Dalam buku ajar agama Islam sempat ditemukan muatan yang mengandung intoleransi dan bernuansa kekerasan. Simak opini Monique Rijkers berikut ini.
Iklan
Hasil penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 78% guru agama Islam setuju penegakan syariat Islam, termasuk penerapan hukum rajam, cambuk dan potong tangan. Sementara dalam buku ajaran agama Islam sempat ditemukan muatan yang mengandung intoleransi dan bernuansa kekerasan.
Banyak orang dengan tegas akan merujuk pada pendidikan sebagai cara untuk meredam radikalisme dan mencegah terorisme. Dr. A. Elga Sarapung dari Interfidei, Yogyakarta saat memaparkan materi "Rencana Tindakan Untuk Mencegah Radikalisme” dalam acara Asia Interfaith Forum 2018 yang diadakan Pusat Studi Pesantren Juli silam pun menyakini pendidikan sebagai solusi.
Namun bagaimana bila ternyata para guru, apalagi guru agama yang terindikasi berorientasi Islamis dan mendukung tindakan kekerasan dalam menyikapi perbedaan?
Apa yang terjadi jika guru agama yang seharusnya mengajarkan keberagaman dan toleransi justru cenderung setuju penerapan syariat Islam dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini?
Sebagai orang tua dan penggiat keberagaman tentu saya galau mengetahui fakta tersebut. Ditambah lagi dengan temuan buku ajaran agama Islam yang memasukkan paham tokoh Islam dari Arab Saudi yakni Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikenal sebagai pendiri Wahabi dalam buku ajar SMA kelas XI.
Wahabi menjadi kontroversial di tanah air karena membolehkan umat Islam membunuh orang musyrik yang tidak menyembah Allah SWT (ditulis dalam buku ajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, halaman 78).
Selain buku ajar agama Islam untuk SMA, ditemukan pula buku untuk anak TK berjudul "Anak Islam Suka Membaca” jilid I-IV yang memuat kata-kata seperti "Cara Laga Ala Gaza”, "Berani Mati Bela Agama”, "bom” dan "kafir”. Kedua buku itu akhirnya ditarik karena dinilai berbahaya sebab dengan sengaja menanam sikap intoleran dan mengajarkan kekerasan kepada anak didik.
Solidaritas dan Toleransi di Jerman
Puluhan ribu warga Muslim di Jerman menunjukkan sikap solidaritas terhadap korban pembunuhan di Paris serta mendemonstrasikan toleransi di Jerman. Berjaga untuk menjaga kerukunan beragama adalah mottonya.
Foto: Reuters/F. Bensch
Jangan Salahgunakan Nama Islam
Seorang remaja perempuan dalam aksi di Gerbang Brandenburg Berlin membawa plakat bertuliskan "I'm Muslima #Not In My Name". Setelah serangan teror terhadap Charlie Hebdo, warga Muslim Jerman berinisiatif menggelar acara bersama perwakilan tinggi pemerintah Jerman untuk menujukkan bahwa Jerman terbuka dan toleran serta mendukung kebebasan berekspresi dan bebas menjalankan agama serta keyakinan.
Foto: picture-alliance/dpa/K. Nietfeld
Tidak Mau Dipecahbelah
Ketua Dewan Muslim Jerman, Aiman A. Mazyek di mimbar dalam acara di Berlin itu menyatakan: Kami tidak akan membiarkan masyarakat Islam dipecahbelah oleh kelompok ekstrimis yang hanya punya target mengobarkan kebencian dan memicu perselisihan. Ia juga mengajak para karikaturis untuk tidak melakukan generalisasi umat Islam, tapi lebih mengarahkan target kritikannya terhadap kelompok teroris.
Foto: Reuters/F. Bensch
Kerukunan Beragama
Sebuah poster yang terbaca 'Coexist' atau hidup berdampingan, yang disusun dari tiga lambang agama besar di Jerman yakni Islam, Yahudi dan Kristen melambangkan toleransi beragama di Jerman. Para pimpinan ketiga agama besar itu di Jerman, menyerukan agar warga tidak terprovokasi dan tetap menjaga kerukunan.
Foto: Reuters/Fabrizio Bensch
Membela Islam
Presiden Jerman Joachim Gauck menyatakan terimakasihnya kepada masyarat Muslim di Jerman yang menyatakan menentang teror dan jangan menyalahgunakan nama umat Islam untuk melakukan teror. Dengan memandang aksi kelompok anti-Islam Pegida, Gauck menyerukan, semua warga Jerman harus melawan dan mencegah serangan terhadap mesjid. Presiden Jerman juga mengritik sikap kebencian terhadap warga asing.
Foto: T. Schwarz/AFP/Getty Images
Islam Bagian dari Jerman
Kanselir Jerman Angela Merkel (ketiga dari kiri) bersama petinggi Jerman serta perwakilan pimpinan keagamaan secara simbolis menunjukkan kebersamaan, kerukunan dan toleransi. Merkel juga dengan tegas menyatakan. "Islam juga bagian dari Jerman." Kanselir Jerman dengan itu menunjukkan sinyal perlawanan terhadap kelompok anti-Islam yang makin marak di Jerman.
Foto: Reuters/F. Bensch
Untuk Kebebasan
Warga dalam aksi solidaritas dan toleransi di Berlin yang dikoordinir warga Muslim Jerman membawa plakat bertuliskan "Für Freiheit"--untuk kebebasan. Warga menyadari bahwa kebebasan berekspresi, mengungkapkan pendapat, kebebasan beragam dan kebebasan pers merupakan landasan untuk hidup bersama dengan damai dan tanpa ketakutan serta kebencian.
Foto: Reuters/Hannibal Hanschke
6 foto1 | 6
Hasil temuan
Temuan perihal guru agama dan materi intoleran dalam buku ajar tersebut dimuat dalam dua buku yang baru dirilis Juli 2018 oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta berdasarkan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2016 silam. Buku pertama berjudul, "Potret Guru Agama-Pandangan tentang Toleransi dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan” merupakan hasil penelitian kuatitatif terhadap 330 orang guru agama di sekolah umum dan madrasah di 11 kabupaten/kota di Indonesia yaitu: Aceh Besar, Pidie (Aceh), Makassar, Maros dan Bulukumba (Sulawesi Selatan), Garut, Tasikmalaya, Ciamis (Jawa Barat), Mataram, Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) dan Surakarta (Jawa Tengah).
Secara penelitian kualitatif, tim PPIM mewawancarai 175 narasumber, 17 orang di setiap lokasi. Buku kedua berjudul, "Intoleransi dalam Buku Pendidikan Islam?” yang juga merupakan hasil penelitian PPIM tahun 2016 di Jakarta, Jombang (Jawa Timur), Bandung dan Depok (Jawa Barat). Meski kontroversi buku ajar yang memuat paham radikal juga muncul di Makassar (Sulawesi Selatan), Indramayu (Jawa Barat) dan Karanganyar (Jawa Tengah) tetapi penelitian tidak dilakukan di ketiga lokasi terakhir.
Dari penelitian PPIM ditenggarai sebagian besar guru agama Islam tidak toleran terhadap umat agama lain karena menolak memberikan izin pembangunan rumah ibadah agama lain di wilayah tempat tinggal mereka (81%), tidak memberikan selamat hari raya kepada umat agama lain (74%) dan mayoritas menolak kepemimpinan non-Muslim dan sekitar 18% menolak guru non-Muslim di sekolah mereka. Bentuk intoleransi bukan hanya terhadap umat beragama lain namun juga menimpa umat dari tubuh Islam sendiri seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Sebanyak 80% guru agama Islam tidak bersedia menampung penganut Syiah atau Ahmadiyah jika mereka diusir dari kampung halamannya. Selain tidak toleran, 78% guru agama Islam setuju pada penerapan syariat Islam dan 77% mendukung organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.
Mendukung penegakan syariat Islam ini termasuk pada penerapan bentuk hukum Islam seperti rajam, cambuk dan potong tangan (hudud) yang dianggap dapat lebih memberikan efek jera dibandingkan hukum sipil yang selama ini berlaku di Indonesia.
Jumlah yang berimbang antara yang mendukung atau menolak ditemukan pada persetujuan pada pemimpin perempuan dan pandangan terhadap Pancasila dan demokrasi. Meski untuk Pancasila tak sedikit yang merujuk pada Pancasila versi Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluknya.
Sikap guru agama Islam yang mengakui Pancasila sebagai dasar negara tetapi intoleran dan diskriminatif dinilai oleh Didin Syafrudin, editor buku "Potret Guru Agama-Pandangan tentang Toleransi dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan” tak lepas dari perkembangan kelompok Islam baru pasca Reformasi 1998 yakni Tarbiyah, Front Pembela Islam, Front Umat Islam dan kelompok Salafi.
Kelompok-kelompok itu menyakini hanya dengan syariat Islam maka Indonesia bisa menjadi negara yang lebih baik. Temuan menarik datang dari para guru agama Islam di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam yang sudah menerapkan syariat Islam, ternyata sebagian besar guru agama Islam justru menilai penerapan hukum Islam hanya tajam ke masyarakat bawah namun tumpul ke atas.
Kabar baik dari hasil penelitian PPIM ini ternyata 78% guru agama Islam tidak setuju pada jihad peperangan fisik, tidak mendukung ISIS dan terorisme tetapi sekitar 23% guru agama Islam mengaku pernah menutup atau merusak rumah ibadah Syiah dan Ahmadiyah.
Meski terlihat kecil secara persentase, kenyataannya ada sekitar 75 guru agama Islam dari total 330 responden yang melakukan tindakan kriminal membuat kita wajib prihatin. Bahkan banyak orang tua akan semakin cemas jika mengetahui buku ajar agama Islam yang diproduksi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan cenderung intoleran dan mengajarkan kekerasan kepada anak didik.
Toleransi Beragama di Jerman
Toleransi beragama semakin digalakkan di Jerman. Itu diwujudkan antara lain dengan perayaan religi bersama, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, juga aktivitas kebudayaan lain.
Foto: picture-alliance/ZB
Merasa Anggota Masyarakat
Seorang perempuan muslim di Jerman mengenakan sebagai hijab sehelai bendera Jerman, yang berwarna hitam, merah, emas untuk menunjukkan keanggotaannya dalam masyarakat Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Poetry Slam Antar Agama
Perlombaan ini digelar 17 Agustus 2013 di Berlin. Pesertanya : penulis puisi dari kelompok agama Islam, Yahudi dan Kristen. Mereka membacakan sendiri karyanya. Pelaksananya yayasan Jerman, Friedrich Ebert Stiftung.
Foto: Arne List
Jurusan Teologi Yahudi
Jurusan ini diresmikan 19 November 2013 di Universitas Potsdam. Pada semester pertama, jurusan yang berakhir dengan gelar Bachelor ini memiliki mahasiswa 47 orang dari 11 negara. Jurusan ini juga terbuka bagi orang non-Yahudi, yang berniat mempelajari teologi Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Hari "Open Door" Mesjid 2013
"Tag der offenen Moschee" diadakan setiap tahun di Jerman, pada tanggal penyatuan Jerman, 3 Oktober. Pelaksanaannya dikoordinir berbagai perhimpunan Islam di Jerman. Lebih dari 1.000 mesjid di Jerman menawarkan ceramah, pameran, brosur informasi dan acara pertemuan serta tur di dalam mesjid. Setiap tahun lebih dari 100.000 warga menggunakan kesempatan untuk lebih mengenal Islam itu.
Foto: DW/R. Najmi
Mencari Informasi dan Berkenalan
Pengunjung pada hari "open door" di Mesjid Sehitlik, Berlin. Sebanyak 18 mesjid di Berlin, setiap tanggal 3 Oktober membuka pintunya bagi semua orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Saling Menerima
Suster dari tiga ordo Katolik mengunjungi mesjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim, pada "Hari Katolik" ke-98, tanggal 17 Mei 2012. Bertepatan dengan Hari Katolik tersebut, mesjid Yavuz Sultan Selim mengadakan hari pembukaan pintu.
Foto: picture-alliance/dpa
Pelajaran Agama Islam di Sekolah Jerman
Guru Merdan Günes berdiri bersama murid-murid di sekolah dasar kota Ludwigshafen-Pfingstweide, pada pelajaran agama Islam. Foto dibuat 09.12.2010. Pelajaran agama Islam mulai dilaksanakan di sebuah sekolah di negara bagian Rheinland Pfalz sejak tahun ajaran 2003/2004, dan sejak itu semakin diperluas.
Foto: picture-alliance/dpa
Belajar Toleransi
Guru Bülent Senkaragoz dalam pelajaran agama Islam di sekolah Geistschule di kota Münster. Foto dibuat 25/11/2011. Senkaragoz mengatakan, "Tugas saya bukan mengajarkan kepada murid, bagaimana cara sembahyang yang benar bagi seorang Muslim." Murid-murid di sini belajar tentang pentingnya toleransi. Pelajaran agama Islam dimulai di negara bagian Nordrhein Westfalen sejak 1999.
Foto: picture-alliance/dpa
"Mein Islambuch"
"Mein Islambuch“ (buku pelajaran Islam saya). Ini adalah buku pelajaran agama Islam baru untuk sekolah dasar. Ditulis oleh Serap Erkan, Evelin Lubig-Fohsel, Gül Solgun-Kaps dan Bülent Ucar. Di sebagian besar negara bagian yang dulu termasuk Jerman Barat, pelajaran agama Islam sudah termasuk kurikulum sekolah.
Berjalan Bersama
Buku pelajaran lain berjudul "Miteinander auf dem Weg" (bersama dalam perjalanan). Tokoh utama dalam buku itu hidup di dalam masyarakat, di mana pemeluk agama Kristen, Yahudi dan Islam hidup bersama dengan hak-hak sama. Seperti tampak pada salah satu ilustrasinya.
Foto: Ernst Klett Verlag GmbH, Stuttgart/Liliane Oser
Guru Agama Islam Orang Jerman
Annett Abdel-Rahman adalah guru pelajaran agama Islam di sekolah tiga agama di Osnabrück. Guru perempuan ini mengenakan jilbab, sementara rekannya yang Yahudi memakai kippah. "Bagi saya penting untuk memaparkan persamaan agama-agama Samawi kepada para murid," kata Annett Abdel-Rahman.
Foto: DW
Buka Puasa Bersama
Sebelum buka puasa bersama, para tamu membeli makanan dan manisan khas Turki, di Lapangan Kennedy di kota Essen. Dalam kesempatan ini umat berbagai agam bisa menikmati makanan bersama. Selama bulan puasa, hingga 500 orang, terdiri dari warga muslim dan non muslim datang ke tenda besar di lapangan tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Sama-Sama Warga Kota
Di bawah moto ”Wir sind Duisburg” (kitalah Duisburg), penduduk sekitar rumah tempat tinggal warga Roma di kota Duisburg dan sejumlah ikatan masyarakat serta persatuan warga Roma mengundang imigran untuk bersama-sama menyantap sarapan.
Foto: DW/C. Stefanescu
Pekan Antar Budaya
Seorang perempuan Senegal berdiri di lapangan pusat kota Halle an der Saale, di sebelah gambar gedung pemerintahan Rusia, Kremlin. Dalam "Interkulturellen Woche Sachsen-Anhalt" diadakan berbagai pesta, pameran, ceramah di negara bagian itu. Tujuannya mengembangkan toleransi bagi warga asing dan pengungsi. Pekan budaya ini adalah inisiatif gereja Jerman, dan diadakan akhir September setiap tahun.
Foto: picture-alliance/ZB
14 foto1 | 14
Kecenderungan intoleransi
Kecenderungan intoleran nampak dari persepsi negatif terhadap Kristen dan Yahudi serta muncul dalam menyikapi perbedaan dalam Islam seperti praktik tawasul, ziarah, tahlil, terawih, qunut subuh dan jilbab. Muatan intoleran dalam buku ajar agama Islam di empat lokasi yang diteliti (Jakarta, Jombang, Bandung dan Depok) bisa jadi muncul karena buku ajar agama Islam selama ini dinilai hanya memuat sikap satu paham dalam Islam yaitu Nahdlatul Ulama.
Akibat kasus buku ajar intoleran ini, saya menyarankan agar setiap orang tua wajib mencari tahu isi buku teks yang ditentukan oleh sekolah anak-anak Anda. Sering-seringlah memantau pengajaran anak oleh guru dan mengawasi kegiatan ekstrakulikuler anak.
Sangat penting bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memuat bahan ajar agama Islam yang damai dan sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan, memberikan acuan yang jelas tentang toleransi dan menyikapi perbedaan tanpa kekerasan di tengah maraknya upaya pelbagai aliran Islam (Hizbut Tahrir, Salafi dan lainnya) mempengaruhi pendidikan Islam.
Kementerian Agama harus kembali terlibat dalam pembuatan buku teks bukan hanya mengevaluasi atau meverifikasi isi buku ajar agama Islam sesuai kewenangan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55/2007. Pemerintah diharapkan menyediakan anggaran memadai untuk penerbitan buku teks dan selektif menjaring penulis dengan perspektif keberagaman.
Yang terutama adalah pola perekrutan guru agama Islam berlatar belakang pendidikan pesantren, lulusan Fakultas Tarbiyah guru dan bukan hanya berpenampilan relijius dan fasih bahasa Arab tetapi juga memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. Tanpa guru agama dan buku ajar yang kokoh dalam toleransi dan kebangsaan maka akan lahir generasi penerus yang anti-keberagaman dan mengancam keutuhan NKRI.
Penulis: @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Dengan 200 Foto Telanjang Melawan Rasisme dan Intoleransi
Fotografer Rumania Tiberiu Capudean membuat potret telanjang hitam-putih, menunjukkan kisah hidup dari lebih 200 pria gay dari berbagai bangsa.
Foto: Javier Santiago
J. - Penjaga toko,, Spanyol
"Saya dibesarkan di sebuah desa di Spanyol. Saya sering diganggu di sekolah. Ketika berusia sekitar 13 tahun, seorang anak lelaki yang lebih tua mendekati saya waktu saya sedang duduk di bangku dan membaca. Dia mengatakan 'Kamu kotor!' Dan dia menuangkan sebotol susu cokelat pada saya. Saya kaget, sementara orang-orang di sekitar saya tertawa dan menatap saya seolah-olah saya adalah monster. "
Foto: Tiberiu Capudean
A. - Perancang mode, Spanyol
"Saya bekerja di lingkungan yang sangat 'machista'. Meskipun tidak ada yang menindas saya secara pribadi, saya melihat apa yang terjadi pada orang gay yang lebih muda yang bekerja dengan saya. Apa arti 'maskulin'? "Apakah kita semua harus muda dan kuat? Apakah kita semua harus berotot? Apakah kita hanya objek seksual?"
Foto: Tiberiu Capudean
D. - Manajer IT, Belgia
"Waktu saya masih tinggal dengan orang tua, saya bekerja shift malam di toko roti lokal. Tiga hari setelah saya mengakui homoseksualitas saya kepada orang tua, di pagi hari Ibu masuk ke kamar saya. Dia kelihatan panik dan bertanya, "Kamu harus bilang siapa yang melakukan, ya?" Ternyata seseorang telah menulis kata 'homo' di kap mobil saya... Tapi saya anggap saja itu sebagai suatu kehormatan."
Foto: Tiberiu Capudean
D. - Manajer pemasaran, Italia
"Saya dari dulu sudah 'gendut.' Anak-anak di sekolah sering mengejek saya. Saya tumbuh di kota kecil di Italia dan tidak pernah menyatakan orientasi seksual saya. Pada usia 30, saya meninggalkan Italia dan pindah ke Perancis karena perspektif kehidupan gay lebih baik. "Saya pernah mengalami krisis dan merasa sangat kacau. Sekarang, saya mencoba menerima diri saya dan bahagia dengan badan saya."
Foto: Tiberiu Capudean
S. - Aktor, Perancis
"Di Eropa Timur, saya tinggal di apartemen seorang perempuan tua, di sebuah menara yang sudah kusam. Dia mengundang cucunya bertemu saya. Kami minum vodka, langsung dari botol. Dia mulai berbicara tentang apa arti keluarga dan bertanya, apa yang saya pikir tentang itu? 'Saya tidak tahu,' kata saya (berbohong). 'Saya tidak pernah benar-benar memikirkan mereka'.
Foto: Tiberiu Capudean
Tiberiu Capudean, fotografer Rumania dan aktivis LGBT
"Pria telanjang di foto-foto ini adalah aspek yang paling tidak penting. Tujuan saya adalah untuk menunjukkan bahwa keragaman adalah sesuatu yang normal, baik itu menyangkut orientasi seksual, bentuk tubuh, usia atau ras." (Teks: Lavinia Pitu/hp/ )