Delegasi Bundestag: Jerman Tidak Kirim Senjata ke Taiwan
12 Januari 2023
Pemimpin delegasi parlemen Jerman, yang juga ketua komisi pertahanan, Marie-Agnes Strack-Zimmermann mengatakan di Taipei, Jerman tidak memiliki rencana untuk mengirim senjata ke Taiwan jika terjadi konflik dengan Cina.
Iklan
Hal itu disampaikan pimpinan delegasi parlemen Jerman Marie-Agnes Strack-Zimmermann pada konferensi pers di Taipei hari Rabu (11/1).
"Situasi di sini berbeda. Peran kami di sini secara militer lebih kecil. Ini masalah ekonomi," jelasnya. Marie-Agnes Strack-Zimmermann dari Partai Liberaldemokrat FDP adalah ketua Komisi Pertahanan di parlemen Jerman, Bundestag. FDP saat ini bersama Partai Hijau masuk dalam koalisi pemerintahan yang dipimpin Partai Sosialdemokrat SPD.
Taiwan sejak beberapa waktu lalu menghadapi tekanan yang meningkat dari Cina, yang menegaskan ambisi militer, politik, dan ekonominya atas negara pulau itu.
Marie-Agnes Strack-Zimmermann mengatakan pada konferensi pers di Taipei, Jerman telah bermurah hati mengirimkan senjata ke Ukraina, tetapi tidak demikian halnya dengan Taiwan.
"Tidak ada pertanyaan untuk mengirim senjata ke Taiwan. Itu bukan masalahnya," kata Marie-Agnes Strack-Zimmermann, menambahkan bahwa mereka berbicara dengan politisi dan orang-orang di Taiwan "dan permintaannya bukanlah 'tolong Jerman kirimkan senjata kepada kami.‘"
Kunjungi Taiwan di tengah ketegangan
Militer Taiwan sebagian besar dilengkapi dengan senjata modern buatan dalam negeri maupun buatan Amerika Serikat. Prancis sebelumnya juga menjual jet tempur dan kapal perang ke Taiwan.
Iklan
Pada pertemuan hari Selasa (10/1), Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berterima kasih kepada Jerman atas dukungannya setelah berbicara dengan delegasi anggota parlemen Jerman yang berkunjung ke negaranya.
"Saat ini, menghadapi ekspansionisme otoriter, demokrasi harus berdiri bersama menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi,” kata Tsai Ing-wen.
Delegasi parlementer dari Jerman dipimpin oleh ketua komisi pertahanan di Bundestagm Maria-Agnes Strack-Zimmermann, dan wakil ketua FDP, Johannes Vogel.
Menengok Kamp Pelatihan Unit Angkatan Laut Paling Elit Taiwan
Diterima di unit elit Pengintaian dan Patroli Amfibi Taiwan (ARP) sama sulitnya dengan menjadi pasukan SEAL Angkatan Laut Amerika Serikat. Para kandidat harus lolos ujian dan pelatihan berat selama beberapa pekan.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Tangguh seperti pasak baja
Program pelatihan bagi mereka yang ingin bergabung dengan unit angkatan laut elit Taiwan berlangsung selama 10 minggu. Tahun ini, 31 peserta lolos tes untuk mengikuti program ini, tetapi hanya 15 orang yang akan diterima. Di pangkalan angkatan laut Zuoying di Taiwan selatan, tubuh dan jiwa benar-benar diuji — satu latihan mengharuskan peserta tidur di atas beton yang dingin.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Disiram air dingin
Setelah menghabiskan sepanjang hari di laut, peserta pelatihan disiram dengan air dingin. Lelah dan gemetar, mereka berdiri di dermaga. Tujuan dari kamp pelatihan ini adalah untuk menempa para peserta mengembangkan kemauan yang kuat. Tidak peduli seberapa sulit misi mereka, kesetiaan terhadap rekan-rekan mereka, dan angkatan laut harus teguh.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Latihan berat di pantai
Yu Guang-Cang ikut dalam latihan di pantai. Sepintas terlihat seperti latihan senam bis. Namun, sebetulnya peserta melakukan latihan berat, mulai dari "long march" hingga berjam-jam dan latihan di dalam air. Instruktur mereka memiliki reputasi sebagai orang yang tegas tanpa kompromi. Waktu istirahat pendek dan jarang. Sering kali hanya ada waktu untuk minum seteguk dan ke toilet.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Cat perang
Seorang peserta pelatihan berjuang melawan kelelahan saat dia diolesi cat kamuflase. Semua peserta ikut secara sukarela. Kebanyakan ingin menguji coba batas ketangguhannya. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mensimulasikan tantangan berat perang. Komandan angkatan laut mengharapkan, para peserta dapat difungsikan ketika keadaan menjadi sangat gawat.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Hanya semangat baja yang lulus
Para kandidat menghabiskan sebagian besar waktu mereka di laut atau kolam renang. Mereka harus belajar menahan napas untuk waktu yang cukup lama, berenang dengan peralatan tempur lengkap, dan menyerbu pantai dari laut. Sering kali untuk aksinya kaki dan tangan mereka diikat. Latihan ini bukan untuk mereka yang cengeng.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Mendekati batas peregangan
Para peserta tidak hanya harus lulus tes kekuatan dan daya tahan, mereka juga menghadapi beberapa latihan peregangan ekstrem. Ou Zhi-Xuan yang berusia 25 tahun menangis kesakitan saat dia diregangkan mendekati batas kelenturan. Jika ada yang melawan instruktur saat berada di bawah tekanan berat, mereka segera dikeluarkan dari program ARP.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Dihina dan dilecehkan
Tentu saja, para kandidat harus berlatih sambil mengenakan perlengkapan tempur. Mereka harus menghadapi semburan pelecehan dan penghinaan dari instruktur unit elit angkatan laut. Pesrta mendapat istirahat satu jam setiap enam jam. Selama waktu ini, mereka harus makan, biasanya bawang putih untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh, mendapatkan bantuan medis, pergi ke toilet, dan tidur.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Jalan berbatu menuju surga
Latihan terakhir disebut "jalan menuju surga." Peserta pelatihan harus mengatasi rintangan yang unik. Mereka dipaksa untuk merangkak, praktis telanjang, di jalan berbatu, dan melakukan push-up, meskipun mereka sudah lelah dari minggu-minggu sebelumnya. "Saya tidak takut mati," kata salah satu peserta pelatihan, Fu Yu, 30 tahun.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Diberi selamat dengan bunyi lonceng
Xu De-Yu menandai akhir dari kamp pelatihan ARP dengan membunyikan lonceng. Dia adalah salah satu yang "beruntung" lulus ujian. "Tentu saja, kami sama sekali tidak akan memaksa siapa pun, semua orang ada di sini secara sukarela," tegas instruktur Chen Shou-lih, 26. Pesannya kepada para peserta: "Kami tidak akan menyambut Anda bergabung begitu saja, hanya karena Anda ingin datang." (rs/as)
Foto: ANN WANG/REUTERS
9 foto1 | 9
Cina gelar manuver militer
Cina mengecam keras kunjungan empat hari delegasi anggota parlemen Jerman ke Taipei. Rombongan delegasi Jerman tiba hari Senin (9/1) dan sebelumnya sudah menyulut reaksi Cina yang menggelar manuver militer besar-besaran di sekitar Taiwan.
Cina menganggap Taiwan, yang sejak 1949 memiliki pemerintahan independen dan diperintah secara demokratis, sebagai bagian dari wilayahnya.
Beijing menegaskan, kebijakan "Satu Cina" adalah dasar politik bagi hubungan bilateral antara Cina dan mitra-mitranya, termasuk Jerman.
Hingga kini, hanya beberapa negara di Afrika dan Amerika Selatan yang mengakui kedaulatan Taiwan. Sedangkan sebagian besar pemerintahan, termasuk AS, Jerman dan Indonesia, tidak mengakui Taiwan sebagai negara independen karena takut reaksi dari Cina.