Salah satu warisan almarhum Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub adalah pemikirannya yang cemerlang. Ia mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual. Berikut kenangan Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Kolom ini saya buat sebagai semacam “in memoriam” untuk mengenang almarhum Prof. Dr. KH Ali Musthafa Ya'qub (1952 – 2016), mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, tokoh Nahdlatul Ulama, dan seorang ulama pakar Hadis dan Ilmu Hadis yang sangat mumpuni dan langka di Indonesia. Ulama kelahiran Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ini juga seorang penulis produktif khususnya di bidang hukum Islam, tafsir Al-Qur'an, dan tafsir Hadis.
Salah satu gagasan dan pemikirannya yang cemerlang, bernas, dan patut direnungkan secara mendalam oleh umat beragama adalah tentang merosotnya spirit atau etos “ibadah sosial” dan meningkatnya atau maraknya perilaku “ibadah personal” atau “ibadah individual” khususnya di kalangan umat Islam, lebih khusus lagi umat Islam di Indonesia.
Ketika Berganti Keyakinan
Mereka pindah agama karena kehendak mereka sendiri. Namun hal ini kerap menuai ketidakpahaman atau bahkan penolakan dari keluarga dan lingkungannya. Demikian pula yang dialami mereka di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Sebuah langkah besar
Ketika David Stang keluar Gereja Katolik, pada awalnya keluarganya syok. Dulu, waktu remaja, ia bahkan menjadi putra altar di gerejanya. Ia pun rajin membaca Alkitab. Ia merasa tidak cocok. Ia bercerita: "Saya dapat memahami, pastur tidak dapat menceritakan kepada saya tentang pasangan, misalnya."
Foto: DW/K. Dahmann
Tumbuh di hati
Dari kekecewaannya terhadap gereja Katolik, David Stang mulai melakukan pencarian makna pada agama-agama lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengacara Jerman, yang masuk agama Islam. "Dia membuat saya apa mengenal Islam dan nilai-nilai yang terkait dengan itu," kata pria itu. "Dan di sana saya menemukan makna bagi diri saya lagi.“
Foto: DW/K. Dahmann
Sebuah proses yang panjang
Bagi David Stang, masuk agama Islam berarti proses pembelajaran lagi: "Awalnya, saya pikir jika masuk Islam, maka Anda harus menjauhi alkohol, makan babi dan memakai janggut. Tapi pengacara yang memperkenalkannya dengan Islam menunjukkan kepadanya bahwa yang terpenting adalah perasaan betapa menyenangkan untuk menjadi seorang Muslim. Sisanya tinggal mengikuti."
Foto: DW/K. Dahmann
Kompromi iman
Sebagai kaum profesional, sehari-hari David Stang mengalami kemacetan antara Hannover dan kota kelahirannya Bonn. Lima kali sehari untuk berdoa tidak selalu memungkinkan baginya, maka ia kemudian memperpanjang doa di pagi dan sore hari. Untuk alasan profesional janggutanya pun ia pangkas. Yang penting, katanya, "mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan."
Foto: DW/K. Dahmann
Penolakan Islam radikal
Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kaum Salafi di Bonn pada tahun 2012, atau teroris radikal, ia menjauhkan diri: "Jika agama itu membenarkan apa yang dilakukan teroris, misalnya memasang bom di sekitar leher, saya tak ingin berurusan dengan hal semacam itu.“
Foto: picture-alliance/dpa
Meninggalkan gereja
Ute Lass tumbuh dalam keluarga Katolik, tapi menurutnya gereja membatasinya. Ia bermimpi belajar teologi: “Tapi sebagai seorang teolog, saya tidak bisa berperan banyak dalam Katholik . Ia kemudian pindah gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Rumah baru
Lewat suaminya, yang dibaptis sebagai Protestan, Ute cepat menemukan kontak ke gereja Protestan. Anaknya diikutsertakan dalam kelompok bermain , diapun mencari kontak untuk ikut dalam paduan suara gereja. Namun butuh waktu lima tahun sampai dia memutuskan untuk membuat "langkah besar". Pendeta Annegret Cohen (kiri) dan Nina Gutmann (tengah) menemaninya dalam pertarungan batin ini.
Foto: DW/K. Dahmann
Sikap toleran
Keluarga dan teman-teman bereaksi positif. "Mereka mengatakan , ini jauh lebih cocok! " Bagaimana dengan tempat kerjanya, organisasi bantuan Katholik Caritas? Ute Lass mendapat lampu hijau. Mereka mengatakan, adalah penting bahwa Anda tetap dibaptis sebagai seorang Kristen dan ke gereja.
Foto: picture-alliance/dpa
Disambut
Di gereja Protestan, Ute Lass disambut dengan tangan terbuka. Dengan sukacita ia menangani hal seperti misalnya bazaar gereja. Apakah ia kadang merindukan kehidupannya sebagai umat Katholik?Jawabnya: “Saya memiliki iman yang kuat terhadap Bunda Maria, yang perannya tak seperti di gereja Protestan," katanya. “Tapi untuk beberapa hal, saya tetap seperti itu.“
Foto: DW/K. Dahmann
Memfasilitasi masuknya anggota
Selama bertahun-tahun, gereja-gereja Kristen melaporkan bahwa jumlah jemaatnya menurun: Semakin banyak orang keluar gereja, entah karena alasan agama atau hanya untuk menghindari gereja. Dalam rangka memfasilitasi masuknya anggota baru, gereja-gereja di Jerman menyambut baik, seperti di Fides, Bonn dimana pastur Thomas Bernard (kanan) bekerja.
Foto: DW/K. Dahmann
Akibat skandal?
Gereja Katolik dalam beberapa tahun terakhir mengalami berkurangnya jumlah umat. Banyak orang percaya, ini terjadi setelah sejumlah kasus pelecehan seksual dalam biara. "Skandal yang substansial," Thomas Bernard mengakui. "Kami telah demikian kehilangan daya tariknya." Meskipun berita di media menghancurkan nama gereja, dia yakin: "Iman dapat memberikan dukungan."
Foto: DW/K. Dahmann
Membuka pintu iman
Salah satu alasan mengapa orang bergabung dengan Gereja Katolik saat ini, menurut Thomas Bernard adalah liturgi. "Banyak orang mengagumi perayaan ibadah," katanya. Reformasi di tubuh gereja seperti ynag dilakukan paus yang baru, diharapkan menyebabkan banyak orang yang telah keluar dari Katholik, kembali menemukan gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Permohonan untuk kebebasan beragama
Orang-orang yang telah mengubah agama mereka, pernah ditampilkan dalam sebuah pameran di Munchen. Pameran ini menunjukkan permohonan untuk kebebasan hak asasi manusia, termasuk kebebasan memilih agama.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
Bayipun ‘pindah agama‘
Gambar ini menunjukkan nasib putri Jennifer dan Ricky Grossman: Bayi tidak diakui sebagai Yahudi , karena ibunya bukan Yahudi. Oleh karena itu ibunya harus masuk Yahudi dulu, karena itulah syarat untuk bisa diterima sebagai anggota penuh dari komunitas Yahudi.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
14 foto1 | 14
Menurut Kiai Ali Musthafa yang alumnus Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud dan Universitas King Saud (Riyadh, Arab Saudi) ini, ada dua kategori ibadah dalam Islam, yaitu (1) ibadah qashirah (ibadah individual) yang pahala dan manfaatnya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah saja dan (2) ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) dimana pahala dan manfaat ibadahnya tidak hanya dirasakah oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh orang lain.
Menurut Kiai Ali, contoh “ibadah individual” ini adalah haji, umrah, puasa, salat, dlsb. Sementara contoh “ibadah sosial” adalah menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, memberi bantuan beasiswa pendidikan, menolong para korban bencana, menggalakkan penanggulangan kemiskinan dan kebodohan, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan kasih sayang kepada sesama umat dan mahluk ciptaan Tuhan, menghargai orang lain, menghormati kemajemukan, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak.
Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual
Islam, menurut Kiai Ali, memberikan prioritas pada “ibadah sosial” ini ketimbang “ibadah individual”. Kiai Ali mengutip sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuhan (Allah SWT) itu ada—dan dapat ditemui—di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita.”
Itulah sebabnya Nabi Muhammad sepanjang hayatnya lebih banyak didedikasikan untuk membela kaum lemah dan tertindas serta melawan keserakahan dan keangkaramurkaan. Beliau lebih banyak menjalankan aneka bentuk ibadah sosial-kemasyarakatan ketimbang ritual-ritual keagamaan yang bersifat personal. Dalam sebuah kaedah fiqih juga dinyatakan: “al-muta'addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual).
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Prioritas Islam terhadap ibadah sosial daripada ibadah individual ini juga ditegaskan, tersurat, dan tersirat di dalam ribuan ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi ruang sangat besar terhadap dimensi-dimensi sosial-kemanusiaan. Aspek-aspek “ritual-ketuhanan” justru mendapat jatah yang sangat sedikit dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Berdasarkan sejumlah fakta dalam Al-Qur'an inilah, ditambah dengan praktik-praktik kenabian, banyak ulama, sarjana, dan pakar Islam yang menyebut Islam sebagai agama pro-kemanusiaan. Pakar kajian Islam dan studi Al-Qur'an seperti mendiang Fazlur Rahman (1919–1988), misalnya, dalam sejumlah karyanya seperti Islam, Prophecy in Islam, atau Major Themes of the Qur'an pernah menegaskan bahwa Islam adalah “agama antroposentris” yang memberi penekanan atau prioritas pada masalah-masalah kemanusiaan universal, dan bukan “agama teosentris” yang berpusat atau bertumpu pada hal-ikhwal yang berkaitan dengan ibadah ritual individual-ketuhanan.
Terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”
Meskipun Islam, Al-Qur'an, dan Nabi Muhammad SAW, jelas-jelas memberi ruang yang sangat besar pada masalah-masalah “ritual kemanusiaan” universal; umat Islam, sayangnya, justru lebih sibuk memikirkan dan mempraktikkan aneka “ritual ketuhanan” partikular. Meskipun Islam menegaskan ibadah sosial jauh lebih utama ketimbang ibadah individual, (sebagian) kaum Muslim malah “terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”.
Kaum Muslim begitu hiruk-pikuk dan semangat menggelorakan pentingnya haji, salat, puasa, zikir di masjid, dan semacamnya, tetapi melupakan kemiskinan global, kebodohan massal, penderitaan publik, keamburadulan tatanan sosial, kehancuran alam-lingkungan, korupsi akut yang menggerogoti institusi negara dan non-negara, dlsb. Umat Islam begitu bersemangat naik haji berkali-kali atau umrah bolak-balik dan mondar-mandir ke Mekkah dan Madinah, tidak mempedulikan besarnya biaya, tetapi mereka pikun dan tutup mata dengan aneka persoalan sosial-kemanusiaan yang menggunung di depan matanya.
Masjid Termegah di Dunia
Dari Mekah ke Medinah, dari Yerusalem hingga Casablanca, bahkan dari Rusia hingga Roma, berdiri masjid-masjid termegah di dunia. Berikut di antaranya.
Foto: picture-alliance/dpa
Masjidil Haram di Mekah
Ini adalah masjid terbesar di dunia dengan luas 350 ribu meter persegi. Masjid tujuan utama ibadah haji ini dibangun pada abad ke-16 dan memiliki sembilan menara. Dari waktu ke waktu, masjid ini terus diperluas. Masjid al Haram kini bisa menampung hingga satu juta orang.
Foto: picture-alliance/dAP Photo/K. Mohammed
Masjid Nabawi di Madinah
Setelah Masjid al-Haram di Mekah, masjid terpenting lainnya di dunia adalah Masjid Nabawi. Makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya terdapat di sini. Batu pondasi diletakkan pada tahun 622. Masjid ini bisa menampung 600 ribu orang. Masing-masing menara tingginya sekitar 100 meter.
Foto: picture-alliance/epa
Masjid Al-Aqsa di Yerusalem
Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem dapat menampung 5000 orang. Bersama dengan Kubah Batu dengan kubah berlapis emas, masjid ini menjadi salah satu yang paling terkenal, setelah masjid Al-Haram di Mekah dan masjid Nabawi di Madinah. Masjid Al-Aqsa dibuka sejak tahun 717.
Foto: picture alliance/CPA Media
Masjid Hassan II di Casablanca
Masjid di pantai Atlantik ini dinamakan sesuai nama mantan Raja Maroko Hassan II. Masjid dibangun untuk memperingati ulang tahunnya ke-60 dan diresmikan tahun 1993. Sebenarnya ada masjid yang jauh lebih besar, tetapi rekor dunia yang dipegang masjid ini adalah ketinggian menaranya yang mencapai lebih dari 210 meter.
Foto: picture alliance/Arco Images
Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi
Masjid ini dibuka pada tahun 2007 dan merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Masjid ini luasnya 224 x 174 meter, dengan menara setinggi lebih dari 107 meter. Kubah utamanya yang berdiameter 32 meter, merupakan kubah masjid terbesar di dunia.
Foto: imago/T. Müller
Masjid Agung Roma
Ibu kota Katolik Roma, memiliki sebuah masjid agung. Dengan luas 30.000 meter persegi, masjid ini menjadi yang terbesar di Eropa. Pusat Kebudayaan Islam Italia bermarkas di sini. Mereka menyediakan layanan budaya dan sosial bagi umat Islam Sunni dan Syiah. Bangunan suci ini diresmikan tahun 1995.
Foto: picture-alliance/akg-images
Masjid Akhmad Kadyrov di Grozny
Masjid ini dinamai sesuai nama mantan Presiden Chechnya yang juga seorang Mufti dan wafat dalam serangan tahun 2004. Pembangunan masjid terganggu beberapa kali karena perang Chechnya. Masjid ini dibangun oleh perusahaan Turki dan dibuka tahun 2008. Karena sering gempa bumi di wilayah tersebut, masjid dibangun di atas pondasi tahan gempa.
Foto: picture-alliance/dpa/RIA Novosti/A. Kudenko
Masjid Kul Sharif di Kazan
Nama masjid Kul Sharif mengingatkan pada Imam terakhir dari Kazan sebelum dicaplok Rusia. Masjid ini bertetangga dengan Katedral Annunciation. Keduanya menjadi simbol dari keharmonisan penduduk Muslim dan Ortodoks Tatarstan (wilayah otonom di Rusia). Setelah sembilan tahun dibangun, masjid ini dibuka tahun 2005,
Foto: Maxim Marmur/AFP/Getty Images
Masjid Agung Moskow
Di Moskow, ibukota Rusia terdapat salah satu masjid terbesar di Eropa, yang kembali diresmikan tahun 2015. Bangunan enam lantai ini luasnya hampir 20.000 meter persegi dan ruangannya bisa memuat 10.000 orang. Saat peresmian kembali oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin hadir presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dan pemimpin Palestina, Mahmud Abbas.
Foto: Getty Images/AFP/V. Maximov
9 foto1 | 9
Umat Islam sibuk mengejar “kesalehan individual” dengan menghadiri beragam pengajian spiritual tetapi mengabaikan “kesalehan sosial” dan absen menghadiri “pengajian sosial” dengan blusukan ke tempat-tempat kumuh untuk menyambangi umat yang menderita dan kelaparan. Umat Islam rajin menumpuk pahala akhirat bak “pedagang spiritual” tetapi rabun bin pikun dengan problem sosial-kemasyarakatan yang ada di sekelilingnya. Umat Islam begitu sibuk “memikirkan” Tuhan, padahal Tuhan sendiri—seperti ditunjukkan dalam berbagai Firman-Nya dalam Al-Qur'an dan dalam Hadis Qudsi tadi—begitu “sibuk” memikirkan manusia.
Saya menyebut fenomena di atas sebagai bentuk keberagamaan yang egoistik atau individualistik yang hanya mementingkan diri-sendiri dan demi mengejar kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri kelak di alam akhirat, sementara cenderung bersikap masa bodoh atau acuh dengan berbagai kebobrokan, penderitaan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kesemrawutan yang menimpa umat manusia di alam dunia ini. Umat Islam “pemburu surga” yang egois-individualis dan “salah jalan” inilah yang menjadi sasaran kritik Kiai Ali Musthafa. Semoga beliau damai di alam baka.
Penulis:
Sumanto al Qurtuby, Staf Pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Rumah Ibadah: Bentuk Penghargaan Keyakinan
Jerman membuka diri untuk berbagai keyakinan. Di antaranya terlihat dari pembangunan rumah-rumah ibadah Muslim, yang diharapkan menjadi bagian dari integrasi antar budaya.
Foto: Getty Images
Mesjid Merkez di Duisburg
Diawali perdebatan selama enam tahun dan tahap perencanaan, yang disusul proses pembangunan selama enam tahun, akhirnya Mesjid Merkez di Duisburg berdiri pada tahun 2008. The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB) mendanai pembangunan mesjid ini. Mesjid ini juga digunakan sebagai wadah berdialog antar umat beragama.
Foto: Getty Images
Mesjid Gaya Klasik
Sekitar 1.200 orang bisa berkumpul di bawah kubah mesjid Merkez yang bergaya klasik ini. Ruang bawah tanah bangunan tersebut berisi perpustakaan. Ada lagi ruangan seluas 1.000 meter persegi yang bisa dipakai untuk acara khusus.
Foto: Getty Images
Koeksistensi Agama
Bahkan politisi Jerman konservatif menyerukan umat Islam untuk membangun mesjid. Di negara bagian Bayern ada beberapa tempat ibadah Muslim di lingkungan Katolik. Mesjid Kanun i Sultan Süleyman di kota Neu-Ulm selesai pada tahun 2006.
Foto: dapd
Mesjid Komunitas Turki di Berlin
Ada sekitar 80 mesjid dan mushola di Berlin. Kebanyakan dari bangunan-bangunan itu hampir tidak dikenali, karena banyak yang ukurannya kecil dan terletak di halaman belakang. Mesjid Sehitlik didirikan di distrik Tempelhof, di lokasi pemakaman Turki tertua di Eropa Tengah. Dua menara ramping mesjid mencapai lebih dari 30 meter yang menjulang ke langit.
Foto: Getty Images
Mesjid Utama di Köln
Terjadi aksi protes besar selama perencanaan mesjid baru di kota Köln. Pembangunannya dimulai pada bulan November 2009. Ukuran bangunan dan tampilannya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan politisi Köln. Ini menjadi salah satu sebab tertundanya pembukaan mesjid sampai tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid di bekas ibukota
Mesjid Al Muhajirin merupakan salah satu mesjid di kota Bonn, Jerman. Bekas ibukota Jerman saat ini memiliki sekitar sembilan mesjid.
Foto: Al-Muhajirin Moschee Bonn e.V.
Gambaran Islam
Banyak komunitas Muslim yang berpikiran terbuka yang mendukung integrasi ke dalam masyarakat Jerman, ada juga pendatang dari kelompok yang radikal. Mesjid Al Muhsinin Salafi di Bonn telah lama berada di bawah pengawasan badan keamanan Jerman. Itu salah satu dari 30 lokasi yang diduga menjadi bagian dari jaringan Islam fundamental.
Foto: picture-alliance/JOKER
Tempat Pertemuan Jihadis
Mesjid kecil di daerah perumahan juga ada. Misalnya Mesjid Falah di Frankfurt. Dinas keamanan Jerman sempat menggerebek masjid ini, atas dugaan keterlibatan dengan terorisme.
Foto: dapd
Tempat Pertemuan Modern
Banyak komunitas Muslim yang berkomitmen untuk dialog antaragama. Komunitas Muslim Frankfurt, yang mulai dengan kegiatan mahasiswa, memulai dialog antaragama pada awal tahun 1960-an. Sekarang mereka kerap bertemu di aula doa Masjid Abu Bakr. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan wawasan tentang agama dan budaya Muslim di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Terbuka dan Modern
Forum Islam di Penzberg, München dikelola masyarakat yang menggambarkan dirinya sebagai warga independen, multinasional, netral dan terbuka. Karakteristik tersebut tercermin dalam arsitektur mesjid, yang dibuka pada tahun 2005, dengan bagian depan gedung berkilau biru yang terbuat dari ribuan keping kaca dan menara baja halusnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid DITIB di Göttingen
Mesjid DITIB di Göttingen adalah bangunan baru lainnya, yang dibuka pada tahun 2007. Umatnya kebanyakan warga berlatar belakang Turki. Mesjid itu memiliki hubungan dengan komunitas mahasiswa Muslim Universitas Göttingen. Mereka menawarkan bantuan kepada anak-anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah mereka dan aktif terlibat dalam integrasi sosial.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid Keempat Tertua di Jerman
Islamic Center di Hamburg adalah salah satu institusi Muslim tertua di Eropa dan merupakan pusat Islam Syiah di Jerman. Mesjid Imam Ali dibiayai oleh komunitas bisnis Iran pada tahun 1960-an. Meski badan-badan keamanan Jerman melakukan pengawasan terhadapnya, masjid ini tetap menyajikan gambaran keterbukaan.