Jerman Tampung 58 Pengungsi Anak-Anak Dari Kamp di Yunani
17 April 2020
Jerman mengikuti langkah Luxembourg akan membawa lebih 50 anak-anak pengungsi dari kamp di Yunani. Bagaimana persiapan di Jerman untuk mengakomodasi anak-anak yang mengalami trauma ini?
Iklan
Minggu depan, 58 pengungsi anak-anak di bawah umur dan tanpa pendamping akan diterbangkan dari kamp penampungan pengungsi di pulau Lesbos Yunani ke Jerman. Semuanya berusia di bawah 14 tahun. Kondisi di kamp-kamp penampungan pengungsi memang parah. Mereka mengalami kelaparan, dan seringkali kekerasan. Dua minggu pertama di Jerman, mereka akan menjalani karantina.
Frank Mischo, dari organisasi Kindernothilfe (Bantuan Darurat untuk Anak-anak), adalah salah satu koordinator yang terlibat dalam proyek ini. "Anak-anak pengungsi itu harus diperlakukan secara khusus", katanya.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka dikurung di pemukiman mereka," kata Frank Mischo kepada DW. Anak-anak harus bisa keluar di udara segar dan tidak dikurung di "sel isolasi." Banyak dari mereka yang mengalami trauma berat dengan apa yang telah mereka lalui, tambahnya.
Bantuan ibarat 'setetes air di lautan'
Frank Mischo mengatakan, "yang terpenting adalah bahwa anak-anak itu mendapatkan penjelasan lengkap, mengapa mereka harus diisolasi dan berapa lama hal itu akan berlangsung." Kindernothilfe telah bekerja sama dengan otoritas yang berwenang dan para spesialis. Organisasi-organisasi bantuan yang terlibat menyatakan, mereka akan membutuhkan tenaga penerjemah untuk membantu menjelaskan kepada anak-anak informasi yang paling mereka butuhkan.
Frank Mischo menerangkan, semua bantuan yang diberikan kepada anak-anak pengungsi ini ibaratnya hanyalah "setetes air di lautan." Pemerintah dan politisi Jerman menjanjikan akan membawa 300 sampai 500 pengungsi anak-anak ke Jerman, tapi itu pun masih jauh dari memadai.
Kindernothilfe mengatakan situasi di kamp pengungsi Moria di pulau Lesbos, Yunani, “sangat mengerikan.” Organisasi itu memperkirakan ada lebih dari 40.000 pengungsi yang saat ini tinggal kamp-kamp pengungsi di pulau-pulau Yunani. Menurut Frank Mischo, ada sekitar 5.000 anak-anak di bawah umur yang mengungsi tanpa pendamping.
Memang tidak ada statistik resmi tentang itu. Namun terutama bagi anak perempuan, situasinya sangat berbahaya. Mereka sering dihadapkan dengan kekerasan seksual dalam kondisi kehidupan yang serba sempit di kamp pengungsi.
Otoritas di Berlin bekerja erat dengan dua klinik khusus. Seorang juru bicara pemerintah di Berlin menjelaskan, ada struktur untuk memastikan bahwa anak laki-laki dan perempuan, yang dalam banyak kasus telah menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun di penampungan pengungsi, bisa mendapatkan perawatan psikologis.
Anak-anak itu kemudian akan dibawa ke fasilitas untuk kesejahteraan remaja. Setelah itu mereka akan mendapat perawatan individual dan perhatian intensif dari spesialis kesejahteraan remaja. Barulah kemudian mereka bisa bergabung dengan keluarga asuh yang bersedia menerima mereka.
Menteri Urusan Keluarga di negara bagian Berlin, Sandra Scheeres mengatakan kepada DW, pihaknya sudah siap menangani anak-anak pengungsi itu "Dalam beberapa tahun terakhir, Berlin telah memiliki banyak pengalaman dalam penampungani, akomodasi, perawatan dan pendidikan pengungsi anak-anak tanpa pendamping. Jadi kita punya fondasi yang kuat," pungkas Scheer.
(hp/ as)
Gelombang Migrasi Global
Ada 68 juta manusia yang terpaksa menjadi pengungsi. Mereka tersebar di lima benua dunia. Inilah kisah mereka dalam gambar.
Foto: Imago/ZUMA Press/G. So
Mengungsi dengan truk
Gerakan migrasi paling baru terjadi di Amerika Tengah. Kekerasan dan kelaparan menyebabkan orang-orang dari Honduras, Nikaragua, El Salvador dan Guatemala mengungsi. Tujuannya: Amerika Serikat. Namun di sana, Presiden Trump mengusir para migran tersebut. Sebagian besar pengungsi dari Amerika Tengah itu terdampar di perbatasan Meksiko-Amerika Serikat.
Foto: Reuters/C. Garcia Rawlins
Pengungsi yang dialihkan
Pemerintah konservatif Australia tidak mau menerima pengungsi. Mereka yang benar-benar berhasil mencapai Australia akan langsung dideportasi. Pemerintah Australia telah menandatangani perjanjian dengan beberapa negara Pasifik, termasuk Papua Nugini dan Nauru, untuk menempatkan para pengungsi di kamp di negara-negara tersebut. Pengamat menggambarkan situasi ini sebagai sesuatu yang sangat buruk.
Foto: picture alliance/AP Photo/Hass Hassaballa
Pengungsi yang terlupakan
Hussein Abo Shanan berusia 80 tahun. Dia hidup sebagai pengungsi Palestina di Yordania selama beberapa dekade. Kerajaan ini memiliki hampir sepuluh juta penduduk. Di antara mereka adalah 2,3 juta pengungsi terdaftar dari Palestina. Sebagian dari mereka hidup sejak tahun 1948 di negara itu - setelah berakhirnya perang Arab-Israel. Selain itu, Yordania menampung sekitar 500 ribu pengungsi Suriah.
Foto: Getty Images/AFP/A. Abdo
Diterima oleh tetangga
Kolombia adalah kesempatan terakhir bagi banyak pengungsi dari Venezuela. Di sini mereka tinggal di kamp-kamp seperti "El Camino" di luar ibukota Bogota. Kebijakan Presiden Nicolás Maduro menyebabkan pemerintah Venezuela tidak mampu mendukung warganya. Persediaan makanan dan obat-obatan menipis.
Foto: DW/F. Abondano
Menerjang dingin
Dari waktu ke waktu, mereka yang ingin mengungsi ke Eropa, seperti para lelaki di gambar, mencoba menyeberangi perbatasan Bosnia-Herzegovina ke Kroasia. Kroasia sebagai anggota Uni Eropa adalah tujuan para migran. Rute ini berbahaya, terutama di musim dingin di Balkan. Salju, es dan badai menyulitkan pendakian.
Foto: picture-alliance/A. Emric
Perhentian terakhir: Bangladesh?
Musim hujan di kamp pengungsi Kutupalong di Bangladesh. Para wanita Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar melindungi diri dari hujan dengan payung mereka. Lebih dari satu juta Muslim Rohingya melarikan diri dari pasukan Myanmar ke negara tetangga. Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia, kewalahan dengan situasi ini. Kutupalong saat ini adalah kamp pengungsi terbesar di dunia.
Foto: Jibon Ahmed
Hidup tanpa jalan keluar
Banyak mineral dan tanah yang subur: Republik Afrika Tengah sebenarnya memiliki segalanya untuk membangun masyarakat yang stabil. Namun perang saudara, konflik dengan negara-negara tetangga, pemerintah yang korup dan pemahaman Islam radikal memicu kekerasan di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan banyak orang, seperti tampak pada foto, tinggal di lokasi penampungan di kota Bangui.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Blackwell
Tiba di Spanyol
Dibungkus selimut merah, para pengungsi dirawat oleh petugas Palang Merah setelah tiba di pelabuhan Malaga, Spanyol. 246 migran diselamatkan oleh kapal penyelamat "Guadamar Polimnia". Banyak orang Afrika mengambil rute Mediterania barat dari Aljazair atau Maroko untuk mencapai pantai Eropa.
Foto: picture-alliance/ZUMA Wire/J. Merida
Pengungsi Sudan di Uganda
Untuk waktu yang lama, Uganda adalah negara yang dilanda perang saudara. Namun, situasinya kini telah lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara Afrika lainnya. Bagi para pengungsi dari Sudan Selatan ini, kedatangan mereka di Kuluba mereka berada dalam situasi yang aman. Ratusan ribu orang Sudan Selatan kini menemukan perlindungan di Uganda. (Ed: na/ap)