Demam Daging dan Seafood di Asia Bebani Lingkungan
11 Oktober 2021
Lonjakan permintaan terhadap daging dan makanan laut di Asia diprediksi akan menggandakan jejak karbon di sektor produksi dan rantai distribusi makanan. Selain itu penggunaan antibiotika pada makanan juga meningkat
Iklan
Meningkatnya kegemaran penduduk di Asia terhadap produk daging dan makanan laut selama tiga dekade ke depan diyakini akan menggandakan jumlah emisi CO2 dan penggunaan antibiotika pada makanan. Kesimpulan ini pernah dipublikasikan dalam sebuah studi milik Asia Research and Engagement di Singapura.
Lonjakan populasi, pendapatan dan urbanisasi akan meningkatkan permintaan terhadap daging dan makanan laut sebanyak 78% antara 2017 dan 2050. "Kami ingin menekankan ini karena populasi yang besar dan laju pertumbuhan populasi yang cepat akan membebani lingkungan," kata salah seorang peneliti, Serena Tan.
"Dengan mengakui ini dan di mana akar masalahnya, kita bisa mencari solusi yang tepat," imbunya kepada Reuters.
Meningkatnya permintaan akan menggandakan jejak emisi rantai distribusi makanan dari 2,9 juta ton CO2 menjadi 5,4 juta ton/tahun atau setara dengan jejak emisi seumur hidup untuk 95 juta kendaraan bermotor, klaim para peneliti.
Selain itu produksi makanan di Asia juga akan membutuhkan lahan seluas India untuk memenuhi permintaan pasar. Adapun penggunaan air akan melonjak dari 577 milyar meter kubik per tahun menjadi lebih dari 1 triliun meter kubik per tahun.
Salah satu kekhawatiran terbesar peneliti adalah penggunaan senyawa antimikroba yang dibutuhkan untuk membunuh atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme akan bertambah sebanyak 44% menjadi 39.000 ton per tahun. Penggunaan berlebih atau penyalahgunaan antibiotika di dalam makanan saat ini marak di Asia, klaim Lembaga Pangan PBB (FAO) dalam laporan terbarunya tahun ini.
Penggunaan antibiotika dikhawatirkan bisa membuat bakteri yang mengancam manusia dan hewan menjadi lebih tahan terhadap obat-obatan.
"Pertumbuhan kemakmuran adalah motor pendorong terbesar," kata David Dawe, ekonom senior di cabang FAO di Bangkok. Akses yang meluas terhadap aliran listrik dan teknologi pending membuat konsumen cendrung mengkonsumsi lebih banyak makanan.
Indonesia termasuk negara yang berpotensi besar mengalami lonjakan konsumsi daging dan makanan laut.
5 Hal Yang Merusak Diet Anda
Anda mungkin pernah mengalaminya. Sudah menjalani program diet dan berolahraga, tapi berat badan tetap tidak berkurang? Berikut beberapa hal yang menurut pakar kesehatan bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Fotalia
Makanan Disajikan di Atas Meja
Hasil penelitian menunjukkan, orang akan makan lebih banyak jika semua makanan disajikan di meja dan Anda bisa mengambil sendiri makanan yang hendak disantap. Padahal jika makanan sudah diporsi sebelumnya di piring, Anda rata-rata makan 19% lebih sedikit.
Foto: Monkey Business/Fotolia
Terlalu Sering Menggunakan Smartphone
Smartphone membuat Anda menjadi kurang aktif. Anda menghabiskan waktu surfing internet atau bermain games sambil duduk. Cara termudah menghindari jebakan lemak ini, adalah dengan melakukannya sambil berdiri. Berdiri selama 1 jam bisa mengurangi berat badan hingga 2,5 kilogram dalam setahun.
Foto: iStock
Minum Susu Rendah Lemak (Low Fat)
Hasil penelitian menunjukkan, orang yang secara rutin minum atau menyantap produk susu dengan kadar lemak tinggi, justru beresiko lebih rendah terkena masalah obesitas. Disarankan Anda berpindah dari susu kadar lemak rendah yang tetap membuat lapar, ke susu lemak tinggi agar merasa kenyang lebih cepat dan makan lebih sedikit.
Foto: Colourbox/E. Atamanenko
Baju Tidur Terlalu Ketat
Percaya atau tidak, baju tidur yang terlalu ketat bisa membuat Anda menjadi gemuk. Apalagi jika terbuat dari bahan yang 'tidak bisa bernapas' seperti satin. Karena, suhu tubuh Anda jadinya akan meningkat dan Anda tidak bisa memproduksi cukup banyak melatonin yang membantu memerangi lemak. Jadi sebaiknya kenakan baju tidur longgar dari bahan katun malam ini.
Foto: Colourbox
Warna Piring Sama dengan Makanan
Sebaiknya, warna piring yang digunakan berbeda dengan warna makanan yang akan disantap. Karena biasanya, dengan demikian Anda akan mengambil porsi yang lebih sedikit. Tapi jika misalnya Anda menaruh pasta dengan saos putih di atas piring berwarna putih, hampir bisa dipastikan porsi yang Anda ambil 18-19 persen lebih banyak karena warna piring mirip dengan warna makanan.
Foto: Fotolia/Africa Studio
5 foto1 | 5
Sebab itu para peneliti mendesak produsen makanan untuk segera mengimplementasikan metode ramah lingkungan, antara lain dengan memanen air hujan, menggunakan pakan ternak yang didapat lewat produksi berkelanjutan dan memproduksi biogas dari limbah ternak.
Sementara itu regulator, investor dan konsumen juga bisa menekan rantai restoran dan produsen untuk mengurangi penggunaan antibiotika pada makanan. Selain itu penyedia makanan juga diminta lebih kreatif membuat sajian berbasis sayur-sayuran agar bisa diminati konsumen.
"Ada banyak penduduk di Asia yang tidak mengikuti pola makan seperti itu sehingga permintaan terhadap makanan berbasis hewani akan meningkat," kata Dawe dari FAO. "Di satu sisi pola makan ini baik untuk nutrisi, tapi di sisi lain juga menyebabkan masalah lingkungan."
rzn/ap (Reuters)
Alternatif Untuk Alat Makan Sekali Pakai
Komisi Uni Eropa merencanakan larangan alat makan plastik sekali pakai, seperti sedotan, sendok, garpu, pisau, gelas dan piring plastik. Jadi apa alternatif untuk sedotan plastik?
Miliaran sedotan plastik berakhir sebagai sampah. Uni Eropa bermaksud melarang sedotan plastik sekali pakai. Tetapi bagi mereka yang tidak bisa berhenti menggunakan sedotan - seperti Marco Hort, yang membuat rekor dunia dengan 259 sedotan plastik di mulutnya - ada alternatif ramah lingkungan.
Foto: AP
Sedotan yang bisa dimakan
Binatang laut sering menelan sedotan plastik. Demi perlindungan lingkungan, Anda sekarang bisa menggunakan sedotan yang bisa sekalian dimakan. Di Jerman, perusahaan Wisefood mengembangkan sedotan semacam itu dari sari jus apel. Sebagai alternatif lain, Anda tentu bisa menggunakan sedotan yang bisa dicuci dan dipakai lagi, misalnya sedotan dari kaca.
Foto: Wisefood
Tidak hanya sedotan
Banyak alat makan lain seperti sendok dan garpu sekali pakai dari plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Uni Eropa sekarang bermaksud melarang penggunaannya. Perusahaan India Bakey sekarang memproduksi garpu yang bisa ikut dimakan. Perusahaan AS SpudWares juga membuat alat makan dari tepung kentang. Mungkin makanan jadi lebih enak!
Foto: picture-alliance/dpa/M. Scholz
Murni dari bahan organik
Anda mungkin juga ingin mencoba piring yang dapat dimakan. Perusahaan Polandia, Biotrem, telah mengembangkan piring yang terbuat dari bahan yang bisa dimakan. Seandainya Anda sudah kenyang, piring itu tidak perlu Anda makan. Piring terbuat dari bahan organik dan bisa terurai seluruhnya setelah 30 hari.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Reszko
Bagaimana dengan gelas plastik?
Uni Eropa dalam jangka panjang juga ingin mendorong jaringan restoran cepat saji, kafe dan bar untuk mereduksi penggunaan gelas plastik. Setengah triliun gelas plastik digunakan setiap tahun - sebagian besar digunakan satu kali saja. Beberapa perusahaan sekarang menawarkan alternatif berbasis tanaman.
Foto: picture-alliance/empics/D. Thompson
Alternatif dari Bali
Perusahaan dari Bali, Avani, mengembangkan bioplastik kompos yang terbuat dari sari jagung. Gelasnya terlihat seperti gelas plastik biasa, tapi gelas ini dapat terurai di alam. Tapi sebaiknya gelas ini didekomposisi di fasilitas kompos komersial, jangan di belakang rumah Anda.
Foto: Avani-Eco
Cangkir yang bisa digunakan lagi
Cara mudah mengurangi sampah plastik adalah menggunakan gelas yang bisa digunakan berkali-kali. Tapi kita tidak selalu membawa gelas itu ke mana saja. Di Berlin sedang dilakukan uji coba dengan gelas bambu yang bisa dipinjam. Gelas itu diberikan dengan membayar uang jaminan. Kalau gelas itu dibawa kembali, uang jaminan akan dikembalikan.
Foto: justswapit
Korek kuping yang tidak mencemari laut
Produk plastik lain yang akan dilarang di Uni Eropa adalah korek kuping. Sekarang ada alternatifnya: batang yang terbuat dari bambu atau kertas. Tetapi aktivis lingkungan mengatakan, yang terbaik adalah membersihkan telinga Anda dengan handuk saja. Penulis: Katharina Wecker (hp/vlz)
Foto: picture alliance/dpa/Wildlife Photographer of the Year /J. Hofman