Demokrasi gagal? Apakah Indonesia perlu pindah ke sistem teokrasi, monarki, atau khilafah? Bagaimana mungkin Tuhan yang “supernatural being” itu memimpin makhluk nyata bernama manusia? Simak opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Demokrasi, sebuah kekuasaan atau pemerintahan berbasis rakyat, selama ini memang diyakini oleh para ilmuwan politik sebagai sistem politik-pemerintahan terbaik dan terideal dibandingkan dengan, misalnya, "teokrasi”, aristokrasi, monarki, dan lainnya.
Sengaja saya pakai tanda kutip karena sesungguhnya tidak ada yang namanya "teokrasi” itu. Itu hanya akal-akalan sekelompok elite agama-politik guna mengelabui rakyat bahwa seolah-olah Tuhanlah yang menjalankan roda kekuasaan sehingga dijamin masyarakat akan aman-tenteram dan adil-makmur.
Saya tidak habis pikir kenapa banyak orang di masa lalu (dan juga dewasa ini) yang terperdaya mempercayai sistem teokrasi. Bagaimana mungkin Tuhan yang "supernatural being” itu memimpin makhluk nyata bernama manusia?
Dalam implementasinya, sistem teokrasi ini ada berbagai macam bentuk. Biasanya teokrasi menjadikan agama tertentu (Kristen, Yahudi, Islam, Zoroastrianisme, Budhisme, dan seterusnya) sebagai "tameng” dan "legitimasi teologis” sekaligus bukti tentang eksistensi kekuasaan Tuhan. Sistem Khilafah yang dipropagandakan oleh Hizbut Tahrir, ISIL (Islamic State of Iraq and Levant), atau Jamaah Islamiyah misalnya, dalam beberapa hal, juga bisa digolongkan teokrasi.
Abul A'la al-Maududi, salah satu pentolan ideolog Islamisme, dulu pernah mengawinkan sistem teokrasi dan demokrasi ini menjadi "teo-demokrasi” yang ia anggap sebagai sistem politik-pemerintahan paling ideal. Tapi dalam praktiknya tetap saja "akal-akalan” dan "tipu-tipuan” belaka. "Teo-demokrasi” hanya ideal dan bagus ditataran konsep atau dalam alam ide bukan dalam dunia nyata.
Demokrasi juga jauh lebih baik ketimbang sistem monarki, apapun bentuknya: kerajaan, kekaisaran, empirium, kesultanan, keamiran, dan sebagainya. Kenapa? Karena sistem monarki tidak menghargai hak-hak politik individu manusia maupun hak-hak sipil masyarakat. Individu dan masyarakat dianggap sebagai "obyek” belaka. Hak-hak politik mereka sudah "diwakili” oleh raja (atau apapun namanya: king, sultan, kaisar, emperor, amir, khalifah, dan seterusnya) sebagai representasi rakyat banyak.
Sistem monarki, dalam sejarahnya, hanyalah akal-akalan kaum elite politik dan tentara atau algojo saja untuk menguasai, menakut-nakuti, dan memeras rakyat (misalnya dengan sistem upeti) untuk kepentingan, kemewahan, dan kemakmuran mereka. Kalau rakyat membangkang, tidak patuh atau tak mau membayar upeti, tentara bergerak menyiksa mereka. Rakyat hanya dijadikan sebagai obyek, tumbal, dan "kayu bakar” saja. Kini sejumlah negara monarki tidak mewajibkan rakyat membayar upeti seperti di zaman bahula karena para elitnya sudah mendapat pendapatan melimpah dari berbagai sumber. Mereka hanya mewajibkan rakyat untuk tutup mulut, tunduk dan patuh saja jika tidak ingin dilenyapkan.
Di Penghujung Kekhalifahan Terakhir Islam
Bersama runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, dunia Islam kehilangan kekhalifahan terakhir di Bumi. Intrik, ambisi dan pengkhianatan mewarnai hari-hari terakhir kerajaan Islam terkuat dalam sejarah itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Enam Abad Utsmaniyah
Selama lebih dari enam ratus tahun Kesultanan Utsmaniyah memerintah di Timur Tengah. Kekuasaan mereka membentang dari Budapest hingga ke Sanaa, dari Aljir hingga ke Baghdad. Sejarahwan sepakat, Utsmaniyah hingga kini adalah imperium Islam terkuat dalam sejarah.
Foto: gemeinfrei
Akhir Pahit Kekhalifahan
Sempat memuncak di abad 16 dan 17 pada era Kesultanan Sulaiman Agung, kekuasaan Utsmaniyah mulai goyah di akhir abad ke 19 lantaran perang di luar negeri dan gejolak di dalam negeri. Terutama perang melawan Kekaisaran Rusia di kawasan Balkan banyak menguras kekuatan Utsmaniyah.
Foto: picture-alliance/akg-images
Imperium dalam Gejolak
Pada awal 1900an, Utsmaniyah digoyang sejumlah peristiwa besar, yakni revolusi Gerakan Turki Muda yang menuntut modernisasi, perang melawan Italia di Libya, pertempuran besar dalam Perang Balkan melawan Serbia, Montenegro, Yunani dan Bulgaria, serta percobaan kudeta oleh kaum reformis.
Foto: gemeinfrei
Triumvirat Pasha
Setelah kudeta imperium raksasa itu dikuasai tiga Pasha di awal abad ke20, yakni Menteri Dalam Negeri Mehmed Talaat Pasha, Menteri Kemaritiman Ahmed Djemal Pasha dan Menteri Perang Ismail Enver Pasha yang masih berusia muda. Lewat aksinya, ketiga Pasha kemudian menggariskan tanggal kematian imperium.
Foto: gemeinfrei
Ambisi Sang Menteri
Enver yang ambisius mengidamkan perang sebagai ajang demonstrasi kekuatan Turki. Tanpa mengabarkan anggota kabinet lain, sang menteri memerintahkan dua kapal perang Jerman agar menyamar sebagai kapal Turki dan menyerang pangakalan militer Rusia di Odessa, Sevastopol, dan Theodosia. Hasilnya Enver menyeret Turki ke kancah Perang Dunia I.
Foto: picture-alliance/akg-images
Kehancuran Total
Hasilnya adalah kehancuran total kekuatan militer Utsmaniyah. Satu per satu wilayah jajahannya direbut oleh Rusia, Inggris, Italia dan Perancis. Puncaknya adalah ketika imperium Eropa memaksa Turki menandatangani perjanjian Sèvres yang membagi-bagi wilayah Turki ke dalam negara kecil.
Khalifah Terakhir
Adalah Mehmet VI, khalifah ke-100 Islam dan sultan terakhir Utsmaniyah yang kemudian menuruti hampir semua tuntutan Eropa untuk bisa mempertahankan kekuasaannya. Corak pemerintahannya yang lemah membuat tuntutan untuk membubarkan kesultanan menguat. Terutama di tengah perang kemerdekaan Turki melawan Yunani.
Foto: gemeinfrei
Modernisasi Atatürk
Di hari penuh gejolak itu Mustafa Kemal Pasha, komandam militer Turki selama perang kemerdekaan, menjelma menjadi pahlawan rakyat. Praktis sejak kekalahan dalam PD II, Turki diperintah oleh kaum Kemalis. Kesultanan bahkan tidak berkutik ketika Kemal Pasha mulai melucuti kekuasaannya dan perlahan mengubah Turki menjadi negara sekuler modern.
Demokrasi lahir, antara lain, karena rakyat muak dengan teokrasi dan juga aristokrasi, sebuah sistem politik-pemerintahan yang diatur oleh sekelompok elite aristokrat. Secara teoretik, demokrasi memberi ruang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan ikut berpartisipasi mengelola negara dan pemerintahan yang dalam sistem monarki maupun teokrasi peran mereka diabaikan.
Jadi, sistem demokrasi sebenarnya adalah momentum yang sangat baik bagi rakyat untuk menentukan kemakmuran dan keadilan mereka. Tetapi sayangnya dalam praktik dan perkembangannya, banyak kaum elite politik dan bahkan rakyat atau "wong cilik” itu sendiri tidak bisa memanfaatkan peluang dan momentum demokrasi itu dengan baik dan bijak. Banyak para elite politik yang menjadikan demokrasi hanya sebatas cara, strategi, taktik atau "kendaraan” untuk menggapai kekuasaan dan mengeruk keuntungan material belaka. Maka ketika kekuasaan itu berhasil mereka genggam, mereka tidak lagi memikirkan rakyat yang memilihnya.
Potret Kepulangan Keluarga Irak yang Diusir ISIS
Fotografer Khalid Al Mousily memotret kepulangan keluarga Ahmad yang diusir oleh ISIS. Meski sulit, penduduk kota cepat membangun kehidupan di antara puing-puing kota.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Terbangun dari Mimpi Buruk
Ketika Mosul dibebaskan dari cengkraman kelompok teror ISIS pada Oktober 2017 silam, kota di utara Irak itu nyaris rata dengan tanah. Namun demikian perlahan sebagian penduduk yang terusir mulai kembali. Fotografer Khalid Al-Mousily menemani keluarga Mohammed Saleh Ahmad saat pulang ke kampung halaman yang menyimpan segudang ingatan, baik dan buruk.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Antara Perpisahan dan Kepulangan
Ketika Mohammed Saleh Ahmed (ki.) ingin memulai perjalanan ke Mossul, ia disergap perasaan campur aduk. Meski senang bisa kembali ke kota kelahiran, ia juga sedih karena harus meninggalkan persahabatan yang dirajut bersama penghuni kamp pengungsi. Bersama merekalah, para penyintas perang Mossul itu, Ahmed bisa berdamai dengan situasinya di pelarian.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Satu Tahun di Kamp
Kamp pengungsi Al-Hammam al-Alil di selatan Mosul dibangun ketika koalisi bentukan Amerika Serikat mulai menyerbu benteng pertahanan ISIS di bagian barat kota. Kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu merebut Mosul pada 2014 dan memaksa penduduk tunduk pada kekuasaan absolut sang khalifat.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Awal Kehidupan Baru
Setahun silam keluarga Ahmad mengubur harapan bisa pulang ke Mosul dalam waktu dekat. Namun ketika ditawarkan kesempatan buat kembali, ia tidak berpikir panjang dan segera mengemas perabotan dan barang pribadi keluarganya. Hanya selang beberapa hari tetangga dan saudara membantu memuat barang di dalam truk kecil yang membawa mereka menjemput kehidupan baru.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Puing dan Reruntuhan
Setelah kehancuran ISIS, bagian barat Mosul menjelma menjadi puing-puing dan reruntuhan. Mohammed (Ki.) terkejut melihat nasib kota kelahirannya itu. "Saya tidak bisa lagi mengenali apapun," ujarnya ketika berjalan bersama adiknya, Ahmed, melalui jalan utama di Mosul.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Kesederhanaan adalah Kemewahan
Setibanya di rumah lama, isteri Mohammed, Iman, segera menyiapkan makan malam keluarga. Meski sederhana, kehidupan di Mosul dirasakan jauh lebih baik ketimbang di kamp pengungsi.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Normalisasi Lewat Komedi Putar
Mohammed cepat menyesuaikan kehidupan di Mosul. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan konstruksi milik pamannya. Normalisasi kehidupan pasca ISIS berlangsung lebih cepat dari yang diduga. Mohammed sekarang sudah mulai berpergian ke salon, menemani isteri belanja atau mengajak anak-anaknya ke taman bermain yang baru dibuka.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
7 foto1 | 7
Karena menjadikan demokrasi hanya sebatas sebagai "kendaraan”, maka tak jarang para elite politik menggunakan berbagai macam cara kotor untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. Praktik "politik uang” (money politics), penyuapan, manipulasi suara, agitasi, ancaman dan teror, "pemerkosaan” teks-teks suci dan idiom-idiom keagamaan, dan sebagainya sudah biasa dilakukan oleh para elite politik busuk dan rakus perusak demokrasi.
Banyak kaum elite menjadikan demokrasi hanya sebatas "lipstik” atau "gincu” saja bukan "roh” atau "spirit” kekuasaan. Lihat misalnya di zaman Orde Baru. Berbagai sarana demokrasi dibuat (parpol, parlemen, pemilu, dan sebagainya) untuk "menyuarakan aspirasi rakyat” tetapi semua itu hanyalah omong kosong dan tipu muslihat belaka karena yang mengendalikan, mengontrol, dan memimpin kekuasaan pada hakikatnya bukanlah rakyat melainkan Pak Harto. Demokrasi di zaman Orde Baru adalah contoh dari apa yang disebut "pseudo-demokrasi”, yakni "demokrasi pura-pura” atau "pura-pura demokrasi”.
Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998, sebetulnya momentum terbuka lebar bagi rakyat Indonesia untuk menjadi "king maker” atau "decision maker” garis-garis besar kebijakan dan haluan negara. Tapi apa lacur, rakyat dan elite politik gagal memanfaatkan momentum itu dengan baik. Baik kaum elite politik maupun rakyat kebanyakan sama-sama menjadikan demokrasi sebagai ajang untuk meraih keuntungan sesaat.
Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah sebuah pemandangan mengenaskan dimana para elite politik dengan terang-benderang "membodohi” rakyat sementara rakyat sendiri dengan suka-rela mau dibodohi.
Meskipun mendapat kesempatan emas untuk menentukan masa depan rakyat dan warga negara melalui pemilihan umum (Pileg, Pilpres, Pilkada, atau Pilkades), banyak dari mereka, baik orang kota maupun orang desa, yang tidak mampu memanfaatkan momentum itu dengan baik. Banyak dari mereka bahkan mencari-cari tim sukses, elite, broker, atau bahkan calon atau kontestan yang berlaga dalam Pileg, Pilkada, atau Pilkades, yang bersedia menyuap dan "menyogoknya” dengan uang recehan atau bingkisan murahan. Siapa yang amplop sogokannya (suapnya) paling besar, maka dialah yang akan dipilih. Mereka tak peduli kualitas dan rekam jejak sang kandidat.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Banyak yang membodohi rakyat
Itulah sebabnya mengapa di berbagai daerah banyak dijumpai para anggota dewan dan pemimpin (gubernur, walikota, bupati atau bahkan kepala desa) yang melakukan korupsi berjamaah mengemplang uang negara, dan bahkan banyak dari mereka–para maling uang rakyat itu–yang terpilih berulang-kali karena "kesuksesannya” dalam mengelabuhi, membodohi, menipu, dan menyuap rakyat.
Banyak juga orang yang memilih calon tertentu bukan karena uang tetapi karena solidaritas atau sentimen kelompok, keagamaan, etnisitas, partai, ormas, dan sebagainya. Sementara yang lain memilih kandidat tertentu karena "diperdaya” atau dikelabuhi oleh kalangan elite agama yang sukses "menjual” ayat, teks dan diskursus keagamaan tertentu. Yang lain lagi terpaksa memilih calon karena ketakutan diancam dan diteror, baik secara politik maupun teologi, oleh para makelar agama dan petualang politik. Ancaman tidak menyolati mayat anggota keluarga yang mendukung Ahok dalam Pilgub Jakarta 2017 lalu adalah contoh nyata dari "teror teologis” ini untuk menakut-nakuti rakyat agar mereka tidak memilih Ahok.
Akhirnya demokrasi pun tidak menjamin mampu membawa rakyat dan pemerintahan ke dalam kemakmuran dan kedamaian karena kaum elite dan rakyat itu sendiri (para pelaku demokrasi) "bermain-main” dengan demokrasi. Maka tidak jarang jika banyak dijumpai di berbagai negara kalau demokrasi telah rusak berat dirusak oleh para demokrat dan lembaga-lembaga demokrasi dengan cara-cara demokratis.
Penyesalan Para WNI Simpatisan ISIS
Mereka terbuai kemakmuran yang dijanjikan Islamic State dan memutuskan pergi ke Suriah. Janji surga tak sesuai kenyataan, mereka pun menyesal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Tergiur janji manis
Banyak keluarga tergiur dengan janji kekalifatan Islamic State alias ISIS di Suriah dan Irak yang ditawarkan lewat internet. Harapan mendapat pendidikan dan layanan kesehatan gratis, upah tinggi dan jalani keislaman kekhalifahan mendorong gadis Indonesia memboyong keluarganya ke Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Sampai menjual properti
Keluarga Nurshardrina Khairadhania, bahkan sampai menjual rumah, kendaraan dan perhiasan untuk membiayai perjalanan mereka ke Raqqa, Suriah. Sesampainya di sana, kenyataan tak sesuai harapan. Tiap perempuan muda dipaksa menikahi gerilayawan ISIS. Semntara yang pria wajib memanggul senjata dan berperang. Nur dan bibinya masuk dalam daftar calon pengantin yang disiapkan buat para gerilyawan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Beberapa bulan penuh derita
Beberapa bulan setelah menderita di Raqqa, Nur dan keluarganya melarikan diri dengan membayar penyelundup buat keluar dari wilayah ISIS. Neneknya meninggal dunia, pamannya tewas dalam sebuah serangan udara dan beberapa anggota keluarga lainnya dideportasi sejak baru tiba di Turki. Bersama ibu, adik dan sanak saudara yang lainnya Nur berhasil masuk kamp pengungsi Ain Issa, milik militer Kurdi.
Foto: Getty Images/AFP/D. Souleiman
Jalani interogasi
Para WNI pria yang lari dari ISIS pertama-tama diamankan militer Kurdi dan diinterogasi. Setelah perundingan panjang, kini mereka dipulangkan ke Indonesia dan jalani program deradikalisasi yang disiapkan pemerintah. Menyesal! Tinggal kata tersebut yang bisa dilontarkan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Surga atau neraka?
Banyak relawan dari Indonesia yang ingin menjadi jihadis atau pengantin jihadis, untuk mengejar 'surga' yang dijanjikan Islamic State di Suriah atau Irak. Namun menurut mereka yang ditemui adalah 'neraka'
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Nur: IS tidak sesuai kaidah Islam
Dalam wawancara dengan Associated Press, Nur menceritakan perilaku jihadis ISIS tidak sesuai kaidah Islam yang ia pahami. "ISIS melakukan represi, tak ada keadilan dan tak ada perdamaian. Warga sipil harus membayar semua hal, listrik, layanan keseahatan dan lainnya. Sementara jihadis ISIS mendapatkannya secara gratis."
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Proses pemulangan
Banyak kalangan yang tergolong naif atau garis keras atau gabungan keduanya bergabung dengan ISIS, pada akhirnya menyerahkan diri atau ditangkap aparat keamanan. Pejabat Kurdi di Raqqa menyebutkan proses itu interogasi diperkirakan berlangsung hingga enam bulan, sebelum diambil keputusan bagi yang bersangkutan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Termasuk dari Jerman
Banyak warga negera-negara lain yang juga terbuai janji ISIS. Termasuk dari Jerman. Majalah mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan bulan Juli 2017, sejumlah perempuan Jerman yang bergabung dengan ISIS dalam beberapa tahun terakhir, termasuk gadis berusia 16 tahun dari kota kecil Pulsnitz dekat Dresden, menyesal bergabung dengan ISIS. Ed (ap/as/berbagai sumber)
Foto: Youtube
8 foto1 | 8
Apakah dengan begitu, Indonesia perlu pindah ke sistem teokrasi, monarki, atau khilafah? Jika demokrasi saja tidak bisa menjamin kemakmuran dan keadilan bagi rakyat dan warga negara, apalagi sistem teokrasi, monarki, atau khilafah.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Bukan Jumlah Anggota yang Jadikan IS Kuat
Melihat aksi Islamic State, banyak orang heran tentang bagaimana kelompok jihad kecil itu bisa merajalela.
Foto: picture alliance / AP Photo
Kekuatan IS kecil
Kelompok jihadi itu masih relatif merupakan kekuatan kecil dan kekuatannya tidak terletak dalam jumlah. Berikut alasan yang diidentifikasi oleh para ahli militer mengenai kenapa IS sukses.
Foto: Imago/Xinhua
Punya senjata baru
Islamic State menggunakan peralatan militer yang mereka rebut dari para musuh yang mereka taklukkan, termasuk tank-tank, Humvees, rudal dan berbagai senjata berat lainnya. Sejumlah perlengkapan, sebagian besar buatan Amerika, yang ditinggal kabur pasukan Irak yang melarikan diri ketika para jihadis meluncurkan serangan pertama mereka lebih dari dua bulan lalu, telah mengubah kemampuan IS.
Foto: picture alliance/AP Photo
Pengalaman Suriah
IS telah lama memiliki pijakan di Irak – yang bahkan menjadi tempat inkarnasi pertama kelahiran kelompok itu pada 2004 – namun apa yang membuat mereka kuat seperti hari ini adalah berkat pertempuran di negara tetangga Suriah. Mereka telah memerangi rezim Suriah dan kelompok pemberontak saingannya sejak 2011, kelihatan tidak takut mati dan mengadopsi taktik yang sangat agresif.
Foto: picture alliance/AP Photo
Memilih perang dengan cerdik
IS telah memilih perang dengan kecerdikan yang tajam, mefokuskan diri pada wilayah-wilayah Sunni di mana mereka bisa mendapatkan dukungan, infrastruktur-infrastruktur kunci atau tempat-tempat yang tidak dijaga dengan baik, serta pada saat bersamaan menghindari kekalahan yang tidak perlu untuk tetap memelihara momentum dan kesatuan di dalam organisasi.
Foto: Reuters
Propaganda efektif
IS menggunakan faktor ketakutan untuk menaklukkan seluruh kota tanpa perlawanan. Mereka menggunggah berbagai foto mengerikan orang-orang yang dipenggal dan dimutilasi, untuk merekrut dan meradikalisasi anak muda dan pada saat bersamaan membuat musuh ketakutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Musuh yang lemah
Satu-satunya faktor tunggal terbesar yang membuat para jihadis itu kelihatan kuat adalah lemahnya para lawan mereka. “Angkatan bersenjata Kurdi relatif baik menurut standar Irak, tapi mereka betul-betul prajurit infantri yang “ringan”. Mereka yang berpengalaman memerangi Saddam Hussein telah pergi dan digantikan oleh orang-orang yang lebih muda,” kata Cordesman, mantan pejabat pertahanan AS.