1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Dari Pengelola Website Jadi Relawan Makamkan Korban COVID-19

Kusumasari Ayuningtyas
31 Agustus 2021

Aktivitas sebagai relawan yang mengurus dan memakamkan jenazah korban COVID-19 membuat ia jadi bahan gunjingan karena sering pulang dini hari. Tapi pengelola website ini tetap ringan hati menjalaninya.

Liezha Yuvita Sikku
Liezha Yuvita Sikku, pengurus website yang terpanggil menjadi relawan pengurus jenazah korban wabah coronaFoto: Privat

Pagi itu di Balai Desa Nglinggi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, seorang perempuan berpembawaan riang dengan rambut cepak menghampiri DW Indonesia yang sudah membuat janji untuk bertemu. Kegiatannya memang berbeda dari kegiatan kebanyakan perempuan di lingkungannya.

Sehari-hari, Liezha Yuvita Sikku, 32, bertugas mengurusi laman internet milik pemerintah setempat. Namun selama pandemi, ia tergerak ikut memulasara jenazah pasien COVID-19 hingga memakamkannya.

Datang pukul 09.00 WIB, perempuan yang dipanggil Vita ini mengaku masih mengantuk. Ia baru saja tidur sekitar pukul 05.00 WIB karena sebelumnya harus memulasara dan memakamkan jenazah yang terpapar COVID-19 hingga pukul 03.00 dini hari.

"Sebentar ya aku absen dulu," ujar perempuan dengan rambut yang dicat putih keabuan itu sambil menjelaskan bahwa kalau telat absen, ia tidak akan dihitung masuk kerja pada hari itu. Vita sehari-hari bekerja sebagai pengelola laman internet di Kantor Perpustakaan di Balai Desa Nglinggi, Kecamatan Klaten Selatan yang masuk wilayah administratif Kabupaten Klaten.

Sesampainya di kantor, ia langsung dihujani tugas mengunggah berbagai konten di laman internet milik pemerintah setempat. Kemampuan ini ia dapatkan dari belajar secara otodidak lewat situs-situs seperti YouTube. Perempuan lulusan sekolah menengah atas ini memang telah lama tertarik mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan internet, sosial media, dan fotografi hingga ia dipekerjakan di balai desa.

Terpanggil ke dunia pemulasaraan jenazah COVID-19

Juni 2021 lalu ketika angka kasus COVID-19 berada di puncaknya di Kabupaten Klaten dan bisa mencapai 80 bahkan lebih dari 100 orang meninggal akibat wabah ini per harinya. Vita merasa terpanggil. Ia pun mulai mendaftarkan diri sebagai relawan penanganan COVID-19 dan bergabung dalam Forum Relawan Klaten Selatan (Forkles). Saat itu Kabupaten Klaten termasuk kategori Zona Hitam di Jawa Tengah.

Liezha Yuvita Sikku dan rekan sesama relawan sering bertugas hingga pukul 3 dini hari saat wabah corona berada di puncaknyaFoto: Privat

"Waktu saya mendaftar, saya bertanya, apa yang bisa saya bantu, mereka langsung minta saya ikut di tim pemulasaran jenazah," ujar ibu anak dua ini kepada DW Indonesia di ruang kerjanya. 

Pada waktu mendaftar, dia menjadi satu-satunya relawan perempuan di tingkat desa. Sementara di tingkat kecamatan ada total 120 relawan, 4 di antaranya perempuan yang lebih dulu ikut serta, 2 tim pemulasaran dan 2 lainnya di dapur umum.

Saat ditanya apakah ada perlakuan yang berbeda dari timnya mengingat dia satu dari sedikit anggota relawan perempuan, dia mengatakan bahwa semua diperlakukan sama saja. Tidak ada diskriminasi, bahkan tugasnya pun sama saja kecuali terkait pemulasaran jenazah, tentunya Vita bertugas untuk memulasara jenazah perempuan.

Hal ini dibenarkan oleh Widi Martanto (30), salah satu rekan Vita yang sama-sama menjadi relawan pemulasaran jenazah COVID-19, mengatakan Vita sendiri tidak kemudian menutup diri dan menjaga jarak dengan rekan-rekan yang lain juga tidak pilih-pilih penugasan.

"Dia mau membaur dengan rekan-rekan yang lainnya, selain itu dia juga mau belajar dan banyak bertanya karena memang dunia relawan pemulasara Covid-19 ini hal baru baginya," ujar Widi.

Bukan pekerjaan ringan

Kepada DW Indonesia, Vita mengakui bahwa tugas memulasara dan memakamkan jenazah yang meninggal akibat corona maupun yang dicurigai terpapar corona bukanlah urusan mudah.

Ia menggambarkan, idealnya satu jenazah diurus oleh 4-6 orang relawan karena mereka harus secara bergantian menangani jenazah tersebut dari pemulasaraan hingga ke penguburan. Namun terkadang jumlah relawan terbatas dan satu jenazah diurus oleh tiga orang.

"Relawan harus bertugas bergantian, karena akan terasa sangat gerah dan panas ketika memakai pakaian APD," ujarnya. Saking panasnya, beberapa relawan yang tidak kuat bahkan bisa merasa mual hingga jatuh pingsan karena harus terus melakukan aktivitas fisik di dalam pakaian pengaman itu.

Vita tidak hanya memulasara jenazah. Dia sering juga ikut turun hingga ke liang lahat dan memakamkan jenazah COVID-19 bersama timnya. Tidak hanya itu, dia juga turun ke dapur dan memasak untuk anggota tim relawan meski nyaris tidak pernah memasak kalau di rumah, ujarnya sambil tertawa.

Kegemarannya belajar dan mencari tahu tentang dunia internet dan sosial media membuat Vita dipercaya mengelola website pemerintah setempat.Foto: Privat

Vita mengaku menjalani semua itu dengan ringan hati. Hal ini juga diakui oleh Ketua Forkles, Joko Riyanto, yang mengatakan bahwa ia bisa mengandalkan Vita di dalam situasi apa pun dan kapan pun. "Dia ini multitalenta dan selalu siap siaga jam berapa pun dibutuhkan," ujar Joko.

Seolah diberi kesempatan kedua

Tumbuh besar sebagai anak dari keluarga broken home, Vita sebagai remaja dan perempuan muda dikenal sebagai sosok yang "gemar mencari masalah". Sejak kecil dia merasa tidak punya teman dan penampilannya yang cenderung berbeda dari teman sebaya juga membuatnya merasa tidak diterima.

Ia bahkan sempat pergi ke Malaysia selama beberapa bulan sebelum kembali untuk tinggal bersama sang ibu di Klaten. Ia lalu dilatih menjadi relawan dan aktivis sejak ikut membantu seorang rekannya yang bekerja sebagai fasilitator lokal untuk program Desa Damai pada tahun 2017. Program yang diinisiasi lembaga nirlaba Wahid Foundation ini antara lain berfokus pada upaya pemberdayaan perempuan.

"Aku belajar bergaul sama orang, berkomunikasi dengan orang yang beragam yang aku temui setelah aku dilibatkan di WF (Wahid Foundation), juga belajar leadership, terus jadi relawan seperti sekarang," ujar Vita yang kemudian menjadi fasilitator lokal di Desa Damai Nglinggi mulai tahun 2018 sampai sekarang.

Dari seorang perempuan muda yang minder namun kerap berulah, Vita seolah merasa diberi kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih berguna. Sri Mardani (29) yang pernah menjadi fasilitator lokal Desa Damai pada tahun 2017 menjadi saksi transformasi Vita. Perempuan itu perlahan menjadi sosok yang percaya diri dan banyak terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan. Kemahirannya di bidang teknologi juga membuat Vita sering dimintai tolong oleh para ibu di desanya.

Jauh dari keluarga dan masih sering dicurigai

Saat ini, Vita tinggal terpisah dari suaminya yang berada di Kebumen untuk merawat sang ibu. Sementara pengurusan kedua anaknya ia pasrahkan kepada ibunya sendiri. Tinggal jauh dari suami juga sempat membuat masalah sendiri bagi Vita. Para tetangga sering curiga, apalagi ditambah kegiatan Vita yang mengharuskannya pulang malam hingga dini hari.

"Dulu pernah saya dicurigai, sudah jauh dari suami, pulangnya malam, dini hari, bahkan tidak pulang. Tetangga mempertanyakan apa yang saya lakukan," tutur Vita sambil tersenyum.

Menurut Vita, kecurigaan seperti itu sudah lumrah dan biasa dia hadapi. Dia bisa memastikan, kalau ada tetangganya curiga kemungkinan besar tidak punya akun media sosial atau tidak terhubung dengannya di media sosial sehingga tidak bisa mengetahui aktivitas kesehariannya. Vita memang sangat aktif di media sosial dan memposting berbagai kegiatannya sebagai relawan di media sosial termasuk kerja-kerjanya dengan Wahid Foundation.

Untuk mengurangi kecurigaan, tidak jarang pula ia mengklarifikasinya dengan cara menemui dan memberikan konfirmasi langsung kepada masyarakat sekitar saat mengikuti kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) di desanya.

Dan Vita memang berniat untuk terus bekerja, baik sebagai pengelola website maupun relawan, selama tenaganya dibutuhkan. Di akun instagram miliknya Vita menulis, bahwa relawan hanyalah sekumpulan orang yang membalas nikmat dari Tuhannya. Ia juga percaya, bahwa tugas orang yang beriman pada Tuhan adalah kemanusiaan.

"Inilah yang bisa saya ajarkan kepada anak-anak saya, mengingatkan mereka bahwa bahasa terbaik manusia adalah kemanusiaan," pungkasnya. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait