1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Daripada Beli Air Minum Galon, Yuk Tampung Air Hujan Gratis!

Caesarianda Kusumawati
23 Agustus 2024

Air hujan bisa jadi solusi krisis air minum, jadi enggak harus melulu beli air galon. Memangnya bisa diminum? Intip cara Sri Wahyuningsih dari Sleman mengedukasi warga: dari sedekah, hingga sekolah.

Sri Wahyuningsih menjelaskan sistem elektrolisis pada air hujan yang dipanen dan siap untuk dikonsumsi.
Sistem elektrolisis air yang bisa menyaring air hujan untuk siap minum.Foto: Andreas Pamungkas

Sadarkah kamu kalau kebanyakan orang di Indonesia itu belum mandiri air? Air yang memiliki peran penting bagi tiap manusia di Bumi idealnya bisa dikonsumsi dengan layak tanpa harus bayar.

Tapi sayangnya, negara kita ini termasuk salah satu dari banyak negara yang masih belum bisa mandiri air minum. Ini antara lain disebabkan oleh kontaminasi sumber air karena limbah, dan sistem filterisasi yang belum memadai.

Di kota besar seperti Yogyakarta saja, lebih dari 3,5 juta jiwa berpotensi terpapar krisis air dan bencana kekeringan, yang memperburuk kesediaan air bersih.

Terus, sampai kapan kita harus beli air minum kemasan, atau bahkan beli air untuk mandi dan masak?

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Air hujan bisa jadi solusi krisis air

Masa iya? Bagaimana bisa? Bisa, dan sudah ada di Sleman, Yogyakarta.

Di sana, warga berbondong-bondong datang dengan galon untuk isi air secara gratis di rumah Sri Wahyuningsih. Dia mendirikan Komunitas Banyu Bening, yang kerap mengedukasi warga tentang potensi air hujan untuk kebutuhan sehari-hari.

Toren yang berisi hasil panen air hujan di rumahnya seolah jadi berkah buat banyak orang. Ada yang rela menempuh jarak hingga 20km dari Sleman untuk bisa dapat air itu.

Air minum di rumah Sri ini bersumber dari air hujan yang diproses secara elektrolisis dengan sistem filterisasi yang dikembangkan sendiri oleh Sri. Alat untuk memproses air hujan lanjutan yang bernama elektrolisis air ini bisa memecah partikel air, dan menghasilkan dua rasa berbeda.

Air dengan potensi hidrogen tinggi biasanya untuk air minum, sedangkan air dengan kandungan oksigen tinggi atau biasa dikenal dengan "air asam" cocok untuk perawatan kulit seperti mengatasi gatal-gatal atau jerawat, berkat kandungan antiseptik yang tinggi, yang juga aman untuk mencuci sayur dan buah.

Pengisian galon air hujan di rumah Sri WahyuningsihFoto: Andreas Pamungkas

Air hujan ditampung Sri di toren berkapasitas 20.000 liter, yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan selama setahun. Tangkapan air hujan ini disalurkan melalui pipa dengan teknologi Gama Rain Filter. Dengan cara ini, air hujan akan diproses lewat tiga kali filterisasi hingga akhirnya bisa kita minum.

Terdengar cukup simpel untuk diterapkan di masyarakat ya? Bahkan sebenarnya, proses elektrolisis itu bukan satu-satunya langkah untuk menjadikan air hujan aman untuk dikonsumsi. Alternatif lain, bisa dengan menggunakan sinar UV atau direbus. Setelahnya, bisa langsung diminum!

Coba dulu...

Sejak 2019 Sri menggagas Sekolah Banyu Bening untuk mengedukasi masyaraakt sekitar tentang air hujan. Di sini, ia sekaligus berbagi ilmu secara gratis tentang cara memanen air hujan sendiri.

Tapi ini juga tak luput juga dari kendala. Konsep meminum air hujan yang terdengar kurang familiar ini pernah menimbulkan skeptisisme pada awal pengenalannya.

"Wah, orang harus mau minum air hujan?!" kata dia meniru komentar warga waktu itu. Meski setelah mencoba, ternyata tidak ada masalah. 

Dari aksi "sedekah air hujan" yang dilakukan Sri, banyak warga yang tadinya meminta air gratis, kini memulai aksi serupa.

Sistem filterisasi "Gama Rain Filter"Foto: Andreas Pamungkas

Agus Prasetyo, dosen teknik kimia dari Universitas Gajah Mada, yang juga aktif jadi relawan di Sekolah Banyu Bening berpendapat jika di satu kawasan ada satu sentra pemanenan air hujan, atau bahkan tiap rumah mampu memanen air hujan, masalah air bersih ini bisa segera terselesaikan. Terdengar simpel ya?

Konsumsi air galon suburkan praktik kapitalisme dan krisis lingkungan

Solusi krisis air minum di masyarakat Indonesia saat ini masih sebatas diatasi dengan cara beli air galon. Ini sangat disayangkan Agus dari UGM.

Konsumsi air galon tidak memecahkan krisis air, tapi hanya memindahkan masalah untuk dieksploitasi. Jadi, ini bukan solusi jangka panjang dan berkelanjutan.

Perusahaan air mengeksploitasi, dan konsumen akan terus bergantung pada air kemasan untuk minum. Ketergantungan ini juga akan menimbulkan masalah lingkungan lainnya, seperti sampah plastik misalnya. Dan dampak ini pun tidak bisa menyulap sumber-sumber air yang sudah terkontaminasi jadi kembali bersih.

Terlebih lagi, rata-rata satu keluarga yang anggotanya berjumlah tiga orang membutuhkan sekitar sepuluh kali pengisian ulang air galon dalam sebulan. Biaya yang dikeluarkan berkisar Rp300 ribu hanya untuk air minum di wilayah Jabodetabek.

Bagi Sri, edukasi jadi faktor penting untuk memecahkan krisis air ini. Banyak yang masih belum sadar bahwa kita sedang hidup di tengah krisis air, dan tanpa kesadaran itu, tentunya solusi yang berkelanjutan untuk krisis air ini tidak akan timbul. Kebiasaan beli air yang sudah dipraktikkan sejak lama, membuat krisis ini kerap luput di masyarakat.

Laporan dari Sleman, Yogyakarta, oleh Andreas Pamungkas.

(ck/ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait