1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Delegasi Rohingya Tinjau Desa Repatriasi di Myanmar

5 Mei 2023

Kelompok pertama pengungsi Rohingya dari Bangladesh tiba di Myanmar untuk menginspeksi kesiapan junta militer memfasilitasi repatriasi. Pemulangan para pengungsi merupakan kesepakatan tertunda dari kedua negara

Pengungsi Rohingya, April 2018
Pengungsi Rohingya di perbatasan Myanmar, April 2018Foto: YE AUNG THU/AFP

Delegasi repatriasi Rohingya beranggotakan 20 orang pengungsi dan tujuh aparat pemerintah Bangladesh. Mereka melintasi perbatasan di Sungai Naf pada Jumat (5/5) untuk menginspeksi desa percontohan buatan junta militer Myanmar di negara bagian Rakhine.

"Kami berangkat dari Teknaf Jetty dengan 20 anggota etnis Rohingya, termasuk tiga orang perempuan,”kata Wakil Komisioner Pengungsi Bangladesh, Mohammed Khalid Hossein, kepada AFP.

Kunjungan tersebut merupakan yang pertama sejak eksodus etnis minoritas Rohingya pada 2017 silam. Sebelumnya perwakilan junta Myanmar sudah melakukan lawatan ke kamp pengungsi di pesisir tenggara Bangladesh, Maret lalu.

Bangladesh saat ini menampung sekitar satu juta pengungsi Rohingya. Kebanyakan melarikan diri dari operasi militer Myanmar di Rakhine tahun 2017. Catatan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas itu kini menjadi sasaran investigasi PBB atas dugaan genosida.

Kesepakatan tertunda

Di penghujung 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati perjanjian kepulangan pengungsi. "Namun baru pada akhir 2022 lalu Myanmar yang kini dikuasai junta militer, menyanggupi repatriasi, setelah mendapat jaminan bantuan dari pemerintah Cina", kata Menteri Luar Negeri Bangladesh, AK Abdul Momen, saat itu dalam sebuah jumpa pers di Dhaka.

Kini, desa berfasilitas lengkap yang disyaratkan dalam perjanjian repatriasi nyaris rampung. "Delegasi akan mengunjungi berbagai fasilitas yang dibangun untuk memfasilitasi kepulangan pengungsi ke Myanmar,” kata Hosein, pejabat Bangladesh untuk pemulangan Rohingya.

AFP melaporkan, otoritas Bangladesh mengharapkan gelombang pertama pengungsi Rohingya sudah bisa menempati desa tersebut pada akhir Mei, sebelum musim hujan tiba.

Namun bagi pengungsi Rohingya yang hidup menyempil di kamp pengungsi Bangladesh selama enam tahun, program kepulangan justru mengundang kecurigaan.

Pengakuan bagi Rohingya di Myanmar

Hambatan terbesar bagi warga Rohingya adalah pengakuan terhadap hak dan status kewarganegaraan yang selama ini belum disanggupi pemerintahan junta militer. Di Myanmar, etnis Rohingya dideklarasikan sebagai pendatang ilegal dan sebabnya tidak tercatat sebagai warga negara. 

"Apakah kami akan dikirimkan kembali ke Myanmar tanpa kewarganegaraan?” tanya seorang pengungsi anggota delegasi Rohingya kepada AFP. 

"Badan Pengungsi PBB tidak terlibat dalam memfasilitasi kunjungan tersebut,” kata juru bicara UNHCR, Regina De La Portilla. Dia menegaskan, setiap program repatriasi harus bersifat sukarela, dalam kondisi yang aman dan bermartabat. "Tidak seorangpun pengungsi boleh dipaksa pulang,” tandasnya.

Namun otoritas di Bangladesh menepis adanya paksaan. Sebab itu pemerintah memfasilitasi kunjungan satu hari oleh delegasi Rohingya di Myanmar.

"Kami ingin menunjukkan kepada mereka apa yang sudah dikerjakan untuk memudahkan kepulangan,” kata Komisioner Pengungsi Bangladesh, Mohammed Mizanur Rahman.

"Kami ingin memupuk kepercayaan mereka kepada proses repatriasi untuk menjamin partisipasi secara sukarela. Bangladesh sejak awal menuntut kepulangan yang bermartabat dan berkelanjutan dan kunjungan ini adalah upaya menuju ke sana,” pungkasnya.

rzn/as (afp,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait