Rusia merapat ke Filipina sebagai bagian dari upaya mengikis pengaruh Amerika Serikat di kawasan. Untuk itu Moskow menawarkan bantuan dalam perang melawan terorisme dan perompakan, termasuk mengirim dua kapal perang.
Iklan
Rusia berniat menggelar latihan militer bersama dengan Filipina, dengan tujuan utama menangkal ancaman terorisme dan perompakan. Sebagai langkah awal Moskow mengirimkan dua kapal perang ke Manila.
Dua kapal Rusia tersebut adalah Admiral Tributs, kapal perusak anti kapal selam, dan kapal pengangkut bahan bakar Boris Butoma. Kedua kapal tiba di Manila pada Selasa (3/1) untuk kunjungan selama empat hari. "Pemerintah kami akan membahas kemungkinan latihan militer gabungan," kata Laksamana Pertama Eduard Mikhailov sembari menambahkan pihaknya juga pernah menggelar latihan bersama dengan militer Indonesia.
"Masalah terbesar di dunia saat ini adalah terorisme dan perompakan. Bersama anda kami akan memerangi masalah tersebut dan menunjukan kemampuan militer kami," imbuhnya.
Pertaruhan Maut Presiden Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte nekat meninggalkan sekutu lama Amerika dan bermain mata dengan Cina dan Rusia. Langkahnya itu bukan tanpa risiko terutama dalam isu Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Poros Tandingan
Duterte sudah jengah dengan Amerika Serikat. Sebab itu ia ingin membangun poros baru antara Manila, Beijing dan Moskow. "Saya tidak ingin bersama AS lagi, saya ingin bergabung dengan Cina dan Rusia," tukasnya. Untuk membuktikan ucapannya itu Duterte menghentikan latihan perang bersama dengan militer AS yang telah digelar selama 36 tahun dan mengabaikan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional
Foto: picture-alliance/Newscom
Berpaling dari ASEAN
Sebaliknya Duterte mengundang Cina dan Rusia untuk menggelar latihan militer bersama di Laut Cina Selatan. Ia juga mulai mengadopsi narasi Beijing, bahwa konflik seputar jalur laut paling gemuk di dunia itu adalah "murni masalah bilateral. "Saya tidak akan membawanya ke forum internasional, termasuk ASEAN." Dengan cara itu Duterte diyakini berharap bakal mendapatkan ganjaran setimpal dari Beijing.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Misi Ekonomi
Pasalnya kebijakan baru sang presiden bukan tanpa kalkulasi. Filipina sedang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur. "Ia melihat Cina adalah sumber terbesar dana investasi yang sangat dibutuhkan buat menggenjot perekonomian," kata Nick Bisley, Pakar Hubungan Internasional di Universitas La Trobe, Australia. Ironisnya saat ini AS dan Jepang adalah mitra dagang terbesar Filipina.
Foto: Imago
Kalkulasi Beijing
Namun begitu Cina juga tidak bebas dari rasa curiga. "Beijing masih berusaha menebak kemauan Duterte. Tapi jika sudah ketahuan, mereka akan memainkannya sesering mungkin buat melawan Washington," kata akademisi Filipina Walden Bello kepada Financial Times. Cina diyakini tidak akan memberikan konsensus di Laut Cina Selatan dengan mudah. Kesepakatan dengan Manila akan menjadi preseden di kawasan.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Bumerang di Dalam Negeri?
Sikap keras Cina bisa menjadi bumerang buat Duterte. Saat ini mayoritas penduduk FIlipina cendrung bersikap antipati terhadap Beijing. AS sebaliknya mencatat popularitas sebesar 91% dalam jajak pendapat PEW Research Centre tahun lalu. Kegagalan perundingan dengan Cina bisa mencederai reputasinya di mata masyarakat dan Filipina terancam isolasi diplomatik.
Foto: picture-alliance/dpa/Photoshot
Petaka di Perbatasan
Manila kini berupaya mendekati Cina agar bersedia menunda aktivitas pembangunan di Gosong Scraborough dan mengizinkan nelayannya menangkap ikan di perairan sekitar. Beijing belakangan mulai aktif menyulap pulau-pulau kecil di Spratly buat dijadikan pangkalan militer.
Titian Diplomasi
Pelik buat Duterte. Mayoritas penduduk Filipina juga tidak bersedia membuat konsensus dalam isu Laut Cina Selatan. Sebab itu ia mengklaim, "Tidak seorangpun akan menyerahkan sesuatu di sana," ujarnya merujuk pada LCS. Jelang lawatannya ke Cina, Duterte diwanti-wanti oleh Hakim Mahkamah Agung, Antonio Carpio, agar tidak tunduk pada kemauan Beijing. "Dia benar. Saya bisa dilengserkan," jawabnya.
Foto: picture alliance/DUMONT Bildarchiv/M. Sasse
7 foto1 | 7
Filipina menjauh dari AS
Militer Filipina mengaku ini kali pertama perwira tinggi militer Rusia bertemu langsung dengan perwira angkatan laut Filipina. Selama ini militer jiran itu banyak bergantung pada Amerika Serikat. Setiap tahun kedua negara selalu menggelar latihan militer bersama. Namun terakhir Presiden Rodrigo Duterte memerintahkan agar lokasi latihan dipindahkan dari Laut Cina Selatan agar tidak memprovokasi pemerintah Cina.
Kehadiran militer Rusia adalah bagian dari upaya pemerintah Filipina mencari sekutu baru selain AS. Bulan lalu Duterte mengirimkan menteri luar negeri dan pertahanan ke Moskow buat mengkaji perjanjian persenjataan. Langkah tersebut diambil setelah seorang senator AS mengklaim akan membatalkan penjualan 26.000 senapan serbu ke Filipina lantaran khawatir akan digunakan dalam perang narkoba.
"Anda bisa memilih untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat atau Rusia. Tapi dalam sudut pandang kami, kami akan membantu anda dalam semua hal yang anda perlukan," imbuh Mikhailov.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.