjuk gigi kita di pentas perbukuan dunia. Sebelumnya kita nyaris hanya memiliki Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya mendunia. Kini kita bangga memiliki "penulis muda” seperti Eka Kurniawan yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa di berbagai belahan dunia dan meraih penghargaan internasional sekelas World Readers Award.
Penerjemahan sebagai Kunci
Namun, masih banyak "pekerjaan rumah” yang perlu dilakukan untuk mempromosikan karya sastra dan intelektual kita di mata dunia, terutama oleh pemerintah. Salah satu hal yang perlu didorong adalah upaya-upaya yang mempermudah langkah penerjemahan karya sastra kita ke berbagai bahasa.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Banyak negara beradab di berbagai belahan dunia memiliki lembaga yang mengurusi promosi karya sastra dan membantu penerjemahan karya sastra mereka ke berbagai bahasa. Penerbit-penerbit asing yang berminat terhadap satu karya bisa mendapatkan bantuan dana penerjemahan. Itu pada gilirannya akan meningkatkan minat penerbit luar negeri untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya para penulis kita.
Beberapa negara yang amat antusias melaksanakan program semacam ini dan bisa dijadikan model bagi kita adalah Korea Selatan dan Turki. Seperti Indonesia, Korea Selatan pernah menjadi Tamu Kehormatan di PBF, yakni pada 2005. Sementara, Turki didaulat sebagai Tamu Kehormatan PBF tiga tahun kemudian.
Dalam persiapan sebagai Tamu Kehormatan PBF, Korea Selatan giat mempromosikan karya sastra dan intelektual mereka untuk diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai bahasa asing.
Sejak 1996, pemerintah Korea Selatan melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mereka mendirikan Literature Translation Institute of Korea (LIT Korea). Lembaga ini bertugas mempromosikan karya sastra Korea Selatan di panggung antarbangsa dalam bentuk kerja sama penerjemahan dan penerbitan.
Setelah melewati masa 20 tahun, kini Korea Selatan telah memetik hasilnya. Setiap tahun sekitar 100 judul buku dari beragam genre berhasil diterjemahkan dan diterbitkan dalam beragam bahasa.
Para penulis Korea Selatan kini kian dihormati dunia dan beberapa di antaranya menjadi bintang di panggung dunia, antara lain Han Kang yang novelnya, The Vegetarian, meraih The International Man Booker Prize 2016 untuk novel terjemahan terbaik. Han kang antara lain dengan menyisihkan karya Orhan Pamuk, pemenang Hadiah Nobel Sastra dari Turki, dan penulis kita yang sedang naik daun, Eka Kurniawan.
Kesempatan Emas bagi Sastra Indonesia
Tahun 2015, menjadi terobosan baru dalam karya sastra Indonesia. Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurter Buchmesse, ajang pameran buku bergengsi di dunia, yang diselenggarakan tiap tahun di Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Acara Serah Terima
Serah terima Guest of Honour dari Finlandia kepada Indonesia Minggu, 12 Oktober 2014 di Pameran Buku Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tarian Memukau
Penampilan musik dan tari Ayu Laksmi, Endah Laras dan Ariani, Minggu 12 Oktober 2014.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tongkat Guest of Honour
Inilah tongkat Tamu Kehormatan yang diserahkan kepada Indonesia untuk 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Dewi Dee Lestari
Dewi Dee Lestari bertukar pengalaman dengan penulis Finlandia Kjell Westo dalam acara serah terima.
Foto: Frankfurter Buchmesse/P. Hirth
Tamu Kehormatan
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair pada tahun 2015 nanti. Dalam pameran buku akbar tahun ini dimana Finlandia menjadi tamu kehormatan, Indonesia mulai unjuk diri.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
17.000 Islands of Imagination
Indonesia mengemas keikutsertaan di FBF dalam tema "17.000 Islands of Imagination". Pulau dalam hal ini adalah semacam suatu imajinasi, kreativitas yang tidak terbatas yang lahir dan berkembang di 17.000 pulau di tanah air.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Memperkenalkan Indonesia
Dalam pameran buku tahun ini pihak penyelenggara memperkenalkan peran serta Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Hadir dalam konferensi pers, Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Wakil Menteri Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, Goenawan Mohamad, penulis senior yang menjadi panitia delegasi Indonesia, dan Husni Syawie dari IKAPI.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Banyak Peminat
Konferensi pers yang memperkenalkan Indoensia sebagai tamu kehormatan diserbu pengunjung. Menjadi tamu kehormatan sangat menguntungkan, karena mendapat kesempatan dalam menonjolkan Indonesia pada dunia. Bahkan, selama setahun sebelum penyelenggaraan, negara yang menjadi tamu kehormatan akan diperkenalkan ke publik dalam berbagai liputan media di Jerman.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Ajang Penting
Pameran buku internasional di Frankfurt merupakan ajang yang sangat efektif dalam mengenalkan para penulis Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Mencari Penerjemah
Bukan perkara mudah untuk mencari penerjemah buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Direktur Frankfurter Buchmesse Jürgen Boos mengatakan: "Ini merupakan tantangan besar, untuk mencari penerjemah sastra ke bahasa Jerman.“
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Terobosan Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an, fokus pameran lebih bersifat tematik. Namun sejak tahun 1980-an, tiap tahun dipilih tamu kehormatan dari berbagai negara dalam pameran akbar itu. Setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan tahun 2015, Belanda akan menyusul sebagai tamu kehormatan 2016.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
11 foto1 | 11
Dukungan pemerintah
Serupa seperti Korea Selatan, Turki pun memiliki lembaga penerjemahan yang didukung penuh oleh pemerintah di Ankara melalui Kementerian Kebudayaan, yakni TEDA.
Bagaimana dengan kita? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membentuk Komite Buku Nasional yang bertugas mempromosikan karya sastra dan intelektual kita di pentas internasional, di antaranya dengan aktif menghadiri berbagai pesta buku internasional, menyelenggarakan program pendanaan untuk pemberdayaan penulis—termasuk mengirim para penulis kita untuk mengikuti residensi di berbagai negara, serta program pendanaan penerjemahan yang dinamai LitRI.
Ini tentu saja angin segar bagi dunia perbukuan, literasi, dan intelektual kita. Sudah sepatutnya pemerintah mendukung program-program semacam ini demi mempromosikan kekayaan intelektual dan budaya kita. Dan kita berharap, ini menjadi program jangka panjang yang sistematis dan berkelanjutan. Tak sekadar kegiatan musiman.
Di ajang Pesta Buku Frankfurt tahun 2016, Indonesia layak hadir dengan kepala tegak. Dibanding setahun lalu, apalagi tiga puluh tahun silam, kita telah memiliki lebih banyak karya yang diapresiasi dunia dengan diterjemahkan dan diterbitkan dalam pelbagai bahasa. Kita memiliki kekayaan historis, kultural, dan intelektual yang beragam dan tak kalah bermutu dari bangsa lain. Kita telah ikut aktif menyumbang bagi peradaban dunia.
Penulis:
Anton Kurnia, penulis dan penerjemah karya sastra.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Wajah Indonesia di Pameran Buku Frankfurt 2015
Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair. 70 penulis Indonesia akan diboyong ke ajang tersebut. Termasuk diantaranya, Laksmi Pamuntjak dan Leila S. Chudori.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Laksmi Pamuntjak
Ada fase dalam sejarah Indonesia, di mana warna ‘merah’ identik dengan komunis, dianggap sesat dan harus diberantas. Laksmi Pamuntjak lahir tahun 1971, saat stigma komunisme masih kuat.
Foto: DW/L. Pamuntjak
Goenawan Mohamad
Tahun ini adalah tahun sibuk buat Goenawan Mohamad. Di tengah aktivitasnya mempersiapkan Indonesia jelang Pameran Buku Frankfurt, ia sempat bercerita tentang sihir sebuah esai dan pergulatannya menulis Catatan Pinggir.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma punya nama beken sebagai pendekar kata-kata atau pendekar cerita pendek. Kependekaran Seno terlihat dari kemampuannya melompat dari satu genre ke genre berikutnya.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Ayu Utami
Ayu Utami bukan hanya terkenal karena novelnya yang mendobrak tabu masalah seks. Ia juga selalu mempertanyakan tema agama secara kritis.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Taufiq Ismail
Kanon Sastra Indonesia menggolongkan Taifiq Ismail ke dalam angkatan 66, yang lahir di saat turbulensi politik di tahun itu, yang berujung pada tumbangnya rezim Sukarno dan naiknya rezim Soeharto.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Nirwan Dewanto
Nirwan Dewanto menulis puisi dalam sunyi untuk mengeksplorasi kekayaan kata-kata dalam bahasa. Tapi karirnya dalam film membuatnya harus tampil di depan publik dan keramaian.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Helvy Tiana Rosa
Penulis perempuan ini telah menghasilkan 50 buku. Mulai dari cerita pendek, novel, tinjauan sastra, dan naskah drama teater. Ia ingin berbakti pada Indonesia secara Islami dan mengekspresikannya dalam bentuk sastra.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Leila S. Chudori
Bermula dari fiksi anak dan remaja, Leila S. Chudori merambah dunia jurnalisme tanpa melupakan dunia fiksi. Karya-karya berikutnya mendalami sisi gelap politik dan tidak enggan mengupas tabu di masyarakat tradisional.
Foto: GIGABYTE
Linda Christanty
Penulis fiksi dan jurnalis. Demikian gelar yang disandang Linda Christanty. Karya-karyanya dikenal mengupas secara tajam realita sosial dan politik di Indonesia.
Foto: GIGABYTE
Franz Magnis-Suseno
Di Indonesia dia membumi. Sejak 1961 Franz Magnis Suseno tidak cuma menyelami kebudayaan Jawa, melainkan ikut mempengaruhi tradisi intelektual nusantara yang baru seumur jagung.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
A.S. Laksana
A.S.Laksana adalah penulis lain yang turut meramaikan kahazanah sastra Indonesia. Kecintaannya pada cerita dan narasi nyaris tak mengenal batas. Sulak, begitu ia dipanggil, juga gemar berbagi ilmu cara bercerita.
Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)
Sapardi Djoko Damono
Seorang pujangga senior Indonesia berkarya lewat puisi dengan kata-kata yang sederhana dan lembut. Dia adalah Sapardi Djoko Damono, salah satu penyair paling produktif yang ada di tanah air.