1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Demokrasi, Korupsi dan Korupsi Demokrasi?

27 April 2018

Demokrasi gagal? Apakah Indonesia perlu pindah ke sistem teokrasi, monarki, atau khilafah? Bagaimana mungkin Tuhan yang “supernatural being” itu memimpin makhluk nyata bernama manusia? Simak opini Sumanto al Qurtuby.

Osmanisches Reich Mehmed V Reshad mit Kaiser Wilhelm II und Enver Pasha
Foto: picture-alliance/Mary Evans/Grenville Collins

Demokrasi, sebuah kekuasaan atau pemerintahan berbasis rakyat, selama ini memang diyakini oleh para ilmuwan politik sebagai sistem politik-pemerintahan terbaik dan terideal dibandingkan dengan, misalnya, "teokrasi”, aristokrasi, monarki, dan lainnya.

Sengaja saya pakai tanda kutip karena sesungguhnya tidak ada yang namanya "teokrasi” itu. Itu hanya akal-akalan sekelompok elite agama-politik guna mengelabui rakyat bahwa seolah-olah Tuhanlah yang menjalankan roda kekuasaan sehingga dijamin masyarakat akan aman-tenteram dan adil-makmur.

Saya tidak habis pikir kenapa banyak orang di masa lalu (dan juga dewasa ini) yang terperdaya mempercayai sistem teokrasi. Bagaimana mungkin Tuhan yang "supernatural being” itu memimpin makhluk nyata bernama manusia?

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: privat

Dalam implementasinya, sistem teokrasi ini ada berbagai macam bentuk. Biasanya teokrasi menjadikan agama tertentu (Kristen, Yahudi, Islam, Zoroastrianisme, Budhisme, dan seterusnya) sebagai "tameng” dan "legitimasi teologis” sekaligus bukti tentang eksistensi kekuasaan Tuhan. Sistem Khilafah yang dipropagandakan oleh Hizbut Tahrir, ISIL (Islamic State of Iraq and Levant), atau Jamaah Islamiyah misalnya, dalam beberapa hal, juga bisa digolongkan teokrasi.

Abul A'la al-Maududi, salah satu pentolan ideolog Islamisme, dulu pernah mengawinkan sistem teokrasi dan demokrasi ini menjadi "teo-demokrasi” yang ia anggap sebagai sistem politik-pemerintahan paling ideal. Tapi dalam praktiknya tetap saja "akal-akalan” dan "tipu-tipuan” belaka. "Teo-demokrasi” hanya ideal dan bagus ditataran konsep atau dalam alam ide bukan dalam dunia nyata.   

Demokrasi juga jauh lebih baik ketimbang sistem monarki, apapun bentuknya: kerajaan, kekaisaran, empirium, kesultanan, keamiran, dan sebagainya. Kenapa? Karena sistem monarki tidak menghargai hak-hak politik individu manusia maupun hak-hak sipil masyarakat. Individu dan masyarakat dianggap sebagai "obyek” belaka. Hak-hak politik mereka sudah "diwakili” oleh raja (atau apapun namanya: king, sultan, kaisar, emperor, amir, khalifah, dan seterusnya) sebagai representasi rakyat banyak.

Sistem monarki, dalam sejarahnya, hanyalah akal-akalan kaum elite politik dan tentara atau algojo saja untuk menguasai, menakut-nakuti, dan memeras rakyat (misalnya dengan sistem upeti) untuk kepentingan, kemewahan, dan kemakmuran mereka. Kalau rakyat membangkang, tidak patuh atau tak mau membayar upeti, tentara bergerak menyiksa mereka. Rakyat hanya dijadikan sebagai obyek, tumbal, dan "kayu bakar” saja. Kini sejumlah negara monarki tidak mewajibkan rakyat membayar upeti seperti di zaman bahula karena para elitnya sudah mendapat pendapatan melimpah dari berbagai sumber. Mereka hanya mewajibkan rakyat untuk tutup mulut, tunduk dan patuh saja jika tidak ingin dilenyapkan.

Baca juga:

Seperlima Mahasiswa Indonesia Dukung Kekhalifahan Islam

Mengejar Mimpi Khilafah ke Suriah: Kisah Keluarga Indonesia Simpatisan ISIS

Mengingat bagaimana demokrasi lahir

Demokrasi lahir, antara lain, karena rakyat muak dengan teokrasi dan juga aristokrasi, sebuah sistem politik-pemerintahan yang diatur oleh sekelompok elite aristokrat. Secara teoretik, demokrasi memberi ruang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan ikut berpartisipasi mengelola negara dan pemerintahan yang dalam sistem monarki maupun teokrasi peran mereka diabaikan.

Jadi, sistem demokrasi sebenarnya adalah momentum yang sangat baik bagi rakyat untuk menentukan kemakmuran dan keadilan mereka. Tetapi sayangnya dalam praktik dan perkembangannya, banyak kaum elite politik dan bahkan rakyat atau "wong cilik” itu sendiri tidak bisa memanfaatkan peluang dan momentum demokrasi itu dengan baik dan bijak. Banyak para elite politik yang menjadikan demokrasi hanya sebatas cara, strategi, taktik atau "kendaraan” untuk menggapai kekuasaan dan mengeruk keuntungan material belaka. Maka ketika kekuasaan itu berhasil mereka genggam, mereka tidak lagi memikirkan rakyat yang memilihnya.

Karena menjadikan demokrasi hanya sebatas sebagai "kendaraan”, maka tak jarang para elite politik menggunakan berbagai macam cara kotor untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. Praktik "politik uang” (money politics), penyuapan, manipulasi suara, agitasi, ancaman dan teror, "pemerkosaan” teks-teks suci dan idiom-idiom keagamaan, dan sebagainya sudah biasa dilakukan oleh para elite politik busuk dan rakus perusak demokrasi.  

Banyak kaum elite menjadikan demokrasi hanya sebatas "lipstik” atau "gincu” saja bukan "roh” atau "spirit” kekuasaan. Lihat misalnya di zaman Orde Baru. Berbagai sarana demokrasi dibuat (parpol, parlemen, pemilu, dan sebagainya) untuk "menyuarakan aspirasi rakyat” tetapi semua itu hanyalah omong kosong dan tipu muslihat belaka karena yang mengendalikan, mengontrol, dan memimpin kekuasaan pada hakikatnya bukanlah rakyat melainkan Pak Harto. Demokrasi di zaman Orde Baru adalah contoh dari apa yang disebut "pseudo-demokrasi”, yakni "demokrasi pura-pura” atau "pura-pura demokrasi”.

Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998, sebetulnya momentum terbuka lebar bagi rakyat Indonesia untuk menjadi "king maker” atau "decision maker” garis-garis besar kebijakan dan haluan negara. Tapi apa lacur, rakyat dan elite politik gagal memanfaatkan momentum itu dengan baik. Baik kaum elite politik maupun rakyat kebanyakan sama-sama menjadikan demokrasi sebagai ajang untuk meraih keuntungan sesaat.

Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah sebuah pemandangan mengenaskan dimana para elite politik dengan terang-benderang "membodohi” rakyat sementara rakyat sendiri dengan suka-rela mau dibodohi.

Meskipun mendapat kesempatan emas untuk menentukan masa depan rakyat dan warga negara melalui pemilihan umum (Pileg, Pilpres, Pilkada, atau Pilkades), banyak dari mereka, baik orang kota maupun orang desa, yang tidak mampu memanfaatkan momentum itu dengan baik. Banyak dari mereka bahkan mencari-cari tim sukses, elite, broker, atau bahkan calon atau kontestan yang berlaga dalam Pileg, Pilkada, atau Pilkades, yang bersedia menyuap dan "menyogoknya” dengan uang recehan atau bingkisan murahan. Siapa yang amplop sogokannya (suapnya) paling besar, maka dialah yang akan dipilih. Mereka tak peduli kualitas dan rekam jejak sang kandidat.

Banyak yang membodohi rakyat

Itulah sebabnya mengapa di berbagai daerah banyak dijumpai para anggota dewan dan pemimpin (gubernur, walikota, bupati atau bahkan kepala desa) yang melakukan korupsi berjamaah mengemplang uang negara, dan bahkan banyak dari mereka–para maling uang rakyat itu–yang  terpilih berulang-kali karena "kesuksesannya” dalam mengelabuhi, membodohi, menipu, dan menyuap rakyat.  

Banyak juga orang yang memilih calon tertentu bukan karena uang tetapi karena solidaritas atau sentimen kelompok, keagamaan, etnisitas, partai, ormas, dan sebagainya. Sementara yang lain memilih kandidat tertentu karena "diperdaya” atau dikelabuhi oleh kalangan elite agama yang sukses "menjual” ayat, teks dan diskursus keagamaan tertentu. Yang lain lagi terpaksa memilih calon karena ketakutan diancam dan diteror, baik secara politik maupun teologi, oleh para makelar agama dan petualang politik. Ancaman tidak menyolati mayat anggota keluarga yang mendukung Ahok dalam Pilgub Jakarta 2017 lalu adalah contoh nyata dari "teror teologis” ini untuk menakut-nakuti rakyat agar mereka tidak memilih Ahok.  

Akhirnya demokrasi pun tidak menjamin mampu membawa rakyat dan pemerintahan ke dalam kemakmuran dan kedamaian karena kaum elite dan rakyat itu sendiri (para pelaku demokrasi) "bermain-main” dengan demokrasi. Maka tidak jarang jika banyak dijumpai di berbagai negara kalau demokrasi telah rusak berat dirusak oleh para demokrat dan lembaga-lembaga demokrasi dengan cara-cara demokratis.

Apakah dengan begitu, Indonesia perlu pindah ke sistem teokrasi, monarki, atau khilafah? Jika demokrasi saja tidak bisa menjamin kemakmuran dan keadilan bagi rakyat dan warga negara, apalagi sistem teokrasi, monarki, atau khilafah.  

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)

Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama.  Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore. 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.