Cina menggerakkan mesin diplomasi untuk mencari dukungan atas klaimnya di Laut Cina Selatan. Upaya tersebut dilakukan menjelang pengumuman keputusan Pengadilan Arbitrasi Internasional di Den Haag.
Iklan
Setelah bulan-bulan penuh provokasi militer, Cina kini mulai menghidupkan mesin diplomasi untuk membetoni klaimnya atas Laut Cina Selatan. Langkah itu diambil menjelang keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag yang akan diumumkan dalam beberapa pekan.
Baru-baru ini negeri tirai bambu itu berhasil mengamankan dukungan Belarusia dan Pakistan. Kedua negara kini "menghormati" sikap Cina dalam konflik tersebut, tulis Kementerian Luar Negeri di Beijing.
Dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri Asia dan Timur Tengah, Presiden Xi Jinping mengatakan pihaknya "bersikeras memecahkan masalah Laut Cina Selatan secara damai lewat konsultasi dan negosiasi dengan pihak yang bersangkutan".
Beijing diyakini berupaya memecah ASEAN lewat diplomasi. Belum lama ini sebuah media-media Cina mengutip jurubicara Kementerian Luar Negeri, ihwal kesepakatan dengan Kamboja, Laos dan Brunei, bahwa konflik di Laut Cina Selatan tidak akan membebani hubungan Cina dan ASEAN.
Strategi BilateralCina
Selain itu keempat negara telah bersepakat akan mencari solusi lewat dialog langsung antara negara, bukan melalui ASEAN. Kesepakatan itu dibantah oleh Jurubicara Pemerintah Kamboja, Phay Siphan. Katanya Kamboja tetap bersikap netral.
Dengan strategi mencari damai lewat negosiasi bilateral, Cina dicurigai ingin menggunakan kekuatan politiknya untuk menekan masing-masing negara yang bertikai. Sebab itu pula pemerintah Amerika Serikat mengimbau ASEAN untuk memperkuat persatuan.
ASEAN sebagai sebuah organisasi "memiliki keunggulan dalam jumlah," untuk menghadapi isu sulit seperti Laut Cina Selatan, Kata Anthony Blinken, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.
Menurutnya ASEAN harus berpegang pada keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag terkait gugatan Filipina ihwal Kepulauan Spratly. Cina yang menolak mengakui pengadilan tersebut juga dilaporkan aktif melobi negara lain untuk mengikuti sikapnya.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.