1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Indonesia Berpotensi Hadapi Masa Kritis Jelang Ramadan

Prihardani Ganda Tuah Purba
17 Maret 2020

Masa darurat bencana COVID-19 diperpanjang hingga 29 Mei 2020. Dalam masa ini Indonesia juga akan menjalani bulan puasa. Ada sejumlah hal yang perlu diantisipasi, termasuk aksi borong oleh masyarakat jelang Ramadan.

Ramadan 2017 | Indonesia
Foto: Reuters/Beawiharta

Pemerintah memperpanjang Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia lewat surat keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 13 A tahun 2020.

Perpanjangan status darurat ini berlaku selama 91 hari, terhitung sejak tanggal 29 Februari 2020 sampai dengan tanggal 29 Mei 2020, demikian tulis surat keputusan yang ditandatangani oleh Kepala BNPB Doni Monardo pada tanggal 29 Februari lalu. Ini merupakan perpanjangan dari masa darurat yang sebelumnya dimulai sejak 28 januari sampai 28 Februari lalu.

Surat itu juga menuliskan bahwa segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat ditetapkannya surat keputusan tersebut dibebankan pada Dana Siap Pakai yang ada di BNPB.

Dengan ditetapkannya masa darurat sampai 29 Mei 2020, berarti Indonesia akan menjalani periode bulan Ramadan dalam masa darurat. Apa dampak perpanjangan masa darurat COVID-19 ini jelang Ramadan? Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara memberikan pandangannya.

Waspada aksi borong jelang Ramadan

Menurutnya, yang perlu diantisipasi jelang bulan puasa adalah ketersediaan pasokan bahan pangan yang dapat langsung dikonsumsi masyarakat seperti bawang putih. Impor bahan pangan strategis seperti bawang putih saat ini terganggu oleh adanya wabah corona.

Untuk kebutuhan bawang putih, Indonesia selama bertahun-tahun bergantung dari Cina. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo seperti dilansir Tirto, pernah menyebutkan bahwa jumlah impor bawang putih dari Cina setara dengan 90 persen total kebutuhan bawang putih nasional.

Selanjutnya, yang perlu diantisipasi menurut Bhima adalah aksi borong oleh masyarakat jelang Ramadan. Ia menyebut gejolak COVID-19 dapat memicu kepanikan di masyarakat, yang kemudian mendorong pembelian bahan kebutuhan pokok secara berlebihan.

"Fenomena ini berbahaya. Jadi stoknya sudah berkurang karena ada panic buying, orang-orang kelas menengah atas melakukan panic buying plus ada juga yang memanfaatkan situasi untuk menimbun,” ujar Bhima kepada DW Indonesia, Selasa (17/03).

Hal lain yang juga perlu dicermati adalah kesiapan bahan baku industri makanan dan minuman. Seperti bawang putih, bahan baku industri makanan dan minuman Indonesia juga masih bergantung dari Cina.

"Ini bisa berpengaruh kepada industri. Bisa membuat harga bahan baku mahal apalagi dolar-nya tembus Rp 15.000 ini efeknya nanti ke mana-mana termasuk PHK dan lain-lain. Memang kita menghadapi masa kritis jelang ramadan untuk tahun ini,” jelasnya.

Instruksi Jokowi sulit direalisasikan

Lebih jauh, Bhima menilai instruksi Presiden Jokowi dengan meminta penggunaan anggaran kerja kementerian agar dapat diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah pandemik  virus corona sulit direalisasikan. Alasannya, pemerintah harus meminta persetujuan DPR terkait perubahan alokasi anggaran tersebut.

"Kalau ada perubahan-perubahan harus ke DPR. Sementara DPR juga dalam kondisi tidak bisa melakukan rapat, 'kan masih reses sekarang sampai 23 maret. Kalau kondisi darurat begini rapat di DPR, paripurna bisa mundur tanggal 29 Mei,” ujar Bhima.

Jokowi sebelumnya mengatakan bahwa ada alokasi anggaran sebesar 40 triliun rupiah dari paket-paket perjalanan kementerian yang dapat diarahkan untuk kebutuhan masayarakat yang lebih mendasar. Selain itu, program dana desa yang telah berjalan bertahun-tahun juga bisa menjadi salah satu instrumen pendukung menjaga daya beli masyarakat.

Bhima menyayangkan bahwa stimulus ekonomi yang pertama kali dilakukan pemerintah sejak wabah corona muncul hanya berfokus untuk menarik wisatawan dengan anggaran dana influencer 72 miliar rupiah dan memberikan kemudahan impor. Ia menilai belum ada upaya yang dilakukan untuk menjaga daya beli di masyarakat.

Meski begitu, ia mengapresiasi langkah pemerintah membebaskan PPh 21 atau Pajak Penghasilan Karyawan di sektor industri manufaktur selama 6 bulan walau dinilai agak terlambat. "Harusnya kalau mau menjaga daya beli masyarakat, (pembebasan) PPh 21 itu tidak hanya untuk industri manufaktur, tapi semua sektor.”

Apa yang bisa dilakukan?

Untuk menjaga stok kebutuhan bahan pokok, Bhima mengatakan harus ada koordinasi yang jelas antardaerah. Beberapa daerah yang terlambat panen beras misalnya, bisa menutupi kebutuhannya dari daerah lain yang masih surplus.

Kedua, pemerintah perlu mendorong subsitusi produk impor, seperti menjaga ketersediaan bawang putih secara merata. "Sentra-sentra penghasil bawang putih didorong, khususnya di daerah NTB,” ujar Bhima. Pemerintah juga perlu mencari alternatif negara asal impor, dan harus dilakukan sebelum masuk masa Ramadan.

(gtp/ae)