1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanCina

Demonstran Anti-Lockdown di Cina Desak Xi Jinping Mundur

28 November 2022

Sebagai tanda meningkatnya pembangkangan publik terhadap pembatasan COVID, aksi protes di Cina telah meluas ke tujuh kota, termasuk Beijing, Shanghai, dan Wuhan. Xi Jinping bahkan didesak mundur dari jabatannya.

Protes Anti Lockdown di Cina
Foto: HECTOR RETAMAL/AFP/Getty Images

Para pengunjuk rasa yang marah atas pembatasan yang ketat di Cina pada Minggu (27/11), menyerukan agar Presiden Xi Jinping mundur dari jabatannya. Hal ini menjadi tanda meluasnya rasa frustrasi publik terhadap kebijakan nol COVID di negara itu.

Di Shanghai, para demonstran terdengar meneriakkan, "Xi Jinping! Mundur! PKC (Partai Komunis Tiongkok)! Mundur!"

"Saya di sini karena saya mencintai negara saya, tetapi saya tidak mencintai pemerintah saya. Saya ingin dapat keluar dengan bebas, tetapi saya tidak bisa. Kebijakan COVID-19 kami adalah permainan dan tidak berdasarkan pada sains atau kenyataan," kata seorang pengunjuk rasa, Shaun Xiao.

Kembali beraksi meski sempat dibubarkan polisi

Polisi menggunakan semprotan merica untuk mengusir para pengunjuk rasa, tetapi beberapa jam kemudian warga kembali ke tempat yang sama. Polisi pun kembali membubarkan protes mereka untuk kedua kalinya.

Beberapa orang dilaporkan ditahan dan dibawa pergi dengan bus. Salah satunya adalah jurnalis BBC Edward Lawrence.

Cuplikan video yang diposting ke media sosial menunjukkan Lawrence ditangkap saat merekam protes Shanghai.

Terlihat Lawrence didakwa oleh beberapa petugas yang kemudian menyeretnya ke tanah sebelum menariknya dengan tangan terikat di belakang punggungnya.

BBC mengatakan polisi Cina menyerang dan menahan Lawrence, sebelum kemudian membebaskannya setelah beberapa jam. 

"BBC sangat prihatin dengan perlakuan yang didapat jurnalis kami Ed Lawrence, ia ditangkap dan diborgol saat meliput protes di Shanghai," kata juru bicara penyiar layanan publik Inggris itu dalam sebuah pernyataan.

"Dia ditahan selama beberapa jam sebelum dibebaskan. Saat ditangkap, dia dipukuli dan ditendang oleh polisi. Ini terjadi saat dia bekerja sebagai jurnalis terakreditasi," tambah juru bicara itu.

Aksi protes terbaru yang meletus di Cina terjadi setelah kebakaran pada Kamis (24/11), menewaskan sedikitnya 10 orang di sebuah gedung apartemen di Urumqi di wilayah Xinjiang barat laut. Di lokasi tersebut, beberapa orang dilaporkan terkurung di rumah mereka selama empat bulan.

Tragedi itu memicu gelombang kemarahan warga secara online, yang mempertanyakan apakah petugas pemadam kebakaran atau orang yang mencoba melarikan diri diblokir oleh pintu yang terkunci atau tindakan COVID lainnya.

Aksi ini telah menjadi tantangan langsung yang jarang terjadi terhadap Partai Komunis yang berkuasa. Demonstrasi telah menyebar ke setidaknya tujuh kota lain pada Minggu, termasuk di Beijing, Wuhan, dan Chengdu.

Protes kertas kosong di Beijing

Di Beijing, sekitar 200 orang berkumpul di sebuah taman di sisi timur ibu kota seraya mengangkat lembaran kertas kosong. Aksi ini menjadi simbol pembangkangan warga terhadap sensor yang meluas dari partai berkuasa.

Sementara sekitar 2.000 mahasiswa di almamater Xi, Universitas Tsinghua di Beijing, berkumpul untuk menuntut pelonggaran kontrol anti-COVID, menurut sebuah unggahan di media sosial.

Unggahan lain mengatakan ada juga demonstrasi di 50 universitas di seluruh Cina.

Aksi unjuk rasa di Wuhan berubah ricuh

Di Wuhan, tempat virus corona pertama kali muncul, beberapa streaming video menunjukkan kerumunan orang berjalan di jalanan sambil bersorak, tetapi mereka dengan cepat disensor.

Rekaman lain menunjukkan pengunjuk rasa menerobos barikade logam, menjungkirbalikkan tenda pengujian COVID dan menuntut diakhirinya penguncian.

Kerumunan besar juga berkumpul di kota metropolis barat daya Chengdu, menurut video di media sosial.

"Kami tidak menginginkan penguasa seumur hidup. Kami tidak menginginkan kaisar," teriak massa, mengacu pada Xi, yang telah menghapus batasan masa jabatan presiden dan sekarang dapat memerintah seumur hidup.

"Saya bergabung dalam protes karena saya tidak puas dengan penerapan lockdown pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, sensor online yang ketat, menutupi kebenaran dalam kebakaran Xinjiang dan untuk menunjukkan solidaritas dengan orang-orang di Shanghai," kata seorang pengunjuk rasa kepada DW's William Yang.

Pengunjuk rasa lain mengatakan bahwa pembatasan "terlalu lama dan telah mengorbankan kebebasan dan pekerjaan orang." 

Yang lain mengeluh bantuan pemerintah sangat sedikit pada saat orang-orang merogoh tabungan mereka untuk menutupi pengeluaran seperti hipotek dan mobil.

Awal pekan ini, protes berubah menjadi kekerasan di pabrik iPhone terbesar di dunia di kota Zhengzhou, China.

Rekaman media sosial menunjukkan para pekerja dipukuli oleh polisi.

Fasilitas itu ditutup bulan lalu, dengan banyak pekerja dipaksa tidur di dalam selama berminggu-minggu.

Berbeda dengan kebanyakan negara di dunia, Presiden Cina Xi Jinping tetap mempertahankan kebijakan nol-COVID-nyaFoto: Kyodo News/IMAGO

Kasus Cina rendah, tetapi mencapai rekor tertinggi

Beijing tetap berpegang pada kebijakan nol COVID Xi, bahkan ketika sebagian besar dunia telah mencabut sebagian besar pembatasan.

Meski rendah menurut standar global, jumlah kasus Cina telah mencapai rekor tertinggi selama berhari-hari, dengan 39.506 infeksi domestik tercatat pada Minggu (27/11).

Pemerintah telah mempertahankan kebijakan tersebut sebagai penyelamat jiwa dan diperlukan untuk mencegah sistem perawatan kesehatan yang kewalahan.

bh/gtp (AFP, AP, Reuters)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait