Timbunan sampah yang mencemari pantai di Bali mengancam bisnis pariwisata dan kelangsungan ekonomi masyarakat lokal. Namun darurat sampah di pulau Dewata juga turut melahirkan gagasan kreatif penanggulangan limbah
Iklan
Lima tahun lalu pemandu wisata Wayan Aksara mulai menyadari semakin banyak pelancong yang mengeluhkan tumpukan sampah di pantai Bali. Di rumahnya di kawasan kaum miskin dekat pantai Saba, Aksara pun belakangan ini juga mulai merasakan dampak tumpukan sampah yang dibawa oleh aliran sungai ke pesisir pantai.
"Setiap kali kami berkeliling, tamu-tamu saya mengeluh kenapa pantainya tidak bersih dan banyak sampah plastik," katanya. "Mereka lalu bilang pariwisata di sini tidak berkelanjutan dan bertanya apa yang bisa kita lakukan untuk menanggulanginya?"
Ia pun bergabung dengan komunitas Trash Hero Indonesia yang memiliki 20 cabang di seluruh Nusantara, 12 di antaranya di Bali. Mereka menggunakan media sosial untuk mengorganisir aksi gotong royong membersihkan sampah setiap pekan.
Sampah laut rugikan negara milyaran Dollar
Timbunan limbah plastik yang terseret arus dan mengotori pantai Bali belakangan mulai menyita perhatian masyarakat. Kawasan pesisir Indonesia yang padat penduduk ikut menciptakan "arus sempurna" bagi sampah untuk menyebar, kata Susan Ruffo pakar oseanografi, dari LSM Amerika Serikat, Ocean Conservacy.
Avani Cegah Bumi Jadi Planet Plastik
Indonesia tercatat sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia, Sebuah perusahaan peduli lingkungan di Bali tak ingin melihat Bumi Indonesia jadi rusak akibat sampah plastik. Apa yang dilakukannya?
Foto: Avani-Eco 2017
Dari darat ke lautan
80 persen sampah plastik di lautan berasal dari daratan. Tempat penampungan sampah terbuka menyebabkan sampah bisa terbawa angin. Lewat sungai, sampah kemudian sampai ke lautan. Rata-rata kantung plastik digunakan hanya 25 menit. Tetapi untuk hancur dan terurai di alam dibutuhkan hingga 500 tahun.
Foto: Avani-Eco
Gerakan 3R? Tidak cukup
Seorang pengusaha di Bali merasa muak terhadap maraknya sampah plastik yang mengotori Pulau Dewata. Kevin Kumala mencoba untuk mengatasi masalah tersebut dengan mencari solusi alternatif untuk menggantikan plastik konvensional. Baginya, plastik yang bisa terurai akan melengkapi gerakan 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Ditambah satu R lagi, Replace atau membuat pengganti.
Foto: Avani-Eco 2017
Buat produk ramah lingkungan
Lewat perusahaan Avani Eco, sang pengusaha itu kemudian memproduksi barang-barang unik: tas dari bahan dasar singkong, wadah makanan terbuat dari tebu dan sedotan dibuat dari jagung.
Foto: Avani-Eco 2017
Dasyatnya efek sedotan plastik
Bayangkan jika setiap hari, tiap warga Indonesia yang jumlahnya 250 juta orang menggunakan satu sedotan plastik dan membuangnya setelah sekali pakai. Sedotan yang mungil itu jadi masalah karena jika sampahnya terakumulasi, maka bisa mencapai 5.000 kilometer.
Foto: Avani-Eco 2017
Plastik ekologis
Produk baru diharapkan jadi solusinya, yakni: berbagai produk plastik ekologis. Bahan bakunya berasal dari sumber daya terbarukan. Karena itu dapat terurai dengan cepat menjadi kompos. Walau begitu, plastik ekologis ini juga tidak mudah sobek, bisa dibubuhi cap atau logo perusahaan, dan dapat diproses di mesin pengolah plastik konvensional.
Foto: static1.squarespace.com
Tak meninggalkan residu beracun
Pendiri perusahaaan ramah lingkungan tersebut, Kevin Kumala mengatakan materi produk-produknya dapat terurai di alam dengan relatif cepat dan tidak meninggalkan residu beracun. "Saya seorang penyelam dan peselancar. Selama ini saya banyak melihat sampah plastik ini di depan mata saya," kata Kumala menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk masuk ke bisnis "bioplastik".
Foto: Avani-Eco 2017
Produk paling diminati
Proyeknya dimulai saat masalah sampah plastik makin merajalela di Bali dan Jawa. Berkantor pusat di Bali, dengan pabrik utamanya di pulau Jawa, produk bioplastik Avani Eco mulai dijual pada tahun 2015. Produk yang paling populer adalah tas yang terbuat dari singkong – bahan makanan yang murah dan melimpah di Indonesia - dengan kata-kata "Saya bukan plastik" yang terpampang di tas tersebut.
Foto: Avani-Eco 2017
Bisa diminum
Kevin Kumala yang merupakan lulusan biologi, mengatakan tas kantung palstik ini bahkan juga bisa diminum. Caranya, celupkan tas yang terbuat dari singkong ke dalam segelas air panas. Tas itu kemudian larut dalam air dan bisa langsung diminum. "Jadi, ini memberi harapan kepada hewan laut, mereka tidak lagi tersedak atau tertelan sesuatu yang bisa berbahaya," katanya.
Foto: Avani-Eco
Masih mahal
Produk bioplastik lainnya telah lama ada di pasar, namun United Nations Environment Programme (UNEP) tampak ragu akan industri tersebut. Dalam laporan tahun 2015, Badan PBB itu menyimpulkan bahwa produk bioplastik cenderung lebih mahal dan tidak memainkan peranan utama dalam mengurangi sampah laut. (Ed: Purwaningsih/AS/copyright gambar: Avani Eco)
Foto: Avani-Eco 2017
9 foto1 | 9
Lembaga Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) mencatat pencemaran sampah di laut dan kawasan pantai di Indonesia menimbulkan kerugian senilai US$ 1,3 milyar per tahun untuk sektor pariwisata, perikanan dan perkapalan.
Pantai Saba yang dulunya dipenuhi pohon kelapa, kini nyaris tenggelam di antara tumpukan bungkus pasta gigi, sepatu, botol plastik, sedotan atau bekas bungkus rokok. "Ada masalah gawat sampah plastik di Bali. Kita butuh waktu tapi setidaknya sudah memulai," ujar Aksara. "Hal besar kan dimulai dari yang kecil," imbuhnya lagi.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mencanangkan program penanggulangan sampah plastik sebanyak 70% hingga 2025 senilai US$ 1 milyar. Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengaku telah mulai mengembangkan plastik sebagai bahan baku aspal. Proyek percontohan saat ini sedang dilakukan di Bekasi.
Penanganan sampah terpadu
Namun upaya pemerintah RI tersebut belum akan cukup cepat menuntaskan masalah sampah di Bali. "Jika anda menemukan sampah plastik di pantai, maka itu artinya sudah telat," kata Susan Ruffo dari Ocean Conservacy. "Sampah itu tidak seharusnya ada di sana. Bagaimana anda bisa menghentikannya di sumber asalnya? Tidak ada jurus pamungkas atau peluru perak dalam hal ini", tegasnya.
Manila Yang Tercekik Sampah Plastik
Distrik Tondo yang berdiri di antara tumpukan sampah plastik, menghidupi sekitar 600.000 penduduk miskin di Manila. Tanpa kawasan kumuh tersebut, ibukota Filipina akan tertimbun limbah plastik yang tak kunjung surut.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Sungai Plastik
Gambaran serupa juga dimiliki Indonesia: sebuah sungai di tengah kota yang dipenuhi sampah plastik. Sejak beberapa tahun terakhir organisasi lingkungan Greenpeace menempatkan ibukota Filipina, Manila, di urutan ke tiga dalam daftar sumber polusi sampah plastik terbesar di dunia, setelah Cina dan Indonesia.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Happyland yang Penuh Sampah
Happyland adalah sebuah kampung miskin di jantung Manila. Meski namanya yang mengindikasikan hal berbeda, "Hapilan" - begitu warga Filipina menyebut kawasan kumuh itu, berarti "sampah berbau busuk" dalam bahasa Tagalog. Di sini penduduk miskin Manila hidup dari mengumpulkan dan menjual sampah.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Plastik Bertukar Peso
Penduduk kawasan kumuh Happyland bekerja layaknya mesin daur ulang: Mereka mengumpulkan botol plastik dan jenis sampah daur ulang lain, memilah dan menjualnya kepada penadah untuk beberapa Peso. Hanya dengan cara itu mereka bisa bertahan hidup.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Sampah Menggiurkan
Meski begitu Happyland memangku harapan ribuan kaum miskin di Manila. Lantaran bisnis daur ulang sampah plastik, penduduk kawasan kumuh ini bertambah pesat dari 3.500 orang di tahun 2006 menjadi 12.000 orang pada 2016.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Berharap pada Pendidikan
Tidak sedikit anak-anak di bawah umur bekerja memulung sampah bersama orangtuanya. Kemiskinan yang menghimpit menjauhkan mereka dari sekolah. Namun kini muncul kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak mereka meski pendapatan yang ala kadarnya. Tanpa pendidikan, lingkaran kemiskinan di Happyland nyaris mustahil dipatahkan.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Bermain di Pantai Sampah
Jika anak-anak di Manila bermain di atas pantai, mereka tidak lagi bisa berlari di atas pasir putih, melainkan timbunan sampah. Selain kawasan kumuh seperti Happyland, sebagian sampah yang diproduksi di ibukota mendarat di pantai. Lemahnya penegakan hukum memperparah situasi tersebut, klaim organisasi lingkungan Greenpeace.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Kemasan Ramah Lingkungan?
Salah satu faktor maraknya sampah plastik adalah desain kemasan perusahaan besar. Greenpeace menuding Nestle atau Unilever ingin berhemat biaya dengan menjual kemasan sekali buang. Namun Nestle misalnya berjanji akan mengganti semua jenis kemasan menjadi lebih ramah lingkungan selambatnya tahun 2025.
Foto: Getty Images/J. Aznar
Duit Sengit Sampah Plastik
Happyland adalah bagian dari distrik Tondo yang menjadi kawasan miskin berpenduduk 600.000 orang di Manila. Di sinilah sebagian besar sampah ibukota diolah, meski tanpa infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Kelangkaan infrastruktur pula yang membuat limbah dari Tondo mencemari sungai Pasig yang melintasi Manila.(Wagner/Kling/rzn)
Foto: Getty Images/J. Aznar
8 foto1 | 8
Melacak asal muasal sampah di pantai Bali bukan hal mudah. Namun pakar lingkungan meyakini hingga 80% berasal dari penduduk pulau dewata sendiri. Tidak jarang sampah dari hotel atau desa-desa yang dikumpulkan pemulung dibuang begitu saja ke sungai.
Pemerintah dan penduduk Bali bukan bergeming. Desa Padangtegal di Kecamatan Ubud misalnya telah memiliki sistem swakelola pengelolaan sampah melalui Rumah Kompos. Berbekal enam truk, pengelola menjemput sampah dari hotel-hotel untuk dipilah dan diolah. Kapasitas Rumah Kompos nantinya akan diperbesar dengan bantuan dana dari pemerintah.
Model pendekatan yang lebih modern dilakukan di desa Sanur Kaja di Denpasar, di mana sebuah perusahaan rintisan bernama Gringo mengembangkan aplikasi buat melacak kendaraan pengangkut sampah dan memetakan wilayah pengumpulan. Dengan proses yang lebih efektif, mereka bisa mengumpulkan lebih banyak sampah ketimbang sebelumnya.
"Jika mereka berhenti bekerja selama sepekan, kota ini akan tertimbun sampah dalam waktu kurang dari satu minggu," kata salah seorang pendiri Gringo, Olivier Pouillon. Aplikasi yang dikembangkan Gringo juga menyediakan tabel perkembangan harga limbah plastik di pasaran. "Cara paling cepat menghentikan polusi adalah dengan melacak ke mana sampah pergi dan itulah yang kami lakukan," imbuhnya.
Alternatif Untuk Alat Makan Sekali Pakai
Komisi Uni Eropa merencanakan larangan alat makan plastik sekali pakai, seperti sedotan, sendok, garpu, pisau, gelas dan piring plastik. Jadi apa alternatif untuk sedotan plastik?
Miliaran sedotan plastik berakhir sebagai sampah. Uni Eropa bermaksud melarang sedotan plastik sekali pakai. Tetapi bagi mereka yang tidak bisa berhenti menggunakan sedotan - seperti Marco Hort, yang membuat rekor dunia dengan 259 sedotan plastik di mulutnya - ada alternatif ramah lingkungan.
Foto: AP
Sedotan yang bisa dimakan
Binatang laut sering menelan sedotan plastik. Demi perlindungan lingkungan, Anda sekarang bisa menggunakan sedotan yang bisa sekalian dimakan. Di Jerman, perusahaan Wisefood mengembangkan sedotan semacam itu dari sari jus apel. Sebagai alternatif lain, Anda tentu bisa menggunakan sedotan yang bisa dicuci dan dipakai lagi, misalnya sedotan dari kaca.
Foto: Wisefood
Tidak hanya sedotan
Banyak alat makan lain seperti sendok dan garpu sekali pakai dari plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Uni Eropa sekarang bermaksud melarang penggunaannya. Perusahaan India Bakey sekarang memproduksi garpu yang bisa ikut dimakan. Perusahaan AS SpudWares juga membuat alat makan dari tepung kentang. Mungkin makanan jadi lebih enak!
Foto: picture-alliance/dpa/M. Scholz
Murni dari bahan organik
Anda mungkin juga ingin mencoba piring yang dapat dimakan. Perusahaan Polandia, Biotrem, telah mengembangkan piring yang terbuat dari bahan yang bisa dimakan. Seandainya Anda sudah kenyang, piring itu tidak perlu Anda makan. Piring terbuat dari bahan organik dan bisa terurai seluruhnya setelah 30 hari.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Reszko
Bagaimana dengan gelas plastik?
Uni Eropa dalam jangka panjang juga ingin mendorong jaringan restoran cepat saji, kafe dan bar untuk mereduksi penggunaan gelas plastik. Setengah triliun gelas plastik digunakan setiap tahun - sebagian besar digunakan satu kali saja. Beberapa perusahaan sekarang menawarkan alternatif berbasis tanaman.
Foto: picture-alliance/empics/D. Thompson
Alternatif dari Bali
Perusahaan dari Bali, Avani, mengembangkan bioplastik kompos yang terbuat dari sari jagung. Gelasnya terlihat seperti gelas plastik biasa, tapi gelas ini dapat terurai di alam. Tapi sebaiknya gelas ini didekomposisi di fasilitas kompos komersial, jangan di belakang rumah Anda.
Foto: Avani-Eco
Cangkir yang bisa digunakan lagi
Cara mudah mengurangi sampah plastik adalah menggunakan gelas yang bisa digunakan berkali-kali. Tapi kita tidak selalu membawa gelas itu ke mana saja. Di Berlin sedang dilakukan uji coba dengan gelas bambu yang bisa dipinjam. Gelas itu diberikan dengan membayar uang jaminan. Kalau gelas itu dibawa kembali, uang jaminan akan dikembalikan.
Foto: justswapit
Korek kuping yang tidak mencemari laut
Produk plastik lain yang akan dilarang di Uni Eropa adalah korek kuping. Sekarang ada alternatifnya: batang yang terbuat dari bambu atau kertas. Tetapi aktivis lingkungan mengatakan, yang terbaik adalah membersihkan telinga Anda dengan handuk saja. Penulis: Katharina Wecker (hp/vlz)
Foto: picture alliance/dpa/Wildlife Photographer of the Year /J. Hofman