Freedom House: Demokrasi di Dunia Mengalami Kemunduran
Emily Gordine
4 Maret 2020
Demokrasi dan pluralisme sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia, laporan Freedom House.
Iklan
Laporan lembaga think tank Freedom House tahun 2020 cukup suram. Lembaga ini menyoroti menurunnya demokrasi di berbagai penjuru dunia, termasuk AS dan India.
Freedom House , yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat, menyoroti tanda bahaya atas memburuknya indeks kebebasan di negara-negara otoriter dan demokratis.
Dalam laporan Freedom in the World 2020, lembaga tersebut memberikan peringkat terhadap 195 negara, dan menyatakan bahwa 83 dari negara tersebut sebagai "bebas," 63 negara sebagai "bebas sebagian," dan 49 negara sebagai "tidak bebas."
Jumlah keseluruhan negara dengan status sebagai negara bebas telah menurun sebesar 3 persen dalam dekade terakhir. Indeks ini memperhitungkan berbagai faktor seperti fungsi pemerintah, transparansi, supremasi hukum, pluralisme serta kebebasan berekspresi dan berkeyakinan.
Laporan tahun ini menunjukkan adanya penurunan yang tajam dalam skala global terkait komitmen pemerintah terhadap pluralisme. Kelompok etnis, agama, dan minoritas lainnya telah banyak mengalami persekusi di negara-negara demokrasi dan otoriter.
Menurunnya kebebasan di negara-negara demokrasi
Laporan tersebut juga menuliskan adanya penurunan kebebasan di sejumlah negara yang terkenal demokratis. Pada halaman 10 laporan tersebut, disebutkan bahwa negara-negara demokratis yang mengalami penurunan indeks kebebasan antara lain yaitu Jerman, Prancis, Italia, Austria.
Sementara di banyak negara lainnya, orang-orang turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. Mereka menuntut perubahan dan perbaikan agar negara menjadi lebih baik dan lebih demokratis.
Gerakan-gerakan demonstrasi antara lain terjadi di Hong Kong, Aljazair, Bolivia, Chili, Ethiopia, Indonesia, Irak, Iran, Lebanon, dan Sudan. Gerakan-gerakan ini sering kali bertentangan dengan kepentingan kekuasaan yang telah mengakar kuat, dan gagal menghasilkan perubahan yang signifikan, tulis laporan itu.
India dan AS jadi sorotan
"India dan Amerika Serikat adalah negara demokrasi terbesar dan mungkin yang paling berpengaruh di dunia, dan penyimpangan mereka dari cita-cita demokrasi liberal telah mengirimkan sinyal yang salah," ujar Mike Abramowitz, Presiden Freedom House.
"Jika (negara dengan) kekuatan demokrasi utama gagal memberikan contoh kuat dan memberikan kepemimpinan yang konstruktif, akan sulit membalikkan tren global yang mengancam kebebasan bagi semua masyarakat."
Dalam laporan tahun ini, di antara 25 negara demokrasi terpadat di dunia, skor demokrasi India turun paling drastis. Laporan tersebut memberikan titik berat pada status negara bagian Jammu dan Kashmir di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi yang berhaluan Hindu nasionalis.
India mengalami penurunan indeks kebebasan terbesar dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara status di negara bagian Kashmir menurun dari "sebagian bebas" menjadi "tidak bebas" pada tahun ini.
Sementara di AS, Freedom House mengkritik perubahan peraturan pada tahun 2019 yang melemahkan hak para pencari suaka, adanya bukti baru dalam intervensi pemilu, dan meningkatnya bentrokan antara eksekutif dan kongres.
Dari Cina, laporan itu menyebutkan penahanan pemerintah terhadap jutaan etnis Uighur dan kelompok-kelompok muslim lainnya di kamp-kamp internir.
Secara total, jumlah negara-negara yang menderita kemunduran kebebasan pada tahun 2019 lebih banyak daripada jumlah negara yang mengalami kemajuan. Dalam periode ini, 37 negara dilaporkan mengalami kemajuan dalam kebebasan, dan 64 negara mengalami kemunduran.
Sementara, Indonesia yang secara keseluruhan memperoleh 61 poin, dikategorikan sebagai negara yang "bebas sebagian".
Freedom House menyusun indeks kebebasan di sejumlah negara setiap tahun sejak 1973. Ibu negara AS yaitu Eleanor Roosevelt merupakan salah satu pendiri organisasi tersebut.
ae/ (freedomhouse.org)
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)